14 Februari 2012

Tentang NKRI

Sepanjang perjalanan hidupnya, Indonesia telah kenyang diterpa ancaman separatis dari daerah yang semula mati matian membidani kelahiran NKRI.

Namun apakah pengalaman itu membuat kita semakin arif dalam menyikapi kemajemukan etnis, agama dan bahasa yang merupakan unsur modal dan modus vivendi terbentuknya negara kita sekarang ini.

Berulangkali diangkat dan dituliskan dalam berbagai pertemuan dan buku, kupasan dari para pemuka sejarah tentang alasan dan latar belakang para bapak bangsa saling bersilang kata, berbeda pendapat sampai akhirnya patah arang dan mengambil langkah terakhir untuk memisahkan diri dari negara yang mereka bangun dengan segenap kecintaan dan kerinduan akan tanah air yang merdeka.

Tentu bukan semata rindu akan pemerintahan bersendikan agama dan kitabullah yang memaksa Teungku Daud Beureuh menyodorkan kapak perang pada Soekarno saat itu, tapi karena hati yang terlanjur luka akibat silap kata, janji terhadap rakyat Aceh yang diingkari oleh pemerintah.

Daud Beurueh melunak, Hasan Tiro maju, dengan alasan sedikit berbeda namun tetap dalam bingkai amarah yang sama, ketidakadilan ekonomi terhadap rakyat Aceh.
Namun keduanya sama sama merindukan jaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda dimana Aceh berdaulat.

Kiranya Natsir juga menginginkan negara yang berdasarkan ajaran Islam, namun sesuai dengan prinsip demokrasi yang dijunjungnya tinggi, ia memilih memperjuangkan konsep negara Islam melalui parlemen, yang berarti juga melalui lajur bertahap dan berliku. Juga bukan karena Masjumi, partai Islam terbesar yang dipimpinnya yang memenangkan pemilu disisihkan dari kabinet

Natsir, sang penggagas mosi integral untuk NKRI akhirnya tersingkir ke pedalaman Sumatera, bersama Syafrudin Prawiranegara dan Soemitro Djojohadikusumo bergabung dengan Letkol Barlian dan Zulkifli Lubis.

Tidak, bukan Natsir ingin memisahkan diri dengan NKRI yang dikonsepnya dengan susah payah.  

Seperti Hatta yang mengundurkan diri dari poros kekuasaan, Natsir melihat Soekarno makin jauh dari konstitusi yang seharusnya menjadi pedoman para pemegang kekuasaan. Soekarno dengan lihai mengumumkan kondisi SOB sehingga kekuasaan pemerintahan digenggamnya penuh.

Lain Natsir lain Kartosoewirjo, dengan pasukan Darul Islamnya, ia memuntahkan kecewa terhadap Soekarno yang dinilainya lebih berpihak kepada kaum sekuler dan berkelanalah ia ke gunung dan hutan Jawa Barat.

Masih ada OPM di Papua yang mengusung ketidakadilan pemerataan ekonomi untuk rakyat Papua.

Pengalaman pula yang membuktikan bahwa pemerintah terbiasa menerjunkan tentara untuk membereskan konflik.  Para pemegang kuasa terbukti memiliki ingatan pendek, bahwa Belanda sang penjajah, takluk dengan kecerdasan diplomasi dan kesabaran para pendahulu mereka.

Soekarno dan Nasution memilih menjatuh bom di Painan, pantai barat Sumatera untuk membuat PRRI menyerah.  Hal yang sama diberlakukan untuk Aceh.  Baik Orde lama apalagi Orde Baru tidak mau berpeluh merangkul daerah yang memprotes ketidakadilan terhadap mereka.

Apakah NKRI adalah harga mati? Natsir mungkin mempertanyakan itu sekarang, karena konsepnya ditafsirkan sewenang-wenang oleh pemerintah kini.  Jika dulu memo integral digunakan untuk menyatukan negara negara bagian sebagai hasil KMB ke dalam NKRI maka sekarang nasib NKRI hampir sama seperti Pancasila, didewakan tanpa mengerti bagaimana menterjemahkan ke dalam pelaksanaan penyelenggaraan negara seperti cita cita awal.

Penindasan hanya menghasilkan amarah yang pada akhirnya menimbulkan kerusakan dalam fungsi yang berujung pada kegagalan sistem. 

Indonesia selalu terombang ambing dalam pusaran kepentingan, namun pengalaman yang lalu sepertinya tidak berada dalam rekam jejak para pemimpin masa kini.  Tidak heran kita selalu tidak siap menghadapi jaman yang tidak pernah konstan.

Tidak ada komentar: