12 Mei 2013

Langit Kresna Hariadi dan Fiksi Sejarah

"Menjodohkan Kusumawardhani dengan menyembunyikan dariku benar-benar lancang dan tak menghormati aku sebagai ayah kandungnya".  

"Dipikirnya aku sudah mati dan telah menjadi bangkai yang oleh karenanya boleh diabaikan. Lebih-lebih perjodohan ini dengan sepupunya sendiri, dengan harapan Wikramawardhana yang akan ditunjuk mewarisi kursiku".

"Mereka semua berpikir Prabu Hayam Wuruk sudah tidak ada sehingga urusan perkawinan anaknya harus diambil alih?"


Potongan dialog dalam sidang Pahom Narendra  tersebut hanya sebagian kecil dari ratusan adegan yang dilukiskan dengan penuh penghayatan dalam Perang Paregrek 1 & 2 dan akhirnya disatukan dalam Menak Jinggo, Sekar Kedaton oleh si pengarang, Langit Kresna Hariadi (LKH).


Setelah berbilang bulan vakum dikarenakan sakit yang bernama aneh-aneh seperti Lumban sacral lalu diikuti oleh Gastroparesis, akhirnya sang LKH hadir kembali bersiap mengeluarkan pena untuk meramaikan dunia fiksi sejarah atau banyak orang menyebutnya sastra sejarah.

 Hanya LKH sementara ini yang dianugerahi kemampuan membetot serabut syaraf para pembaca sampai nyaris putus saat menyaksikan kepiawaiannya mengolah ruang-ruang kesejarahan yang biasanya kering kerontang menjadi lembar-lembar fiksi yang memikat, imajinatif dan liar namun sekaligus tidak menyimpang dari fakta sejarah yang ada.  Sungguh kemampuan yang langka, yang tidak semua novelis mempunyainya.

Adapun dunia fiksi sejarah, merupakan wilayah yang nyaris kering penulis karena sulitnya medan yang harus ditempuh para novelis dalam menuangkan imajjinasi mereka.  Tak heran wilayah ini boleh dikata sempat tidur bertahun-tahun lamanya, akibat para penulis lebih senang menulis teen-lit dan novel-novel bertema umum yang dirasa lebih mudah dan lebih cepat mendatangkan uang.

Publik mungkin menjulukinya penulis sastra sejarah generasi ketiga, setelah SH Mintardja dkk di era pertama dan Arswendo Atmomiloto serta Seno Gumira sebagai generasi kedua.
Nampaknya LKH tidak berkenan dengan julukan sebagai penulis sastra sejarah karena mengendus hal ini  berpotensi menghambat aliran imajinasi beliau.  Payung tak kasat mata yang menaungi wilayah-wilayah sejarah dirasa sebagai aturan yang mencekik kebebasan menulis.  Sedangkan kebebasan imajinasi adalah harga mutlak bagi seorang pengarang novel.

Tercetus dari mulutnya yang dituliskan dalam prakata di bukunya, mungkin luapan kejengkelan akibat beban berat yang harus disandang akibat telanjur mencemplungkan diri sebagai penulis fiksi sejarah 

"Kalau saya mau menulis Gajah Mada bertemu dengan Gatot Kaca, saudara semua mau apa?"

Dalam hati saya hanya berucap "Ya mau apa saya?" 

Merupakan hak dan wewenang LKH sepenuhnya untuk menumpahkan imajinasinya.  Saya sebagai pembaca tidak boleh marah jika suatu hari nanti LKH tergerak menjadikan Luna Maya sebagai titisan Dyah Pitaloka dan Hayam Wuruk berpetualang ala film Quantum Leap, menyeberangi waktu ke masa sekarang untuk bertemu Dyah Pitaloka.

Saya haqul yakin bahwa tiap pengarang mempunyai ciri khas yang membedakannya dengan pengarang lain.

Dan LKH mempunyai ciri khas yang bahkan sangat jarang dimiliki oleh pengarang novel sejenis.  Seperti yang disebut sebelumnya, beliau mampu memadukan sejarah dan fiksi dengan sangat memikat namun tetap dalam koridor kesejarahan yang berlaku.  Satu hal lagi yang membuat beliau berada tataran tinggi penulisan fiksi sejarah, adalah kesediaannya untuk melakukan riset yang mendalam dengan mengunjungi situs atau tempat tertentu, sesuatu yang agaknya jarang dimiliki pengarang lainnya yang lebih banyak bergantung pada internet.

Jika memang LKH memutuskan untuk melakukan apa yang diucapkannya di atas, saya yakin beliau akan tetap memikat penggemarnya, namun mungkin akan kehilangan apa yang selama ini menjadi pembeda beliau dengan pengarang lainnya.

Dunia fiksi sejarah mungkin harus siap kehilangan  lagi salah satu maestronya dan harus menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan kembali cahayanya.  

Walaupun saya yakin LKH tidak akan meninggalkan dunia fiksi (sejarah) yang sangat dicintainya ini.

Sungguh konsekuensi yang pahit, namun setiap tindakan pastilah ada hikmahnya


Tidak ada komentar: