26 Februari 2012

Mitos Dekrit & Konstituante

Dewan Konstituante menghadapi situasi genting.  Tenggat waktu untuk menyusun UUD baru pengganti UUD 1945 semakin menyempit.  Dewan hasil dari Pemilu 1955 tersebut masih berkutat dengan persoalan dasar negara.  Ada 3 usulan yaitu Islam, Pancasila dan sosial ekonomi.

Kelompok nasionalis memilih Pancasila, berlawanan dengan golongan Islam.   Sidang konstituante lagi lagi menemui jalan buntu, akibat kedua golongan tersebut sama sama berkeras dengan pilihan mereka.

Namun kelihatannya majelis Konstituante bersedia berkompromi walau terlambat.  Hatta yang dianggap mewakili golongan luar Jawa keburu mengundurkan diri.

Soekarno melihat ini sebagai peluang untuk mewujudkan konsepnya mengenai demokrasi terpimpin dengan mengusulkan kembali ke UUD 1945.  Ide ini didukung oleh militer, Nasution bahkan menemui KH Idham Chalid untuk meminta dukungan dari umat Islam.

Pemilu 1955 memang paling demokratis, namun menghasilkan terlalu banyak partai untuk berkoalisi.  Ketika koalisi pecah, kabinet pun jatuh.  Demokrasi terpimpin ala Soekarno menjadi pemenang.  Walau ini berarti menjalankan pemerintahan otoriter yang dikritik habis habisan oleh Natsir, Kasimo dan rekan Soekarno lainnya.

Yang ganjil, Soekarno bahkan membentuk MPRS, yang menegaskan Soekarno adalah pengendali kabinet dan pemegang kekuasaan tunggal.

Dalam buku buku sejarah sekolah dasar, disebutkan bahwa dekrit Presiden untuk kembali pada UUD 1945 dan membubarkan dewan konstituante adalah langkah penyelamatan negara,  Namun yang tidak diungkap adalah motif politik Soekarno dan telaah mendalam terhadap kemajuan yang dibuat oleh dewan.

Soekarno dan Nasution bekerja sama untuk menggelar pemerintahan tunggal.  Namun pada akhirnya Soekarno terjungkal oleh militer.  Nasution pula yang mencopot gelar Presiden dari Soekarno untuk dipasangkan pada diktator yang baru, Soeharto.

Demokrasi terpimpin mungkin satu satunya ajaran Soekarno yang dilanjutkan oleh Soeharto.

Tidak ada komentar: