27 Maret 2013

Meriah di Fatahillah

Yang kiri dari lukisan abad 19, yang kanan hasil foto week end kemarin
Takut wira-wiri di daerah Kota dan sekitarnya?   Wah kuno tuh....Sekarang daerah situ terutama di taman Fatahillah  atau Stadhuis sudah jadi spot yang hip..atau hits..ya?

Teringat waktu puluhan tahun yang lalu..Area depan museum Fatahillah tersebut lebih banyak dipenuhi preman dan gelandangan serta kumuh.  Berhubung saya suka banget dengan landscape Fatahillah, dulunya sering memberanikan diri datang sekedar menikmati arsitektur di daerah situ...walaupun dengan hati deg-degan karena punya pengalaman nyaris jadi korban perampasan handphone di angkot jurusan Kota.


Kalau malam hari,,jangan ditanya, tempat itu sangat menyeramkan, gelap gulita tanpa lampu.  Belum lagi cerita horor ala kisah misteri yang beredar

Sekarang, waktu saya datang lagi untuk kesekian puluh kalinya? wu huu huuu rame sekali, penuh anak muda dari berbagai penjuru daerah.  Ada yang dari klub fotografi, ada yang mau manggung untuk nge-band.  Ada pula yang ingin keliling halaman dengan sepeda onthel. Ada pula adik-adik pramuka bersama kakak pembinanya.
Museum Keramik, dari hasil foto tidak banyak berubah dalam 4 tahun ini

Itu siang hari ya...gak tahu kalau malam.  Tapi setahu saya sudah ada program melihat kota tua atau museum pada malam hari yang diadakan oleh komunitas historia, jadi sepertinya sudah tidak segahar dulu situasinya.

Salut kepada Cafe Batavia yang sudah berdiri sejak lama di area situ dengan posisi strategis menghadap museum.  Nampaknya pemilik Cafe memang sudah sadar budaya dari dulu.  Tapi kenapa makanannya mahal banget yah harganya.  Dulu banget saya pesan nasi goreng doang aja harganya udah nyaris 50 ribu, porsinya juga standar.  Sekarang aja nasi goreng 50 ribu kita masih ngamuk gak rela bayarnya.,,apalagi dulu ya...*dendam lama

Balik lagi ke halaman museum.
Sesuai prinsip ekonomi ala Jakarta dan kota-kota di Indonesia, dimana ada keramaian di situ ada pedagang kaki lima.  Sisi-sisi halaman komplek museum penuh dengan pedagang makanan, tukang sepatu, tukang balon atau dagangan art lain seperti tato, atau tukang ngamen.

Semarak sih, ..tapi kok agak semrawut ya..  Halaman museum sebagai pusat aktivitas terasa sesak karena pedagang sudah mulai merangsek maju.

Lalu gedung-gedung tua di sekitar halaman juga sayang sekali tidak dirawat, kadang dijadikan toilet umum, atau kafe gak jelas.  Semua tampak centang perentang.  Sebagai penikmat masa lalu ya sedih lah lihat begitu.

Saya mulai membongkar foto-foto jepretan lama saya tentang komplek Fatahillah.  Voilllaaaaa.....ada foto lama gedung milik konglomerat jaman dulu Dasaad Musin.  Gedung itu berdiri di komplek Fatahillah, kalau kamu jeli, di sisi kanan komplek kalau kita berjalan dari museum keramik akan ada gang dan di gang tersebut berdirilah gedung rusak yang di tembok depan atasnya ada tulisan atau grafir "Dasaad Musin Concern".


Hanya bisa mengeleng-geleng, karena kerusakan gedung bersejarah itu kian parah...kali ini benar-benar hancur lebur, karena atapnya sudah menghilang. Lumut sudah memenuhi dinding.  Kalau dulu saya masih berani masuk dan naik ke atas, sekarang sih was-was takut runtuh.

Harusnya kota tua tidak cuma dijadikan sekedar tempat wisata, tempat kumpul warga dan tempat jualan. tapi juga sebagai tempat pembelajaran sejarah yang menyenangkan.  Perlu ada peraturan yang ketat untuk ijin pedagang kaki lima, perlu ada restorasi yang jelas untuk gedung-gedung kuno yang rusak di ring utama kota tua.


Adik-adik Pramuka yang manis
Posisi kota tua yang strategis, cukup jalan kaki dari stasiun kota dan halte trans Jakarta atau naik ojek sepeda jika hendak mencapai pelabuhan dan museum bahari hendaknya dijadikan jalur yang benar-benar ramah bagi penjalan kaki atau pengayuh sepeda.  Ngeri rasanya naik sepeda bersaing dengan kendaraan bermotor yang ngebut kayak setan.  Atau nyeberang jalan ternyata nyaris dipepet bis gandeng Trans Jakarta yang walaupun pengemudinya cukup sopan dan beradab tapi males juga kan kalo diklakson sama bis segede megaloman gara-gara kita gelagapan nyeberang jalan yang rame.
 
Hasil bidik dari terowongan bawah tanah
Museum Bank Mandiri dan De Javasche Bank termasuk sedikit dari rangkaian gedung-gedung tua yang dirawat dengan baik.  Stasiun Kota pun mulai berbenah.  Toko Merah yang terletak di seberang sungai juga sudah mulai berdandan.

Kawasan kota tua sudah menjadi pusat pemerintahan sejak jaman kolonial, banyak kisah sejarah yang tersimpan di setiap sudutnya.  Dengan warisan budaya yang luar biasa seperti ini harusnya Pemerintah bisa menjadikan kawasan tersebut sebagai landmark ibu kota.

Secara keseluruhan kawasan kota tua masih tampak kumuh dan kurang terawat, walaupun sekarang jauh lebih baik dibanding 10 tahun yang lalu.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Terlalu rame sekarang, membuat daku tak nyaman