24 Agustus 2012

Buku Ketiga dari Kuartet Buru

Kata orang, dalam membaca kuartet Buru-nya Pram kebanyakan orang lebih tertarik pada buku satu (Bumi Manusia) dan buku Dua (Anak Segala Bangsa).  buku ketiga dan keempat jarang dibaca karena sangat berat dan condong ke arah pembentukan organisasi modern era Hindia Belanda.

Dan setelah mengkhatamkan buku ketiga (Jejak Langkah), justru buku inilah yang sangat menarik, belum baca buku keempatnya.  Dalam Jejak Langkah, dimulai pembentukan koran pertama bumiputera dan organisasi modern pertama.

Sangat menarik melihat dan mencocokkan nama nama tokoh yang disamarkan dengan tokoh aslinya pada masa itu.  Misalnya tokoh Douwager, dengan segera saya mengenali itu adalah Ernest Douwes Dekker.  Wardi adalah Soewardi, Marco adalah Mas Marco.  Haji Samadi adalah Haji Samanhudi.  Selain tokoh utama Minke yang adalah Tirto Adi Soerjo.  Bunga Jepara yang saya asumsikan adalah RA Kartini.

Haji Misbach tetap bernama Haji Misbach dalam roman tersebut.

Dengan detil yang mengagumkan, Pram menggambarkan pergolakan pada masa itu, pendirian koran Medan yang juga menjadi biro konsultasi hukum pertama yang membela pribumi.

Hubungan baik TAS dengan Gubernur Jenderal Van Heutsz yang berhasil memadamkan perang Aceh, namun saya tidak tahu dalam realita apakah memang ada hubungan baik antara TAS dengan Gubernur Jenderal pada masa itu.

Kekaguman Pram terhadap perlawanan tanpa henti dari rakyat Aceh dan Bali terucap dari mulut Minke. Pemikiran TAS tentang organisasi pribumi tanpa memandang kasta terangkum utuh dalam Jejak Langkah. Gerakan Samin pun mendapat tempat sebagai inspirasi terhadap kebangkitan pribumi. Ide untuk meniru gerakan boycot pribumi untuk pertama kali juga terangkum di buku ini

Ibunda Minke memberikan restu sepenuhnya terhadap tindakan anaknya walaupun kadang tidak mengerti dengan pendirian Minke sebagai seorang Raden Mas yang menolak sembah terhadap sesama manusia.  Resistensi sang Ayah yang juga Bupati B (Blora?) yang awalnya keras akhirnya melunak mendapat kenyataan bahwa anaknya kian termasyur di kalangan bumiputera dan pejabat Hindia Belanda.

Pernikahan singkat Minke dengan Ang San Mei, seorang aktivis Tiong Hoa memberikan gambaran bahwa demi negerinya, Negeri Tiongkok, Ang San Mei bahkan rela terusir dari negaranya dan berjuang dari Hindia tapi juga melukiskan kehidupan suami istri yang terpisah karena ideologi, walaupun mereka saling menguatkan.

Di buku ini juga TAS akan memulai masa pembuangan, korannya dibreidel akibat pemberitaan radikal dari anak buahnya.

Membaca karya-karya Pram yang kuat dengan ke-Indonesiaan-nya membuat saya mati rasa terhadap novelis Indonesia lainnya.  Memang tidak adil membandingkan Pram dengan penulis lainnya apalagi dengan bidang garapan yang berbeda.

Namun sering gemas dengan novel novel Indonesia sekarang yang enteng dan nir-makna. 

Terlepas dari sikap politik Pram, tulisan-tulisannya merupakan aset berharga bagi bangsa Indonesia


Tidak ada komentar: