Jika termasuk orang yang suka ke berkeliaran di museum pasti akan suka ke tempat ini. Museum Nasional.
Gedung besar anggun bergaya Indies dengan patung gajah perunggu di depannya memang sangat menarik perhatian. Patung gajah itu menurut website mereka merupakan hadiah dari King Rama, Raja Thailand.
Yang sering menumpang bus Trans Jakarta koridor 1, Blok M-Kota, pasti cukup familiar dengan
facade gedung antik tersebut. Lebih menyenangkan lagi adalah halte Trans Jakarta dibangun tepat di depannya sehingga memudahkan akses untuk para pengunjung.
Panas Jakarta yang terik seakan terserap oleh pohon-pohon besar yang menaungi trotoar lebar dan nyaman.
Karcis masuk untuk 1 orang dewasa dan 1 anak kecil adalah 7 ribu perak, amat sangat murah mengingat di dalamnya tersimpan ratusan peninggalan dari masa Homo Sapiens sampai abad kerajaan.
Hari Sabtu ini memang atau selalu jarang orang mengunjungi museum, saya lebih sering berpapasan dengan warga asing yang sepertinya lebih mempunyai rasa ingin tahu tentang koleksi sejarah dibanding kita yang orang Indonesia asli.
Gedung yang dibangun tahun 1862 dan dibuka tahun 1868 ini memang dikhususkan oleh pemerintah kolonial sebagai tempat menyimpan berbagai koleksi budaya. Ternyata jejak kolonialisme tidak selalu kelam, terbukti sekarang kita mewarisi berbagai jejak berharga asal usul identitas suatu bangsa.
Saya terpesona dengan penampilan arca Amoghapasa. Arca yang melambangkan perdamaian ini sangat populer karena dikisahkan dalam kitab Desavernana atau Negarakertagama karya Mpu Prapanca.
Alkisah, Prabu Kertanegara Jayawardhana dari Singasari mengirimkan arca Amoghapasa ke kerajaan Pamalayu yang berbuah dua putri Pamalayu, Dara Petak dan Dara Jingga. Kunjungan yang dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu inilah yang akhirnya mengukir warna tersendiri dalam perjalanan sejarah Majapahit.
Akhirnya arca Amoghapasa yang selama ini berada dalam pusaran dongeng benar-benar berada di depan saya. sebuah arca batu berukir dengan tinggi melebihi tinggi saya dan lebar 1 meter lebih. Selama ini saya menyangka arca Amoghapasa adalah sebuah patung kecil yang mudah dibawa. Terbayang betapa repotnya anggota team ekspedisi membawanya menyeberang lautan pada abad 13 itu.
Tepat di ujung ruangan arca menghadap taman, terpampang arca besar setinggi 4 meter yang ternyata menggambarkan Adityawarman sebagai Bhairawa.
Bagi penggila sejarah, tentu sangat mengenal Adityawarman, Pewaris kerajaan Melayu yang berdarah separuh Majapahit, berkat perkawinan Dara Petak dengan pembesar Majapahit, Dyah Adwaja Brahma.
Adityawarman yang beragama Budha namun di-arca-kan sebagai Bhairawa sesuai ajaran Hindu memang agak membingungkan. Namun nampaknya itu akibat sinkretisasi percampuran Hindu Budha.
Ada pula arca Ratu Suhita, Ratu Majapahit terakhir, keturunan Bhre Wirabhumi. Tentu saja wajah yang terpahat bisa jadi bukanlah wajah Ratu Suhita yang asli melainkan diambil dari dewi pelindung dalam agama Hindu.
Sangat menakjubkan melihat kumpulan patung yang merupakan rekaman jejak masa lalu, seakan kita melihat lorong waktu terbentang menghubungkan masa kini dengan masa lalu.
Masih banyak sebenarnya yang menarik untuk dicermati seperti mahkota dan perhiasan lalu tulang belulang, tengkorak kepala manusia purba yang ditemukan di tepi Bengawan Solo dan Trinil.
Namun sayang memang, museum ini tampak kesepian di tengah kemegahannya. Di lantai atas walaupun cukup bersih, namun kesan kusam masih terasa.
Bertemu juga dengan kumpulan anak SD yang riuh rendah berpindah dari ruangan satu ke ruangan lainnya. Semoga kalian menjadi senang berkunjung ke museum ya Dik...
Selesai berkeliling saat kembali ke stasiun, saya menyempatkan diri mengamati mesjid Cut Meutia yang terletak dekat sekali dengan stasiun Gondangdia. Kubah dan sebagian bangunan bisa terlihat jelas saat kita berdiri di ujung Stasiun.
Gedung yang sekarang menjadi mesjid awalnya adalah kantor arsitek, NV Bowploug tahun 1922.
Sayang gedung ini sedang sedikit direnovasi, sehingga pemasangan kayu-kayu penyangga terasa mengganggu pandangan walaupun hanya sementara.
Tak pelak, karena bangunan ini awalnya bukan mesjid sehingga arsitekturnya tidak menyerupai mesjid. Namun itu yang menjadi nilai tambah bagi keunikan bangunan ini.
Gedung besar anggun bergaya Indies dengan patung gajah perunggu di depannya memang sangat menarik perhatian. Patung gajah itu menurut website mereka merupakan hadiah dari King Rama, Raja Thailand.
Yang sering menumpang bus Trans Jakarta koridor 1, Blok M-Kota, pasti cukup familiar dengan
facade gedung antik tersebut. Lebih menyenangkan lagi adalah halte Trans Jakarta dibangun tepat di depannya sehingga memudahkan akses untuk para pengunjung.
Panas Jakarta yang terik seakan terserap oleh pohon-pohon besar yang menaungi trotoar lebar dan nyaman.
Karcis masuk untuk 1 orang dewasa dan 1 anak kecil adalah 7 ribu perak, amat sangat murah mengingat di dalamnya tersimpan ratusan peninggalan dari masa Homo Sapiens sampai abad kerajaan.
Hari Sabtu ini memang atau selalu jarang orang mengunjungi museum, saya lebih sering berpapasan dengan warga asing yang sepertinya lebih mempunyai rasa ingin tahu tentang koleksi sejarah dibanding kita yang orang Indonesia asli.
Gedung yang dibangun tahun 1862 dan dibuka tahun 1868 ini memang dikhususkan oleh pemerintah kolonial sebagai tempat menyimpan berbagai koleksi budaya. Ternyata jejak kolonialisme tidak selalu kelam, terbukti sekarang kita mewarisi berbagai jejak berharga asal usul identitas suatu bangsa.
ki-ka : Arca Amoghapasa, Arca Adityawarman |
Saya terpesona dengan penampilan arca Amoghapasa. Arca yang melambangkan perdamaian ini sangat populer karena dikisahkan dalam kitab Desavernana atau Negarakertagama karya Mpu Prapanca.
Alkisah, Prabu Kertanegara Jayawardhana dari Singasari mengirimkan arca Amoghapasa ke kerajaan Pamalayu yang berbuah dua putri Pamalayu, Dara Petak dan Dara Jingga. Kunjungan yang dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu inilah yang akhirnya mengukir warna tersendiri dalam perjalanan sejarah Majapahit.
Akhirnya arca Amoghapasa yang selama ini berada dalam pusaran dongeng benar-benar berada di depan saya. sebuah arca batu berukir dengan tinggi melebihi tinggi saya dan lebar 1 meter lebih. Selama ini saya menyangka arca Amoghapasa adalah sebuah patung kecil yang mudah dibawa. Terbayang betapa repotnya anggota team ekspedisi membawanya menyeberang lautan pada abad 13 itu.
Tepat di ujung ruangan arca menghadap taman, terpampang arca besar setinggi 4 meter yang ternyata menggambarkan Adityawarman sebagai Bhairawa.
Bagi penggila sejarah, tentu sangat mengenal Adityawarman, Pewaris kerajaan Melayu yang berdarah separuh Majapahit, berkat perkawinan Dara Petak dengan pembesar Majapahit, Dyah Adwaja Brahma.
Adityawarman yang beragama Budha namun di-arca-kan sebagai Bhairawa sesuai ajaran Hindu memang agak membingungkan. Namun nampaknya itu akibat sinkretisasi percampuran Hindu Budha.
Ada pula arca Ratu Suhita, Ratu Majapahit terakhir, keturunan Bhre Wirabhumi. Tentu saja wajah yang terpahat bisa jadi bukanlah wajah Ratu Suhita yang asli melainkan diambil dari dewi pelindung dalam agama Hindu.
Sangat menakjubkan melihat kumpulan patung yang merupakan rekaman jejak masa lalu, seakan kita melihat lorong waktu terbentang menghubungkan masa kini dengan masa lalu.
Masih banyak sebenarnya yang menarik untuk dicermati seperti mahkota dan perhiasan lalu tulang belulang, tengkorak kepala manusia purba yang ditemukan di tepi Bengawan Solo dan Trinil.
Namun sayang memang, museum ini tampak kesepian di tengah kemegahannya. Di lantai atas walaupun cukup bersih, namun kesan kusam masih terasa.
Bertemu juga dengan kumpulan anak SD yang riuh rendah berpindah dari ruangan satu ke ruangan lainnya. Semoga kalian menjadi senang berkunjung ke museum ya Dik...
Selesai berkeliling saat kembali ke stasiun, saya menyempatkan diri mengamati mesjid Cut Meutia yang terletak dekat sekali dengan stasiun Gondangdia. Kubah dan sebagian bangunan bisa terlihat jelas saat kita berdiri di ujung Stasiun.
Gedung yang sekarang menjadi mesjid awalnya adalah kantor arsitek, NV Bowploug tahun 1922.
Sayang gedung ini sedang sedikit direnovasi, sehingga pemasangan kayu-kayu penyangga terasa mengganggu pandangan walaupun hanya sementara.
Tak pelak, karena bangunan ini awalnya bukan mesjid sehingga arsitekturnya tidak menyerupai mesjid. Namun itu yang menjadi nilai tambah bagi keunikan bangunan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar