17 Juni 2013

Melacak Cina Benteng di Tangerang

Anda tahu bahwa hampir 90% Cina Benteng adalah warga miskin?

Begitulah Udaya Halim membangunkan kami yang terkantuk-kantuk gara-gara hidangan peranakan lezat yang disajikan susul menyusul.

Kota Tangerang menyimpan banyak peninggalan budaya yang mencengangkan.  Kota yang terlihat gersang dan kumuh di satu sisi namun gemerlap di sisi lain (jika kita bicara seputaran BSD) sesungguhnya penuh dengan jejak peradaban yang tidak dapat disepelekan begitu saja.



Kali kedua saya mengikuti heritage walk yang diselenggarakan oleh GELAR, sebuah perkumpulan yang sejak tahun 1999 mengkhususkan diri untuk mengenalkan dan menggali budaya Indonesia. Tangerang menjadi pilihan kali ini.


Dari meeting point di Kemendikbud jalan Soedirman, bis menuju kota lama Tangerang.  Menyusuri jalan tol sampai akhirnya sampai di jalan raya satu arah yang tidak begitu lebar.  Itulah jalan raya kota lama.

Sungai Cisadane yang lebar membentang tenang. Sabtu ini di sungai itu diselenggarakan lomba perahu naga untuk memperingati tradisi Peh Cun.  Sebuah tradisi yang semula berawal tahun 1911 di Indonesia dan terhenti   di tahun 1965 akibat geger politik.

Peh Cun di luar negeri dikenal sebagai Duan Wu Jie, sebuah tradisi untuk memperingati meninggalnya Qu Yuan seorang negarawan yang hidup sekitar tahun 339 yang bunuh diri di sungai akibat putus asa dengan kondisi pemerintahan saat itu.

Saat ini perayaan Peh Cun menjadi saat yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat.  Para wartawan dan fotografer pun melimpah ruah di pinggir sungai.

Menyusuri jalanan kecil menuju Museum Benteng Heritage kami melewati klenteng Boen Tek Bio yang dibangun abad 17. Sedang ada beberapa orang yang sedang bersembahyang di sana. Klenteng ini berada dekat pasar lama.Tidak bisa berlama-lama di sana karena Mbak Ratih dari GELAR sudah memberi isyarat untuk bergegas.




Kawasan Pasar Lama seperti pasar tradisional lainnya terlihat ramai dan kotor walaupun tetap semarak. Kita bisa melihat rupa-rupa daging dari yang halal maupun tidak.  Ada kios yang menjual kaki babi yang gemuk dan lucu, teripang dan berbagai makanan rumahan.

Seorang warga berjongkok dengan keranjang, rupanya ia penjual nasi ulam.  Para warga yang mayoritas bermata sipit dan berkulit coklat adalah para Cina Benteng.  Lain dengan kawasan Jakarta, warga Cina di sini justru hidup dililit kemiskinan.

Di dalam pasar lama, terhalang oleh atap lusuh lapak-lapak di situlah Museum Benteng Heritage berada.  Sebuah museum yang menyediakan diri untuk merekam jejak perjalanan masyarakat Cina Benteng yang dipercaya sebagai keturunan Chen Ci Lung, anggota armada laut Admiral Cheng Ho yang mengarungi lautan dari tahun 1405 sampai 1433 dengan salah satu tujuan Majapahit.  Chen Ci Lung dan pasukannya mendarat di teluk Naga.
museumnya baru bisa terlihat saat pasar usai


Adalah Udaya Halim, seorang Cina Benteng yang menghabiskan waktu kecil dan sebagian besar hidupnya di kawasan pasar lama Tangerang, berusaha membangun kembali kehormatan masyarakat Cina Benteng yang selama ini terpinggirkan secara kultural dan ekonomi. Ia membangun museum dengan membeli rumah kuno yang telah didiami selama 8 generasi.  Sebuah rumah yang mungkin sama tuanya dengan umur klenteng Boen Tek Bio.  Dengan bantuan sukarelawan lainnya rumah ini direstorasi bata demi bata dan akhirnya diresmikan tanggal 11 bulan 11 tahun 2011.


Pak Udaya Halim membagikan topi

Di museum kami disambut oleh Udaya Halim sendiri, seorang pria tua berumur 60 tahun namun terlihat lincah dan tegar.  Setelah mendapat penjelasan singkat, pembagian topi bambu dan kaus identitas, oh ya...Tangerang sampai tahun 1960-an terkenal sebagai eksportir topi bambu sampai kota Paris pun mengimpor topi-topi ini.  Kami segera berjalan menuju sungai Cisadane untuk melihat perlombaan perahu naga.  Sebelumnya dengan terburu-buru saya menukar lensa kit Nikon 18-55mm dengan tele 55-300mm mengingat jarak pengambilan gambar yang pasti akan cukup jauh.  Inilah repotnya jika tidak punya lensa sapu jagat.


Melewati kembali pasar dan jalan kecil, untunglah matahari bersinar cerah.  Pinggir sungai sudah ramai dengan penonton.  Saya mengambil tempat dekat petugas radio.  Di tengah sungai sendiri perahu-perahu yang ditumpangi para fotografer dan wartawan sudah berlalu lalang begitu pula dengan tim SAR. Dan ragam jenis kamera pun tampil di tangan masing-masing penonton, dari kamera HP, pocket sampai dengan kamera profesional ultra tele yang harganya puluhan juta.




Menunggu memang sangat menyebalkan apalagi di tengah panas yang menyengat.  Saya sudah berdiri lebih dari 1 jam, selama itu saya sudah berkali-kali memotret dari perahu-perahu di sungai,  ekspresi orang sampai ulah fotografer di tengah sungai dan lomba belum juga dimulai.  

Ternyata mereka menunggu wakil walikota, sungguh lucu, selama ini warga Tangerang berjuang  mepertahankan identitas mereka sendirian tanpa kehadiran pemerintah dan sekarang saat wilayah Benteng mulai dikenal sebagai tujuan wisata, pemerintah yang memetik hasilnya.

Akhirnya pejabat itu datang juga, raungan sirene mengaung diikuti dentaman tambur.  Ia juga membuka ritual tangkap bebek, dimana para peserta terjun dari perahu dan menangkap puluhan bebek yang dilepaskan ke sungai.

Syarat untuk menjadi peserta tangkap bebek adalah berusia 17 tahun ke atas dan pandai berenang. Dengan lincah para pemuda berloncatan terjun ke sungai yang berair keruh, berebut mengejar bebek.

Setelah itu barulah lomba perahu dimulai.  Keterlambatan acara berakibat fatal, lomba perahu belum dimulai tapi mendung mendadak menebal diikuti hujan rintik yang segera menjadi deras.  Penonton pun kocar kacir, sungguh mengecewakan.  Hilang sudah selera untuk menjadi peserta lomba perahu naga.  Walaupun ada 2 perahu naga yang tetap berlomba namun hujan deras menghalangi kami untuk membidikkan kamera.

Akhirnya kami berlarian menuju museum melewati pasar lama yang kini menjadi becek dan bertambah kotor dengan genangan air meluber kemana-mana

Pak Udaya dan crew nya telah meyambut kami dengan hidangan-hidangan peranakan di ruang makan museum.  Teh beraroma krisan yang disajikan dalam gelas keramik mungil disajikan.  Baunya serupa dengan bunga krisan yang berada dalam vas di depan kami.  Kue-kue seperti kue mangkok kecil dan cerorot disajikan, sungguh lembut dan manis rasanya. 



Dilanjutkan dengan asinan yang hmmmmmm....one of my favourite.  Ada sumpia yang disajikan sebagai teman makan sementara Pak Udaya mulai memasang slide gambar tentang Tangerang.  Kami makan sambil menyaksikan Pak Udaya berkisah tentang masa lalu, menyaksikan slide peta kuno sampai gambar-gambar seputaran kota.


Makanan utamanya adalah lontong atau ketupat sincia, sebuah hidangan mirip lontong cap gomeh dengan semburat manis gurih...rasanya sungguh lezat, tambahkan sambal jika penyuka pedas.  Ayam masak merah atau orang bilang Ayam Char Siu menemani sajian ini.

Selesai?  belum ternyata, piring-piring bambu berisi otak-orak mulai berdatangan.  Otak-otak gendut beraroma harum dengan sambal kacang legit bergiliran melewati kerongkongan mendesak lambung yang mulai kepayahan.


Ditutup dengan cendol air.  Bukan cendol dengan kuah gula jawa namun cukup air dengan aroma manis. 

Makanan lezat ditambah dengan pelajaran sejarah, sungguh sangat memikat.  Sementara rombongan dibagi 2.  kelompok pertama menuju lantai atas, karena lantai atas dibatasi hanya bisa menampung 20 orang mengingat lantai yang terbuat dari kayu.

Dialog dengan Pak Udaya tentang kehidupan Cina Benteng masih tetap berlanjut, ada kegetiran dalam nadanya saat membahas kehidupan masyarakat Benteng.  Secara kependudukan dan politik mereka terpinggirkan dari tahun 1965, penggusuran beberapa waktu yang lalu.  Nol nya perhatian pemerintah terhadap warga Benteng.

Peninggalan kebudayaan Cina terserak di Tangerang.  Ada prasasti Tangga Djamban yang ditemukan di salah satu rumah di dekat dermaga tempat lomba perahu naga berlangsung.  Prasasti yang mengungkapkan bahwa 81 orang yang tergabung dalam kelompok Boen Tek Bio menyumbang sejumlah uang untuk perbaikan fasilitas.



Mahyong dan Cheki


Kelompok pertama selesai dari lantai 2, Giliran kelompok saya.  Alas kaki harus dilepas agar tidak menggores kayu.  Kayu Jati yang digunakan untuk lantainya adalah kayu berkualitas A plus terasa dari kokohnya struktur lantai saat diinjak.  Di lantai 2 museum ini terdapat barang-barang kuno sumbangan dari masyarakat.  Ada kebaya berusia hampir 500 tahun, kloset jaman dulu yang bisa berfungsi sebagai bangku, timbangan opium sampai mahyong.



Ada pintu tebal, yang menghubungkan teras depan dengan ruangan dalam yang ternyata mempunyai teknik khusus untuk membukanya, mirip pintu yang kita lihat di film-film kungfu jaman dulu.

Terdapat ukiran-ukiran rumit di tiang atas void sehingga kita harus mendongak untuk menyaksikannya.

Para pemandu di museum ini adalah para mahasiswa yang menjadi sukarelawan. Sangat menghargai kecintaan mereka terhadap budaya peranakan.




Ada ruangan khusus yang isinya berbeda dari ruangan di museum.  Ruangan ini terletak juga di lantai 2 yang ternyata berisi kamera-kamera kuno, gramofon kuno, piringan hitam tua dan poster-poster musisi jaman dulu.  Pak Udaya khusus mengajak kami memasuki ruangan tersebut sambil menerangkan sejarah musik dan mendemonstrasikan pemasangan pelat piringan hitam pada gramofon.  Lagu yang diputar adalah lagu GENJER-GENJER.

Lagi-lagi ia menekankan kesalahan persepsi tentang lagu itu. Pak Udaya mengingatkan tentang Malaka yang mengklaim sebagai kota dengan peninggalan kebudayaan Cina peranakan, padahal Indonesia punya jauh lebih banyak dan  kaya dengan peninggalan tersebut.  Jika masyarakat Malaka bisa bahu membahu membangun kotanya sehingga menghasilkan devisa sendiri mengapa Tangerang tidak?


Pertemuan ditutup dengan lagu Soleram, Gelang sipato Gelang masih dari pelat piringan kuno itu.

Selamat tinggal Pak Udaya, selamat tinggal kota lama.  Semoga Bapak diberikan kesehatan sehingga dapat mewujudkan mimpi-mimpi warga Cina Benteng Tangerang.


Note :
Untuk informasi tentang GELAR dapat di cek : www.gelar.co.id

Tidak ada komentar: