24 Maret 2013

TIGA PEMUKA JAMAN

Pagi selalu didahului oleh fajar sebagai pembuka jaman.

Dan jaman selalu melahirkan sekelompok orang yang memegang kunci peradaban.  Para pemegang kunci tersebut kadang berpikir, berbicara dan bertindak mendahului masanya.

Savitri Scherer melalui bukunya yang mengetengahkan pemikiran para nasionalis yang juga adalah para priyayi Jawa.  Dalam tulisannya, Savitri mengambil 3 orang pemuka yaitu Soewardi Soeryaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soetomo.

Buku ini dicetak pertama tahun 1985, dan cetakan berikutnya baru muncul lebih dari 20 tahun kemudian.  Beruntung akhirnya sempat menemukan karya klasik ini.


Selama ini kita terbiasa Soewardi, Tjipto dan Douwes Dekker dalam 3 serangkai.  Namun kali ini Savitri justru memasukkan Soetomo menggantikan Douwes Dekker. 

Tidak ada yang salah dengan keputusan tersebut, bahkan bisa jadi ini makin memperjelas garis perbedaan gaya pemikiran
di antara ketiga priyayi tersebut.

Latar belakang keluarga menjadi fondasi dalam berpikir, berbicara dan bersikap dalam menghadapi situasi kolonial sekaligus feodalisme sebagai orang Jawa.  Untuk itulah Savitri mengambil Soetomo yang berlatar belakang dari keluarga priyayi Jawa.

Kedudukan sebagai priyayi Jawa dari keluarga aristokrat murni membawa keuntungan tersendiri.  Para Pangeran yang hidup berkecukupan dalam arti dari keluarga kerajaan yang berkuasa biasanya bersekolah di HBS, mungkin kalau sekarang seperti sekolah pamong praja dan mencapai jabatan birokratis sebagai wedana.
Sedangkan para priyayi rendahan tidak akan mampu bersekolah di HBS yang mahal.  Mereka lebih memilih STOVIA.  Sebuah sekolah yang didirikan pemerintah kolonial untuk mendidik pemuda pribumi menjadi tenaga medis setara dengan dokter di Belanda .  Sebuah gagasan yang muncul karena ingin mendapatkan tenaga murah.  Saat itu memang Jawa sedang dilanda wabah penyakit.

Semula STOVIA ditujukan bagi anak para priyayi tinggi, namun ternyata tidak banyak yang tertarik mengingat lulusannya harus bekerja di bawah dinas pemerintah, ditugaskan ke daerah-daerah berinteraksi dengan rakyat kecil yang terserang wabah.  Suatu kemustahilan bagi para Pangeran yang terbiasa dilayani.

Dengan sedikitnya peminat, akhirnya STOVIA dibuka untuk umum, biaya digratiskan plus diberikan uang saku.  Hal ini menarik minat para priyayi rendahan untuk menyekolahkan anak mereka dengan harapan mendapat pendidikan yang baik dengan biaya terjangkau.

Lulusan STOVIA menghasilkan kelompok priyayi baru yang bisa disebut priyayi profesional.  Dengan berbekal keahlian dalam bidang medis, para pemuda yang berasal dari rakyat biasa dan priyayi rendah ini segera merebut posisi ekonomi yang semula dipegang oleh priyayi birokratis atau keturunan.

Tak heran priyayi birokrat merasa terancam dengan kehadiran golongan baru.  Sementara priyayi profesional menanggapi kesempatan yang terbuka di depan mereka dengan beragam sikap.

SOEWARDI - Sang Guru Aristokrat
Soewardi Soeryaningrat, seorang pangeran, cucu dari Paku Alam V, walaupun berasal dari golongan aristokrat murni, namun bukanlah keluarga ningrat yang kaya raya.  Mereka tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya ke HBS sehingga STOVIA merupakan pilihan terbaik.


Di sekolah ini lah Soewardi bergaul dengan anak priyayi rendahan yang berotak cemerlang, sehingga cakrawala pemikirannya pun terbuka.  Walaupun tidak lulus  dari STOVIA, Soewardi memilih menjadi jurnalis.  Tulisannya "Als Ik Nederlander Was" sempat menguncang pemerintah kolonial tahun 1913.  Sempat dibuang ke Belanda.  Namun pada akhirnya Soewardi  lebih memilih bidang pendidikan.  Tulisan-tulisannya setelah itu lebih bersifat reportase dan tidak lagi menggebu-gebu.

Namun Soewardi tetap mempunyai wawasan jauh ke depan, tatkala sahabatnya, Tjipto mengusulkan agar bahasa Belanda dijadikan bahasa utama menggantikan bahasa daerah maka Soewardi segera membuat tulisan yang isinya meragukan bahwa Belanda akan tetap berkuasa.  Ia mengedepankan bahasa asli yang seharusnya menjadi bahasa perhubungan dan bukan bahasa Belanda.

Latar belakang sebagai Priyayi tinggi nampaknya membuat Soewardi percaya bahwa kaum priyayilah yang ditugaskan untuk mendidik sekaligus memimpin rakyatnya. 

TJIPTO - Si Kromo yang membangkang
 Lahir dari priyayi rendahan, Tjipto memiliki otak cemerlang.  Pergaulannya dengan para pemuda terpelajar lainnya makin memperkukuh sifatnya yang keras hati.

Lulus STOVIA ia menjadi dokter sesuai dengan ikatan dinas.  Dengan lugas ia mengajukan diri untuk ditugaskan di Kepanjen saat mewabah penyakit Pes.  Pemerintah Kolonial yang merasa berutang budi menganugerahinya bintang jasa yang dipasang oleh Tjipto di pantat.

Malang bagi Tjipto, kekerasan dan keteguhan hatinya melawan feodalisme justru mmbuatnya dimusuhi oleh para priyayi lainnya.  Haji Samanhudi bahkan membentuk komite anti Tjipto.

Tjipto, seorang anak manusia, produk jaman namun bukan bagian dari masyarakat Jawa saat itu.  Sifatnya yang radikal dan penolakan terhadap hak-hak istimewa kaum bangsawan membuatnya disingkirkan dari pergaulan.  Dan Tjipto pun harus merelakan hak-hak politiknya dicabut seiring dengan pembuangannya.

SOETOMO - Kesabaran dan Ketelitian
Soetomo adalah anak seorang guru.  Sebagai anak muda yang dibesarkan dengan keyakinan akan dunia yang selaras maka Soetomo pun selalu menerapkan keselarasan itu dalam setiap langkah.
Jika Tjipto dan Soewardi meninggalkan Boedi Oetomo karena tidak setuju dengan paham konservatif yang dianut para priyayi; Soetomo tetap tinggal, mencoba menyesuaikan dengan pola pikir para priyayi birokratis namun dengan perlahan memasukkan pandangan-pandangannya.

Dengan mengambil langkah demikian Soetomo tetap dapat berkecimpung dalam politik tanpa konfrontasi dengan sesama priyayi dan pemerintah kolonial dan tidak kehilangan hak berpolitik seperti yang dialami oleh Tjipto.

Bagi Soetomo, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat lebih penting dari kemerdekaan.

Dari ketiganya memang Tjiptolah yang paling radikal.  Namun setelah tahun 1920-an para pemuda bahkan menjadi semakin radikal.  Tidak ada usulan dari ketiganya untuk merdeka dan lepas dari Belanda. Sementara bagi para pemuda angkatan setelahnya, kemerdekaan menjadi keniscayaan.

Nasionalisme yang diperlihatkan oleh Soetomo dan Soewardi lebih nampak sebagai semangat priyayi Jawa dengan konsep Gusti-Kawula, sedangkan Tjipto menurut Savitri lebih memilih pemerintah kolonial yang dapat berlaku adil kepada setiap rakyat pribumi.  Pilihan Tjipto ini mungkin lebih didasari pada kemuakannya akan feodalisme pribumi.

Dominasi para priyayi birokratis pun semakin menyurut.  Semakin banyak priyayi profesional yang memegang peranan.  Pemikiran ketiga pemuka jaman ini meninggalkan jejaknya dalam diri para pemuda generasi setelah mereka.

Tiga perspektif ini mungkin saja mempengaruhi pemimpin-pemimpin nasionalis Jawa di kemudian hari, namun seiring dengan makin rapatnya pergaulan para pemuda dari berbagai daerah dan golongan, perspektif ala Gusti-Kawula ini menjadi lebih egaliter dan pada akhirnya memunculkan semangat persatuan di antara para pemuda.





Tidak ada komentar: