19 November 2012

Menjenguk GILI

Hari sudah malam saat pesawat yang saya tumpangi menjejak lapangan terbang Ngurah Rai.  Seketika terdengar detakan logam beradu, rupanya para penumpang yang sudah tidak sabar keluar dari pesawat telah melepas seat belt mengingat jadwal keberangkatan dari Jakarta yang mundur gara-gara masalah operasional.

Ke 5 teman seperjalanan saya terlihat kelelahan dan kelaparan, berenam kami terseok mengangkat ransel menuju counter makanan siap saji yang juga terlihat penuh.

Kondisi perut sudah aman, saatnya menuju hotel yang terletak di jantung Legian.  Kamar cukup bagus dan luas untuk menampung 6 orang dengan harga cukup murah untuk ukuran kantong kami.  Mandi dan segera tidur karena besok pagi harus menuju Padang Bai untuk menyeberang ke Gili Trawangan.

Saya sengaja memilih sofa untuk meletakkan tubuh karena lebih nyaman dibanding berbagi tempat tidur dan rupanya lumayan pulas dan terbangun sebelum alarm pagi berbunyi. Tak lupa mengirim message pada Bli Nyoman untuk menjemput kami menuju Padang Bai.

Pagi, bergegas bangun dan mengambil sarapan yang sudah disiapkan oleh hotel sambil menunggu jemputan dari pihak provider fast boat Padang Bai - Gili Trawangan.  Harga Rp 750 ribu/pp rasanya cukup murah dibandingkan provider lain yang memasang tarif 500 ribu sekali jalan.

Perjalanan ke Padang Bai sendiri cukup jauh, selain kami berenam di dalam jemputan, terdapat turis-turis bule, nampaknya lebih banyak bule dibanding orang lokal yang menuju Gili hari ini.  Saya sempat tertidur kembali beberapa saat di dalam mobil. 

Pelabuhan Padang Bai ramai sekali, pantainya cukup bersih dan berair jernih untuk pelabuhan yang ramai.  Mengantri sejenak untuk check in dilanjutkan mengantri kamar kecil yang cuma satu dalam kantor travel Bali Tours, untunglah kondisinya cukup memadai dengan air bersih melimpah. Tak jauh dari tumpukan koper yang siap diangkut, tampak tabung-tabung oksigen milik para penyelam dikumpulkan untuk dibawa menyeberang.

Jarak tempuh Padang Bai - Gili memakan waktu sekitar 1.5 jam, kondisi laut cukup bersahabat, matahari bersinar cerah.  Keadaan kapal juga cukup baik.  Ada 2 kapal milik Bali tours yang berangkat bersama.  Lagi-lagi saya tertidur sejenak dalam perjalanan.  Rupanya tubuh saya berusaha menyesuaikan diri.

Saya terbangun dan menunggu dengan tidak sabar kapan fast boat ini selesai membelah lautan.  Namun toh akhirnya pantai Gili terlihat juga.  Biru jernih dengan kilatan pasir putih.  Para penumpang bergegas turun dengan meniti samping kapal sambil berpegangan pada besi yang terpasang di sekeliling kapal.

Ternyata sudah ada penjemput dari hotel kami, Cung namanya, ia datang dengan membawa sepeda, berarti kami tetap harus membawa tas-tas kami sendiri :)..

Menurut Cung, jarak hotel yaitu Pondok Sedrhanan tidak terlalu jauh dari pelabuhan, 5 menit jalan kaki...tapi dengan tas full terisi maka akan 2 kali lebih berat.  Berjalan menyusuri jalan utama yang kecil dan tidak rata, berpapasan dengan cidomo dan sepeda.  Bule-bule berjalan dengan pakaian minim karena toh ini pulau pantai dimana pakaian sekedar menutupi bagian vital.

Hotel kami berupa pondokan kecil sederhana, terletak di bukan jalan utama, tapi cukup dekat dengan pusat keramaian, tanpa AC hanya kipas angin, dengan harga sangat-sangat murah, dilengkapi sarapan lagi. Toh, kami hanya semalam.  Dinding kamar sudah mengelupas tapi overall cukup bersih.  

Patut diingat bahwa kebanyakan hotel-hotel ini dimiliki oleh orang asing, sayang sekali yaa....

Makan siang sesuai petunjuk Cung di warung Indonesia dekat penginapan, ternyata masakannya cukup enak.

Sayang sekali saat kami berniat snorkling, kapal publik sudah berangkat dari jam 10:30 tadi, 30 menit sebelum kedatangan kami.  Terpaksa kami harus mencharter kapal tersendiri.  Cung membantu kami menawar harga, disepakati 800 ribu dilengkapi dengan 6 masker snorkling plus life vest jacket.

Tujuan pertama adalah Gili Meno, kapal berhenti di tengah dan pemandu memberi tanda untuk masuk air dan memulai sesi snorkling.  Saya segera turun, dan berusaha menyesuaikan diri dengan peralatan.  arus agak kuat.  Dan ternyata saya melakukan kesalahan mendasar, terjun ke air tanpa melalui peregangan yang cukup dan langsung menggunakan penuh kekuatan kaki untuk menentang arus, akibatnya kaki kram, tidak hanya satu namun dua, tergopoh-gopoh saya berusaha mencapai kapal kembali karena tidak menggunakan jaket pelampung.

Romantic moments


Beberapa teman sudah asyik berenang sementara saya masih terduduk di kapal menahan nyeri di jari-jari kaki.  Pelan-pelan rasa nyeri berkurang dan saya siap mengenakan kembali masker.  Kapal beberapa saat masih berhenti di Gili Meno, namun karena arus semakin kuat, kapal berjalan pelan mencari tempat yang pas, saya dan beberapa teman berpegang pada tiang penyeimbang kapal karena malas naik kembali ke kapal.  

Puas di Gili Meno, kapal berjalan ke Gili Air, sebuah pulau kecil cantik.  Pantainya berhias payung-payung putih untuk berjemur.  Ikan-ikan kecil cantik mengerubungi saat remah-remah biskuit ditaburkan.  Saya membawa kamera underwater mungil, dan segera mengarahkan pada gerombolan ikan tersebut.  Dengan air yang jernih, ikan dan karang terlihat jelas, namun ada pula saluran pipa yang entah bekas apa melintang di dasar laut dan tampak menyeramkan.

Ternyata memotret di dalam air cukup sulit, berkali-kali saya kehilangan obyek karena terbawa arus.  Secara umum pemandangan di bawah air Gili Air cukup jelas, ikan-ikannya lumayan banyak.  

Hari semakin sore, akhirnya pemandu memberi tanda untuk kembali ke Trawangan.  Ada yang lucu, rupanya pemuda di sana lebih suka dipanggil Bro daripada Bli...ah, sayang sekali, padahal panggilan Bli lebih orisinil dan khas. Apakah itu yang namanya cultural shock?

Selesai aktivitas air, kami lebih memilih berjalan-jalan menikmati gelato dan naik sepeda menyusuri jalan, menuju dermaga di depan Villa Ombak, ingin menikmati matahari tenggelam.

Beberapa lama kami di sana, saya sempat mengambil uang di ATM yang terletak di depan Villa Ombak.  Sampai akhirnya mentari tenggelam sempurna meninggalkan perut-perut kami yang mulai berbunyi.  

Dengan budget yang terbatas, kami mencari makan, akhirnya berhenti di sebuah cafe yang menyajikan steak cukup murah.  Namun ternyata pelayanannya lama sekali, makanan yang keluar pun tidak begitu enak rasanya. tapi sudahlah...Di Gili ini memang tidak begitu banyak pilihan.  Semakin malam, suasana semakin semarak.  Para pelayan cafe berdiri di depan resto mereka, menawarkan berbagai macam menu.  Musik clubbing pun semakin menghentak.

Para penyelam malam (night diving) telah kembali, suara fin mereka berkecipak di dekat tempat kami makan.  Mata pun terasa berat.  Tanpa menunggu lama kami kembali ke penginapan.

Ternyata saya bolak balik terbangun suara kipas angin terasa berisik, ditambah rasa nyeri akibat urat telapak tangan yang bergeser serta bengkak memar di lengan mungkin akibat snorkling tadi.

Subuh saya terbangun dan bergegas ke pantai mengejar matahari terbit, mengambil beberapa foto sebelum kembali untuk mengambil sepeda dan menyusuri pantai Trawangan bersama 2 orang teman.

Terengah-engah karena track yang berpasir tidak memungkinkan untuk terus mengayuh pedal, terpaksa turun dan menuntun sepeda.  Sinar matahari yang ganas menyorot garang, Celaka!..kami lupa membawa minum.  sementara track masih cukup jauh, tidak ada warung di sisi belakang pantai.

Tidak ada jalan lain selain mengayuh pedal kuat-kuat berharap segera tiba di akhir putaran, rasa haus kian mencekat, kami sempat menoleh mengamati resort mewah yang bermunculan di sisi lain pantai Gili namun tidak sempat memotret karena didera oleh dahaga.  Akhirnyaaa....

Segera berhenti di warung pertama yang kami temui, sayang lemari pendingin sedang rusak jadi minuman malah terasa hangat.  Tanpa ba bi bu kami segera mengambil sepeda dan menggenjot kuat kuat, lagi-lagi menuju warung Indonesia.  Sampai di sana segera membuka lemari pendingin mengambil teh botol.  

Tak kuat dengan gerah yang terus mengungkung, saya segera membuka kaus dan tinggal gaun tipis, bertali kecil  Tak peduli dengan BH yang menyembul, toh semua orang begitu di sini.  

Sempat mengobrol sebentar sebelum akhirnya kembali untuk check out kembali ke Bali.  Karena kapal Wahana penuh, kami dipindah ke Ocean Star.  Kapal melaju kencang, ombak lebih besar dari saat berangkat, sehingga beberapa kali kapal melayang sebelum terhempas digoyang ombak.  Beberapa orang tampak mual, bahkan 1 orang bule bergegas ke belakang membawa kantung berisi muntahannya.  Lagi-lagi saya sempat tertidur..hahahah.

Di Bali, kami makan siang, standar saja di Bebek Bengil, mahal sebenarnya dengan rasa cukup enak...ya memang seharusnya begitu kan.  Sampai di hotel saya memilih dipijat untuk mengurangi nyeri otot yang terasa mengganggu.  Sempat menyusuri jalan Legian yang suasananya tidak berubah, penuh bule yang kadang mabuk, para gadis pelayan cafe yang kerap berpenampilan seronok, tidak ada yang baru. Baru keesokan hari bersiap pulang dengan pesawat Sore.

O ya, terus terang ayam betutu gilimanuk lebih enak dari bebek bengil dengan harga yang jauh lebih murah.










1 komentar:

Hedwig Martina mengatakan...

Wah nemu blog Mbak Mala dari blognya Mbak Anet hehe. Ada ttg Gili juga! :))

Aku jg br nulis ttg Gili di sini:

www.louiethebunny.blogspot.com

Hehe.