06 Februari 2012

Theosofi Dalam Sejarah Hindia Belanda

There is no religion higher than truth...

Motto ini menjadi pegangan para penganut Theosofi yang didirikan oleh wanita Rusia, Madam Blavatsky menjelang penghujung abad 19.

Pada perkembangannya pusat gerakan dipindah ke Adyar, India.  Mengingat fokus ajaran ini condong ke arah dunia Timur, khususnya Hinduisme.

Di Indonesia, Theosofi muncul di kota kecil, Pekalongan dan mendapat sambutan baik dari para elit bangsawan Jawa.

Di Hindia Belanda, para kaum terpelajar merasa mendapat saluran untuk mengeluarkan ide ide mereka dalam perkumpulan ini.  Hampir tidak ada diskriminasi ras dan agama dalam dunia theosofi.  Dikatakan hampir karena awalnya ketua cabang Theosofi adalah dari kalangan Belanda.

Theosofi membawa politik asosiasi.  Saat itu di Hindia sedang berkembang pemahaman politik balas budi sehingga tak heran jika aliran ini berkembang pesat di Batavia.  Banyak nama nama yang di kemudian hari berperan besar dalam sejarah gerakan kebangsaan Indonesia bergabung menjadi anggota.

Tidak bisa disangkal, konsep konsep yang diusung oleh Theosofi yang mengutamakan budaya asli sangat cocok bagi situasi Hindia saat itu.  Kaum terpelajar khususnya di Jawa merasa menemukan kesadaran dimana mereka selama ini merasa terombang ambing antara dunia barat dan budaya asli yang telah mereka kenal sedari lahir.

Materi Theosofi yang banyak mengambil mistifikasi dunia timur terutama Hindu lekat dengan nilai nilai kejawen yang dianut oleh bangsawan Jawa.  Walaupun ketuanya kebanyakan orang Belanda yang beragama Kristen namun pada dasarnya organisasi ini tidak serta merta menjadi Kristen. Keyakinan mesianik kelompok ini mirip mirip dengan satria piningit orang Jawa.

Soekarno, walaupun bukan anggota Theosofi namun banyak menghabiskan waktu berjam jam di perpustakaan milik kelompok Theosofi berkat akses yang dimiliki oleh Soekemi ayahnya yang anggota.

Agus Salim, Ahmad Soebarjo, Radjiman Wedyodininingrat, Dt. Sutan Maradjo, adalah sebagian kecil dari nama nama angkatan awal pergerakan yang menjadi anggota gerakan ini. Sadar atau tidak pengaruh organisasi ini memunculkan bibit nasionalisme yang semula tertutup oleh siemangat kedaerahan.

Bahkan Budi Utomo, diakui atau tidak juga dipengaruhi oleh pikiran pikiran Theosofi, begitu pula dengan 3 serangkai walau nantinya mereka akan melepaskan diri.  Pun, Taman Siswa kurikulumnya akhirnya turut tersentuh dengan sekolah Arjuna yang didirikan oleh para Theosof.

Namun dengan maraknya kemunculan dunia pergerakan yang mengusung politik non asosiasi, Theosofi perlahan meredup.  Apalagi dengan mundurnya Annie Besant dari posisi ketua Theosofi dunia sehingga menimbulkan perpecahan di dalam.

Pemerintah Belanda mulai kembali pada watak represifnya saat Dirk Fock menggantikan Van Limburg Stirum sebagai Gubernur Jendral.  Fock percaya akan kekuatan modal, tak heran jika politik balas budi yang dicanangkan oleh Van Deventer berangsur lenyap.

Pemerintah Hindia Belanda mencurigai kegiatan kegiatan yang dilakukan oleh Theosofi, di lain pihak perkumpulan perkumpulan progresif  dan radikal seperti PNI dan Indische Partij yang menolak kooperasi serta kelompok yang berbasis agama Islam dan Katolik juga melancarkan kecaman karena mengganggap Theosofi mencampuradukan ajaran agama dan dianggap tunduk kepada pemerintah.

Memang Theosofi tidak mengenal revolusi, mereka hanya ingin perubahan berjalan menurut lazimnya sebuah evolusi, perlahan dan tidak menimbulkan kerusakan dalam tatanan masyarakat yang telah mapan.

Jumlah keanggotaan merosot dengan cepat, keuangan merugi ditambah dengan kecaman dari berbagai pihak membuat perkumpulan ini kian tertinggal oleh pergerakan Jaman.

Namun suka atau tidak, disadari atau tidak, Theosofi turut memberikan warna dan wadah dalam pergerakan para elit bumiputera pada masa itu.  



Tidak ada komentar: