Biasanya tempat yang rame diberitakan media akan penuh pelancong selama beberapa minggu, bulan tergantung seberapa banyak bumbu yang ditambahkan.
Termasuk situs Gunung Padang ini. Niat ke Gunung Padang sebenarnya sudah lama, apa daya situs ini lumayan sering masuk list 10 besar pemberitaan media plus ahli-ahli ikutan angkat bicara, dan karena saya adalah orang yang paling males mengunjungi destinasi saat sedang hit-hits nya jadilah
rencana ke sana di-dadahin dulu sementara, menunggu omongan orang reda...
Ternyata minggu kemarin adalah waktu yang pas. Jam 2 pagi dini hari berangkat, ngebut lewat jalur Puncak, dengan perkiraan sudah lepas dari macet panjang di Ciawi.
Kehilangan SIM, tidak membuat saya putus asa untuk urun tenaga menyetir dengan pertimbangan Polisi juga masih tidur jam segitu :(
Tiba di Cianjur 2 jam kemudian...singgah sebentar di rumah kerabat, siapa tahu mau ikut, toh rumahnya satu kecamatan kayaknya dengan situs megalitikum tersebut, Kecamatan Warung Kondang.
Nah, tentang apa dan siapa itu Gunung Padang silakan cari di google karena sudah banyak banget pembahasan tentang situs tersebut.
Intinya itu sekumpulan batu-batu lonjong yang berada di suatu bukit, dan masih belum diketahui fungsinya, semua masih dugaan.
Perjalanan dari Warung Kondang ke situs itu sendiri masih lebih dari 20 km, lengkap dengan jalan rusak, tapi ada bonus pemandangan indah di kiri kanan. Matahari pagi bersinar cerah di sisi jurang sebelah kiri, namun mendung dan kabut nampak menyelimuti puncak bukit di sisi sebelah kanan.
Ada saat sinar matahari tidak dapat menembus kerapatan pepohonan, sesekali bertemu angkot di tengah perjalanan
Sampai di depan pintu gerbang saya menarik napas lega karena tidak banyak mobil yang parkir, hanya ada 3 mobil..senangnya!
Surprise, tiketnya amat sangat murah, 2000 perak untuk lokal, 5000 perak untuk turis asing. Bahkan tarif parkirnya jauh lebih mahal ketika ditagih sebelum pulang, 10 ribu.
Bagi penderita hernia, sangat tidak disarankan menaiki tangga menuju Gunung Padang, bisa jebol. Ternyata di atas sudah ada sekelompok anak muda sedang mendengarkan pemandu mereka. Pemandu di sana memakai ikat kepala gaya Sunda, tapi gak bilang Wilujeng Sumping kayak di restoran sih pastinya :)
Kabut masih betah menyelimuti beberapa titik di sekitar tempat saya berada. Kamera saya menangkap satu pohon tervisualisasi dengan cerah, sementara pepohonan yang hanya berjarak 2-3 meter di belakang tampak samar terliput kabut. Sekilas mirip scene di film Twilight.
Lampegan yang Kesepian
Dekat situs tersebut ada stasiun kereta kuno lengkap dengan terowongannya yang dikenal dengan nama Lampegan.
Yang sedang jadi pembicaraan adalah terowongan Lampegan, yang dibangun di abad 19. Tahun pembuatannya tercantum pada sisi atas terowongan 1879-1882, terowongan tertua di Indonesia.
Saat saya ke sana juga tidak banyak orang, hanya ada beberapa anak muda sedang mengambil gambar.
Stasiun ini pernah melayani jalur Sukabumi-Bandung dan sekarang vakum, walaupun dengar-dengar akan dioperasikan kembali. Sebuah stasiun kecil terpencil dengan jalan sempit sebagai penghubung.
Nyaris tidak ada tempat parkir, namun bisa parkir di halaman sebuah warung yang terletak di seberang stasiun atau nyempil sedikit di sepetak lahan samping depan stasiun.
Saat melangkah ke dalam terowongan, terlihat banyak sekali banyak coretan di dalamnya, begitu pula di luar dinding. Susahnya membasmi tangan jahil.
Bagi penggemar acara Mister Tukul Jalan-Jalan....dan saya adalah salah satu dari mereka :) Lampegan ini pernah masuk dalam salah satu episodenya karena ada kisah mistis tentang hilangnya ronggeng cantik saat pesta peresmian terowongan tersebut.
Kisah tentang ronggeng yang hilang ini juga bisa dicari di google kok. Ketik aja Nyi Sadea, Lampegan.
Jadi jika pas di dalam terowongan ada yang melihat perempuan cantik mengenakan kebaya dan berkalung selendang sampur, dialah Nyi Sadea, sang ronggeng.....siapa tahu ada yang mata batinnya tajam.
Namun terlepas dari dongeng mistis itu, Lampegan sangat menarik untuk ditelusuri dan juga menarik untuk fotografer.
Bisa jadi alternatif foto pre-wed kayaknya.
Termasuk situs Gunung Padang ini. Niat ke Gunung Padang sebenarnya sudah lama, apa daya situs ini lumayan sering masuk list 10 besar pemberitaan media plus ahli-ahli ikutan angkat bicara, dan karena saya adalah orang yang paling males mengunjungi destinasi saat sedang hit-hits nya jadilah
rencana ke sana di-dadahin dulu sementara, menunggu omongan orang reda...
Ternyata minggu kemarin adalah waktu yang pas. Jam 2 pagi dini hari berangkat, ngebut lewat jalur Puncak, dengan perkiraan sudah lepas dari macet panjang di Ciawi.
Kehilangan SIM, tidak membuat saya putus asa untuk urun tenaga menyetir dengan pertimbangan Polisi juga masih tidur jam segitu :(
Tiba di Cianjur 2 jam kemudian...singgah sebentar di rumah kerabat, siapa tahu mau ikut, toh rumahnya satu kecamatan kayaknya dengan situs megalitikum tersebut, Kecamatan Warung Kondang.
Nah, tentang apa dan siapa itu Gunung Padang silakan cari di google karena sudah banyak banget pembahasan tentang situs tersebut.
Intinya itu sekumpulan batu-batu lonjong yang berada di suatu bukit, dan masih belum diketahui fungsinya, semua masih dugaan.
Perjalanan dari Warung Kondang ke situs itu sendiri masih lebih dari 20 km, lengkap dengan jalan rusak, tapi ada bonus pemandangan indah di kiri kanan. Matahari pagi bersinar cerah di sisi jurang sebelah kiri, namun mendung dan kabut nampak menyelimuti puncak bukit di sisi sebelah kanan.
Ada saat sinar matahari tidak dapat menembus kerapatan pepohonan, sesekali bertemu angkot di tengah perjalanan
Sampai di depan pintu gerbang saya menarik napas lega karena tidak banyak mobil yang parkir, hanya ada 3 mobil..senangnya!
Surprise, tiketnya amat sangat murah, 2000 perak untuk lokal, 5000 perak untuk turis asing. Bahkan tarif parkirnya jauh lebih mahal ketika ditagih sebelum pulang, 10 ribu.
pemandangan menuju Gunung Padang |
Bagi penderita hernia, sangat tidak disarankan menaiki tangga menuju Gunung Padang, bisa jebol. Ternyata di atas sudah ada sekelompok anak muda sedang mendengarkan pemandu mereka. Pemandu di sana memakai ikat kepala gaya Sunda, tapi gak bilang Wilujeng Sumping kayak di restoran sih pastinya :)
Kabut masih betah menyelimuti beberapa titik di sekitar tempat saya berada. Kamera saya menangkap satu pohon tervisualisasi dengan cerah, sementara pepohonan yang hanya berjarak 2-3 meter di belakang tampak samar terliput kabut. Sekilas mirip scene di film Twilight.
Lampegan yang Kesepian
Dekat situs tersebut ada stasiun kereta kuno lengkap dengan terowongannya yang dikenal dengan nama Lampegan.
Yang sedang jadi pembicaraan adalah terowongan Lampegan, yang dibangun di abad 19. Tahun pembuatannya tercantum pada sisi atas terowongan 1879-1882, terowongan tertua di Indonesia.
Saat saya ke sana juga tidak banyak orang, hanya ada beberapa anak muda sedang mengambil gambar.
Stasiun ini pernah melayani jalur Sukabumi-Bandung dan sekarang vakum, walaupun dengar-dengar akan dioperasikan kembali. Sebuah stasiun kecil terpencil dengan jalan sempit sebagai penghubung.
Nyaris tidak ada tempat parkir, namun bisa parkir di halaman sebuah warung yang terletak di seberang stasiun atau nyempil sedikit di sepetak lahan samping depan stasiun.
Saat melangkah ke dalam terowongan, terlihat banyak sekali banyak coretan di dalamnya, begitu pula di luar dinding. Susahnya membasmi tangan jahil.
Bagi penggemar acara Mister Tukul Jalan-Jalan....dan saya adalah salah satu dari mereka :) Lampegan ini pernah masuk dalam salah satu episodenya karena ada kisah mistis tentang hilangnya ronggeng cantik saat pesta peresmian terowongan tersebut.
Kisah tentang ronggeng yang hilang ini juga bisa dicari di google kok. Ketik aja Nyi Sadea, Lampegan.
Jadi jika pas di dalam terowongan ada yang melihat perempuan cantik mengenakan kebaya dan berkalung selendang sampur, dialah Nyi Sadea, sang ronggeng.....siapa tahu ada yang mata batinnya tajam.
Namun terlepas dari dongeng mistis itu, Lampegan sangat menarik untuk ditelusuri dan juga menarik untuk fotografer.
Bisa jadi alternatif foto pre-wed kayaknya.
1 komentar:
aku tak sempet mampir ke stasiun nya, karena waktu itu sampai di sana jam 3 subuh trus pagi nya langsung lanjut ke air terjun jadi ngak lewat balik
Posting Komentar