11 Oktober 2008

GELEGAR

Panggoegah, edisi 9 Juni 1919,

Seorang anak muda menulis bahwa masyarakat sangat terbebani oleh kewajiban memelihara dua kraton, Kasunanan dan Mangkunegaran.

Anak muda ini mengusulkan supaya Sunan dan Mangkunegara dipensiun saja dan diberi gaji bulanan 2000 gulden.

Dalam Panggoegah edisi 16 Juni 1919, ia kembali menulis bahwa Amangkurat II beserta keturunannya adalah budak budak feodal kolonialis Belanda.

Anak muda ini melanjutkan kampanye anti raja melalui rapat2 Insulinde, Volksraad dan tentu via Panggoegah hingga edisi Oktober 1919.

"Tak bisa disangkal lagi, dua kerajaan itu memangsa penduduknya, bahwa mereka tak bisa bertahan hidup tanpa mengisap rakyat sampai ke sumsumnya, tanpa melonggarkan pajak yang begitu mencekik...Saya merasa bahwa segala kemewahan itu biayanya harus dibayar dari kantong orang kromo..pada akhirnya orang kromo itulah yang harus menghidupi raja."

Aksi tersebut memicu murka kubu pro kerajaan yang dipegang para priyayi Boedi Oetomo serta kalangan abdi dalem lainnya termasuk Samanhoedi, pendiri Sarekat Islam. Bersama sama kaum feodal lainnya mereka membentuk komite yang antipati thd anak muda tsb.

Anak muda yang kelak dikenal sebagai ksatria sejati itu adalah Tjipto Mangoenkoesoemo, salah satu pribumi terpelajar pertama yang sadar berpikir tentang kemajuan bumiputera. Kepentigan kalangan rakyat jelata adalah target utamanya.


(disarikan dari : TANAH AIR BAHASA, Seratus Jejak Pers Indonesia)

Tidak ada komentar: