Matahari menyorot ubun-ubun dengan garang. Peluh mulai menitik di kening, perlahan mengalir. Punggung saya pun telah kuyup.
Berdiri tegak menghadap makam tua, dengan nisan bertuliskan bahasa Belanda. Membaca nama yang terukir di situ : Cor De Graaf
Diawali dari RS PGI Cikini. Gedung bergaya barok yang tersembunyi di sisi dalam rumah sakit menjadi asal muasal saya berada di makam ini sekarang.
Seminggu sebelumnya saya berhadapan dengan gedung anggun tersebut, setelah berjalan menyusuri parkir sebelum akhirnya menemukan bangunan antik yang berada di depan taman asri. Sambil duduk di bangku taman, saya segera menyiapkan kamera. Membidik gedung yang dulunya merupakan kediaman Raden Saleh. Pelukis kenamaan yang sering disebut sebagai pionir aliran modern seni Indonesia.
Gedung ini dibangun tahun 1852 dan tahun 1897 beralih fungsi menjadi rumah sakit. Pendiri rumah sakit inilah yang menjadi salah satu penghuni makam di Depok Lama.
Kenangan masa kecil sewaktu bersekolah di daerah Depok Lama menuntun saya untuk menyusuri jalan Dahlia, jalan kecil yang dulu dipenuhi oleh rumah-rumah berhalaman luas tempat para keturunan 12 keluarga bekas anak buah Cornelis Chastelein bermukin.
Di selasar Margo City, terdapat dinding yang memuat tulisan singkat tentang kota Depok termasuk nama-nama 12 marga yang mewarisi sejumlah tanah peninggalan Chastelein.
Seperti yang sering disebutkan, Cornelis Chastelein adalah seorang Belanda yang memiliki tanah di seluruh Depok pada akhir abad 17, yang tentu saja dulu luas tanah dimilikinya hanya sekitar 6% dari Depok sekarang. Depok saat itu menjadi sebuah daerah otonomi tersendiri.
Langkah kaki membawa ke sebuah makam tua, tepat di depan lapangan Kamboja. Berbincang sejenak dengan para penunggu makam, dan mereka segera menunjuk beberapa makam tua yang merupakan tokoh utama dari kunjungan ini.
Cor De Graaf adalah misionaris yang ditugaskan Belanda di Depok, sedangkan istrinya Adriana Josina De Graaf merupakan pendiri RS Cikini di tahun 1898.
Dulu makam ini cukup lapang, namun sekarang nampak penuh sesak. Makam ini memang menjadi makam keturunan dari 12 keluarga tersebut.
Mata saya mencari-cari gedung Pastoran yang seingat saya berada tak jauh dari makam, salah seorang penjaga segera menunjukkan arah di Pastoran tersebut berada, kembali saya mengangguk-angguk.
Setelah puas, saya mengayun langkah menuju bekas sekolah, tak hendak mampir, hanya lewat saja sekaligus napak tilas, meresapi segala perubahan setelah 20 tahun berlalu. Banyak yang berubah tentu, kebun-kebun yang luas kini menjadi bangunan. Jalan kecil itu sudah hotmix namun saluran air tidak terlihat sehingga tampak genangan air yang tidak bergerak.
Kali ini saya menuju Jalan Pemuda. Sepanjang jalan, saya tersenyum betapa memang Depok bisa disebut kota Gereja. Dari Gereja Bethel Indonesia yang berdiri megah di depan lapangan Kamboja. Sampai gereja-gereja kecil di sepanjang jalan Mawar diselang-seling oleh rumah-rumah tua berhalaman teduh. Walaupun di jalan utama seperti jalan Siliwangi, banyak bangunan tua yang sudah beralih fungsi.
Di dekat RS Hermina, mata saya mencari-cari bangunan tua yang waktu itu terletak di samping tempat parkir, namun sekarang lenyap, sayang sekali.
Di jalan pemuda, terdapat Gereja kuno, bernama Gereja Imanuel yang dibangun sekitar tahun 1700 oleh Cornelis Chastelein sendiri.
Tepat di sebelah gereja, ada sebuah rumah tua yang menjadi kantor yayasan Cornelis Chastelein sekaligus menjadi sekolah SMA Kasih.
Saya minta ijin untuk memotret kepada pak penjaga, seorang anak muda berbadan kekar seperti orang Ambon dengan kalung besi menghias lehernya. Mereka dengan ramah mempersilakan saya mengambil gambar bangunan tersebut.
Saya sempat berkeliling sejenak, membongkar ingatan sebelum akhirnya berpamitan.
Sepanjang jalan saya tak habis pikir kenapa pemerintah Depok terkesan tak mengurusi peninggalan bersejarah ini sehingga perlahan-lahan lenyap ditelan waktu dan kebutuhan lain yang lebih penting bagi kelangsungan hidup.
Berdiri tegak menghadap makam tua, dengan nisan bertuliskan bahasa Belanda. Membaca nama yang terukir di situ : Cor De Graaf
Diawali dari RS PGI Cikini. Gedung bergaya barok yang tersembunyi di sisi dalam rumah sakit menjadi asal muasal saya berada di makam ini sekarang.
Seminggu sebelumnya saya berhadapan dengan gedung anggun tersebut, setelah berjalan menyusuri parkir sebelum akhirnya menemukan bangunan antik yang berada di depan taman asri. Sambil duduk di bangku taman, saya segera menyiapkan kamera. Membidik gedung yang dulunya merupakan kediaman Raden Saleh. Pelukis kenamaan yang sering disebut sebagai pionir aliran modern seni Indonesia.
Gedung ini dibangun tahun 1852 dan tahun 1897 beralih fungsi menjadi rumah sakit. Pendiri rumah sakit inilah yang menjadi salah satu penghuni makam di Depok Lama.
Kenangan masa kecil sewaktu bersekolah di daerah Depok Lama menuntun saya untuk menyusuri jalan Dahlia, jalan kecil yang dulu dipenuhi oleh rumah-rumah berhalaman luas tempat para keturunan 12 keluarga bekas anak buah Cornelis Chastelein bermukin.
Di selasar Margo City, terdapat dinding yang memuat tulisan singkat tentang kota Depok termasuk nama-nama 12 marga yang mewarisi sejumlah tanah peninggalan Chastelein.
Seperti yang sering disebutkan, Cornelis Chastelein adalah seorang Belanda yang memiliki tanah di seluruh Depok pada akhir abad 17, yang tentu saja dulu luas tanah dimilikinya hanya sekitar 6% dari Depok sekarang. Depok saat itu menjadi sebuah daerah otonomi tersendiri.
Langkah kaki membawa ke sebuah makam tua, tepat di depan lapangan Kamboja. Berbincang sejenak dengan para penunggu makam, dan mereka segera menunjuk beberapa makam tua yang merupakan tokoh utama dari kunjungan ini.
Cor De Graaf adalah misionaris yang ditugaskan Belanda di Depok, sedangkan istrinya Adriana Josina De Graaf merupakan pendiri RS Cikini di tahun 1898.
Dulu makam ini cukup lapang, namun sekarang nampak penuh sesak. Makam ini memang menjadi makam keturunan dari 12 keluarga tersebut.
Mata saya mencari-cari gedung Pastoran yang seingat saya berada tak jauh dari makam, salah seorang penjaga segera menunjukkan arah di Pastoran tersebut berada, kembali saya mengangguk-angguk.
Setelah puas, saya mengayun langkah menuju bekas sekolah, tak hendak mampir, hanya lewat saja sekaligus napak tilas, meresapi segala perubahan setelah 20 tahun berlalu. Banyak yang berubah tentu, kebun-kebun yang luas kini menjadi bangunan. Jalan kecil itu sudah hotmix namun saluran air tidak terlihat sehingga tampak genangan air yang tidak bergerak.
Kali ini saya menuju Jalan Pemuda. Sepanjang jalan, saya tersenyum betapa memang Depok bisa disebut kota Gereja. Dari Gereja Bethel Indonesia yang berdiri megah di depan lapangan Kamboja. Sampai gereja-gereja kecil di sepanjang jalan Mawar diselang-seling oleh rumah-rumah tua berhalaman teduh. Walaupun di jalan utama seperti jalan Siliwangi, banyak bangunan tua yang sudah beralih fungsi.
Di dekat RS Hermina, mata saya mencari-cari bangunan tua yang waktu itu terletak di samping tempat parkir, namun sekarang lenyap, sayang sekali.
Di jalan pemuda, terdapat Gereja kuno, bernama Gereja Imanuel yang dibangun sekitar tahun 1700 oleh Cornelis Chastelein sendiri.
Tepat di sebelah gereja, ada sebuah rumah tua yang menjadi kantor yayasan Cornelis Chastelein sekaligus menjadi sekolah SMA Kasih.
Saya minta ijin untuk memotret kepada pak penjaga, seorang anak muda berbadan kekar seperti orang Ambon dengan kalung besi menghias lehernya. Mereka dengan ramah mempersilakan saya mengambil gambar bangunan tersebut.
Saya sempat berkeliling sejenak, membongkar ingatan sebelum akhirnya berpamitan.
Sepanjang jalan saya tak habis pikir kenapa pemerintah Depok terkesan tak mengurusi peninggalan bersejarah ini sehingga perlahan-lahan lenyap ditelan waktu dan kebutuhan lain yang lebih penting bagi kelangsungan hidup.
2 komentar:
Hmmm ... gw kok mash blm bisa menikmati wisata sejarah kayak begini yaaa ????
Apa jiwa ku kurang lengkap !!! hehehe
Wah mbak pencinta bangunan tua dan historical ya sepertinya..toosss heheh
Posting Komentar