11 Mei 2013

Mencecap tradisi di Gondangdia Lama

Sejak kantor berpindah ke kebon sirih, ada beberapa efek yang terjadi.
Efek satu tentu saja kantor menjadi lebih jauh mengingat kantor lama berada di seputaran Gatot Soebroto  dan dekat Mampang lagi.

Namun efek kantor lebih jauh itu menjadi menyenangkan karena wilayah kantor tak jauh dari stasiun kereta api, sehingga malah memudahkan dan mempercepat durasi perjalanan.
 



Hal lain yang juga menyenangkan adalah di wilayah Kebon Sirih,Gondangdia dan Cikini banyak terdapat gedung berarsitektur klasik peninggalan kolonial sehingga sangat menyenangkan untuk sekedar cuci mata.
Begitu juga dengan makanannya. Cukup banyak makanan yang merupakan legenda di jamannya dan masih bertahan hingga sekarang

Hari Jumat ini. Status sebagai hari kejepit menyebabkan ruangan departemen saya menjadi lengang karena banyak yang cuti.
Kantor lengang, bos yang absent membuat saya memutuskan pulang 15 menit lebih awal.  Hanya 15 menit, namun suasana Jumat malam membuat saya ingin mampir di suatu tempat sejenak.  Bukan resto mewah, hanya rumah makan kecil, sedikit kusam di kawasan Gondangdia Lama (Godila).


Ojek saya melewati gedung bekas NV Bouwploeg, Mesjid Cut Meutia sekarang dan berbelok ke arah persimpangan antara Teuku Umar dan Cut Nya Dien, dimana eks gedung pameran Bataviasche Kunstkring yang sekarang bernama resto Kunstkring Paleis berdiri megah dengan style Art Nouveau-nya.

Menyusuri jalan di bawah rel kereta sampai akhirnya berhenti di sebuah rumah makan kecil, nyempil.  Bergegas masuk dan menduduki meja kecil di depan meja masak dimana 2 orang pria sedang sibuk meracik masakan.

Pelayan berbaju hijau sigap menghampiri dan saya dengan segera memesan mie ayam bakso plus es jeruk. 

Sambil menunggu pesanan saya mengamati interior RM Mie Gondangdia ini, khas masa lalu yang tidak mementingkan pernak pernik asalkan fungsional.  Meja bulat dengan bangku coklat gelap licin yang juga berbentuk bulat.  Licin, mungkin karena kayunya sudah diduduki puluhan tahun oleh ratusan orang yang makan di situ.  Ada ruangan ber ac di sebelah ruangan asli, namun saya lebih suka berada di ruangan aslinya sambil menonton mangkok-mangkok mie disiapkan.


Mie saya sudah datang, mie-nya berbentuk sedikit pipih dan agak keriting, dengan tekstur lembut mirip mie yang terkenal di Jakarta.  Lidah saya tidaklah canggih, tidak terlalu bisa memilah-milah rasa.  Namun saya menyukai kesederhanaan yang terhidang di depan hidung.  Semangkok mie berhelai pipih yang hangat, sawi hijau yang matang sempurna, ayam cincang yang coklat berselimut bumbu plus tiga butir bakso dan kuah yang bertabur daun bawang.  Bagi penyuka cabai, ada acar cabe rawit yang dijamin cukup membuat lidah mati rasa. Semuanya ditutup dengan segelas es jeruk segar, cukup untuk mengusir gerah malam itu.

Kapasitas usus yang terbatas tidak memungkinkan untuk menghabiskan satu mangkok mie, namun cukup untuk mengkonfirmasi bahwa tradisi pembuatan mie di sini memang benar menghasilkan sekecap kelezatan.

Kalau para pengunjung lain datang untuk sebilah kenangan, maka saya datang untuk keingintahuan, sekedar mencicip sejarah yang telah berlangsung lebih dari 40 tahun yang lalu.  Tempat ini boleh kusam namun mutu yang disajikan patut dipujikan.


pengen coba kue-kuenya

Untuk meredakan rasa kenyang yang menghimpit lambung, ada baiknya berjalan kaki pelan-pelan menuju stasiun Gondangdia, lumayan jauh, namun mata dimanjakan oleh banyaknya landscape arsitektur Indies yang masih terpelihara baik.  

Mie Gondangdia bukan semata perjalanan lidah namun juga perjalanan batin.


2 komentar:

Unknown mengatakan...

Dulu aku suka banget sarapan di tempat ini, tapi sekarang dah jarang lewat situ.

Sekarang kena brp/porsi nya ????

Turis Cantik mengatakan...

Aihh saya juga suka mie gondangdia!biasa jd tempat tongkrongan sambil nunggu arahan liputan dari bos di kantor.