24 April 2013

Sekali lagi tentang Kartini


Untuk kesekian kalinya kita merayakan hari Kartini.  Dulu waktu SD, hari Kartini identik dengan kain, kebaya serta sanggul.

Sekarang pun relatif sama hanya mungkin lebih modern, dalam arti semua aktivitas ekonomi terlibat di dalamnya.  Mall-mall mengadakan discount khusus produk perempuan di hari Kartini, walaupun tidak jelas hubungan antara discount dengan emansipasi.  Televisi kembali menayangkan file-file tentang gerakan emansipasi wanita terkait dengan kekartinian di Indonesia.
Dari kunokini

Tapi yang sebenarnya menarik adalah peletakan Kartini sebagai tokoh pendidikan sekaligus emansipasi wanita yang belakangan mendapat kritikan dari bermacam golongan.

Dari anggapan Kartini sebagai hasil didikan Theosofi, tokoh buatan Belanda,  Jawa sentris sampai pada issue agama.  Sepintas terlihat adalah suatu kesalahan sejarah kala kita menempatkan Kartini dalam posisinya sekarang ini.  Posisi dimana semua kemajuan perempuan Indonesia diawali dari Kartini, anak priyayi kelas menengah, anak bupati Jepara yang mati muda.

Seakan penempatan Kartini adalah  sekedar romantisme masa lalu, dimana tokoh perempuan pribumi  bersurat-suratan dengan teman Belandanya Stella Zeehandelaar, berkeluh kesah tentang diskriminasi terhadap perempuan.  Dan kebetulan surat-surat itu dipublikasikan dengan judul sangat dramatis,  publik Belanda pastilah tertarik dengan eksotisme kisah perempuan pribumi di tanah jajahan 

Stella Zeehandelaar adalah seorang aktivis perempuan Belanda keturunan Yahudi; satu hal yang membuat pengkritik Kartini dengan issue agama kian bersemangat.
Memang ada nama Rohana Kudus, yang hidup hampir sejaman dengan Kartini.  Perempuan asli Sumatera Barat ini adalah wartawati pertama, pendiri majalah Sunting Melayu, pendiri sekolah wanita “Amai Setia”, sekaligus tokoh penggerak usaha perempuan.  Sederet prestasi yang membuat Kartini terlihat tidak ada apanya.

Belum lagi tokoh-tokoh seperti Cut Nyak Dien, Nyi Ageng Serang yang adalah juga senopati perang.   Di masa yang lebih awal kita mengenal Malahayati, Laksamana perempuan, pemimpin armada laut Aceh.  Atau Ratu Kalinyamat, Ratu Jepara yang namanya tercatat dalam kronik bangsa Portugis sebagai “Rainha de Japara", kepala negeri Jepara merangkap panglima tertinggi angkatan perang Jepara.  Atau di Sulawesi ada Ratu Siti Aisyah We Tenriolle, pelopor sekolah di Sulawesi Selatan.  Mereka hidup bahkan jauh sebelum era Kartini.

Sayang, seribu kali sayang, ada satu hal yang membuat lebih Kartini lebih dikenal di luar negeri : DOKUMENTASI.  Catatan yang lengkap dan terperinci tentang sepak terjang sang tokoh.  Sesuatu yang kerap diabaikan bangsa ini sampai sekarang.

Jangan lupa, awal abad 19 masa Kartini beranjak dewasa, adalah masa Politik Etis dimana Pemerintah Kolonial membuka pendidikan bagi kelas priyayi pribumi.  Suatu berkah tersendiri bagi perempuan yang hidup di Sumatera, yang masyarakatnya terkenal dengan sistem matriakal dan egaliter.  

Rohana Kudus mendapat dukungan penuh dari sang Ayah untuk melanjutkan pendidikan dan hidup sesuai cita-citanya.  Ia pun mendapat anugerah umur panjang sehingga dapat terus mengawal hasil perjuangannya.

Sial bagi Kartini, ia dilahirkan di tengah bangsawan Jawa.  Dan Jawa di awal abad 19 adalah tanah kegelapan bagi perempuan.  Belenggu adat yang keras tanpa ampunmenempatkan perempuan benar-benar berada di sekitar tempat tidur, sumur dan dapur.

Sedangkan bagi daerah Sumatera, Aceh dan Sulawesi, bukanlah hal yang aneh bila seorang perempuan maju memimpin laskar.

Pramoedya Ananta Toer menggambarkan masa itu dengan getir dalam novel "Gadis Pantai".

Namun Jawa bagi pemerintah kolonial adalah segalanya.  Belanda mencurahkan perhatian pada Jawa, mengeluarkan uang banyak untuk memberi makan para bangsawan Keraton setelah memadamkan pemberontakan para pangeran yang tidak puas.

Tidak heran Belanda menyimpan historiografi lengkap tentang seluk beluk bangsa Jawa berikut adat, kepercayaan dan budayanya.

Kartini kecil yang sedang semangat bersekolah dipingit untuk kemudian dinikahkan dengan bupati Rembang sebagai istri ketiga.  Namun semangatnya tetap menggelora.  Dari tembok tebal kabupaten, ia melahap buku-buku berbahasa Belanda.

Bukankah mengagumkan jika seseorang yang dikungkung adat feodal sedemikian kuat bisa mempunyai pola pikir yang jauh melampaui jamannya.

Jangan dilupakan peranan JH. Abendanon yang menjabat semacam Menteri Pengajaran di daerah jajahan pada masa itu.  Sebagai pengagum Van Deventer,  pencetus politik Etis; tentu saja Abendanon berusaha keras membuat putri Jepara tersebut dapat melanjutkan sekolah, namun apa daya.  Ayah dan lingkungan dalam keluarga justru mengekangnya.  

Kartini yang merasa tertekan oleh bangsanya sendiri, justru mendapat dukungan dari orang-orang Belanda.  Situasi yang membuat Kartini merasa melalui Belanda lah ia mendapat cakrawala ilmu.

Namun halangan bagi Kartini bukan saja penjara adat yang kejam namun juga dari orang-orang yang menentang politik etis.  Tatkala sang ayah akhirnya memberikan ijin untuk melanjutkan sekolah di Belanda, Abendanon justru membujuk Kartini untuk membatalkan niatnya.

Tak cukup sampai di situ, cibiran dari sanak keluarga membuat ayah yang dicintainya jatuh sakit.  Bagi Kartini, ayahnya adalah sumber kekuatannya selain sang Kakak, RM Sosrokartono.

Dan Kartini pun memutuskan menerima lamaran Djojoadiningrat, seorang Bupati dengan tiga selir dan sejumlah anak, demi ayahnya.

Tapi bukan Kartini jika lamaran itu diterima dengan mudah, sejumlah syarat yang mencengangkan dan kurang ajar pada masa itu dilayangkan antara lain menolak prosesi jalan jongkok, berlutut dan menyembah kaki mempelai pria.

KARTINI DAN THEOSOFI
Kartini dianggap terpengaruh ajaran Theosofi sehingga tidak layak dianggap memperjuangkan hak-hak peranan wanita.  Bahkan pemikirannya perlu diwaspadai.

Pertama-tama Theosofi tidak dapat dinafikan dari sejarah perjalanan para bapak bangsa.  Pergumulan intelektual dari berbagai pemikiran yang singgah di Hindia Belanda menjadi warna tersendiri yang menjadikan negara Indonesia terbentuk dengan segala tantangannya.

Ajaran Theosofi sendiri di Hindia Belanda lebih dekat kepada agama Hindu, sesuatu yang lekat pada hidup para bangsawan Jawa.  Ajaran Theosofi mengajarkan pada persamaan dan persaudaraan tanpa membedakan warna kulit dan kepercayaan.  Sesuatu yang diidamkan oleh bangsa yang terjajah pada masa itu. 

Ajaran Theosofi yang berkembang di Hindia awal abad 19, telah menarik banyak tokoh kebangsaan, sebutlah Tjipto Mangunkoesoemo, Wahidin, dan para kaum terdidik Bumiputera.  Bahkan Soekarno yang bukan anggota Theosofi mendapat manfaat dari perpustakaan yang didirikan oleh kaum Theosof Hindia, karena ayahnya adalah anggota Theosofi.

Kartini mungkin saja mendapatkan pengaruh Theosofi dalam pergumulan intelektual berkat buku-buku bacaannya.  Dan itu rasanya wajar mengingat keadaan jaman itu. Tapi apakah itu menjadikan ia tokoh berbahaya bagi perempuan Indonesia masa kini

Jika gara-gara Theosofi, Kartini diragukan, maka kita juga harus mencoret Tjipto, Wahidin, Soekarno, Yamin dan sekian lusin tokoh-tokoh pencetus pergerakan Indonesia merdeka dari daftar pahlawan.  Karena mereka  pernah bersentuhan dengan Theosofi.

Ya Kartini memang belum berbuat banyak, sekolah yang ia dirikan, pendidikan yang ia perjuangkan dalam masa hidupnya yang singkat tidak akan dikenal jika tidak ada surat-suratnya yang dipublikasikan.  Perjalanannya mendapat secuil pendidikan bisa jadi lebih sukar dari Rohana Kudus yang didukung penuh oleh ayahnya.  Kartini tidak berhak atas apapun bahkan untuk memilih suaminya sendiri.

Belanda memang yang mengenalkan sosok Kartini.  Apa boleh buat, mungkin kita justru harus berterima kasih pada Belanda yang menyimpan dokumentasi lengkap tentang gadis Jepara itu.  Yang membuka mata kita betapa terjalnya jalan yang ditempuh perempuan Jawa untuk mendapatkan sedikit hak untuk menentukan nasib sendiri.

Memandang peran Kartini tidak dapat melalui perspektif sempit.  Diperlukan banyak sudut dan tentu saja keluasan wawasan untuk dapat memberikan penilaian yang wajar dan pada tempatnya .




Tidak ada komentar: