10 Mei 2013

Agama sebagai Komoditas

Apa akibat dari tertukarnya hal yang seharusnya berada di ranah privat menjadi ranah publik?  Banyak, dan salah satunya adalah kerancuan tingkah laku.

Infotainment dapat dijadikan barometer seberapa jauh orang senang mengeksplorasi kehidupan pribadi yang dipoles sedemikian rupa sehingga menjadi konsumsi publik.  Baik yang dieksplorasi maupun yang menonton sama-sama merasa mendapat manfaat dan justru mendorong untuk kian intens mengaduk dan mengolah sedemikian rupa ranah privat tersebut. Ada barter ekonomi yang dilakukan.





Hobi menyiarkan sesuatu yang privat tidak hanya menghinggapi orang-orang dari komunitas sekuler, namun merambah ke dunia religius.  Kehidupan para pemuka agama kini sering menghiasi layar kaca.  Sehingga nyaris tidak ada perbedaan antara artis dengan Ustad atau kini juga menjadi Ustad yang Artis.

Fenomena yang demikian memunculkan label agama sebagai barang dagangan.  Walaupun ini bukan istilah baru melainkan sudah terjadi jauh sebelumnya, namun kesan ini kian marak.

Agama sebagai sesuatu privat sekaligus hubungan khusus antara umat secara personal dengan Tuhannya kini harus dipublikasikan sebagai suatu keharusan jika ingin selamat dan memperoleh simpati orang banyak. Bahkan selalu dijadikan alat untuk meraih dukungan umat dan juga ekonomi.

Agama di Indonesia yang mayoritas Islam berubah menjadi komoditas yang laku untuk dijual, baik oleh Ustad, televisi melalui tayangan maupun oleh Partai.

Sayangnya komodifikasi agama memang tidak akan membawa kebaikan bagi umat, karena hanya mendorong manusia untuk mereduksi pemahaman terhadap ayat-ayat yang seharusnya paripurna, setidaknya begitulah menurut pendapat saya.  

Saat ini sudah berapa banyak korban berjatuhan akibat komodifikasi Islam.  Islam memang ampuh dijadikan alat penarik massa.  Namun sayang tidak diikuti oleh pemahaman yang baik dan benar oleh para pemimpin dan pengikutnya.

Tidak heran jika banyak petinggi agama dan petinggi partai agama yang tersandung akibatnya tidak sinkronnya antara jargon serba agama yang diteriakkan dengan tingkah laku pribadi karena memang agama ditarik paksa hanya sebagai barang jualan dan bukan sebagai barometer diri.

Celakanya celaan dan kritikan terhadap tingkah laku mereka dianggap sebagai serangan terhadap agama.  Para tokoh dan pengikutnya tampak tidak memahami konsekuensi jika melabeli diri dengan hal-hal yang agamis maka seyogyanya segala perbuatan juga harus sesuai. 

Tidak hanya laku sebagai komoditas, bahkan agama juga sering dijadikan alasan untuk bertindak atas nama Tuhan.  Kesalehan personal yang seharusnya privat kini menjadi keharusan untuk ditunjukkan kepada publik dan dijadikan sebagai tolok ukur melebihi kesalehan sosial yang seharusnya juga menjadi dasar  hubungan antar umat manusia.

Jangan heran jika kening para lelaki bernoda hitam dianggap sebagai kesalehan luar biasa,  dan menjadi tolok ukur untuk seorang pemimpin, namun akhirnya menjadi sesuatu yang memalukan karena justru banyak dari mereka malah melakukan hal-hal tercela dan bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.

Saya sungguh kuatir jika kesalehan privat itu kini hanya meliputi rajin sholat, rajin baca Al Quran, rajin sedekah, selalu membela saudara sesama muslim, rajin ke Mesjid dan berhijab tapi tidak tabu untuk korupsi,  tidak tabu untuk melirik dan menikahi perempuan lain walaupun sudah beristri dengan anggapan poligami dibolehkan oleh Islam, tidak ragu mencap kafir dan melakukan kekerasan kepada orang lain yang tidak sejalan, serta melakukan hal-hal lain yang bertentangan dengan kesalehan sosial.  Kesalehan privat pada masa kini tidak diikuti oleh pemahaman mendasar tentang konsep benar dan salah menurut hukum.

Gonjang-ganjing kasus korupsi di beberapa bidang yang bersinggungan dengan urusan akhirat mencerminkan betapa orang-orang yang dianggap lebih tinggi kadar kesalehannya pun meyakini bahwa antara ibadah dan perbuatan tidak perlu ada keterkaitan.  Bahwa ibadah ya ibadah, mencuri tetap jalan bahkan berdoa agar aktivitas malingnya dapat berjalan lancar dan lolos dari pengamatan.

Komodifikasi agama dan juga pembalikan dari ranah privat menjadi ranah publik sayangnya tidak diikuti oleh pemahaman yang mumpuni sehingga logika dan iman dapat degan mudah dibolak-balik sesuai keadaan. Kalau sudah begini emosi dengan gampang tersulut hanya dengan mendengarkan isue yang tidak jelas.

Cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara Islam juga menjadi sesuatu yang laku untuk dijual, namun yang menjadi masalah negara Islam macam apa jadinya dengan kualitas pemimpin dan partai yang seperti sekarang ini. 

Jika pola pikir mengatasnamakan agama dan kesalehan privat yang dipublikasikan tetap dibiarkan maka tak heran jika pencarian atas pemimpin yang mumpuni untuk mengatasi segala problem sosial negara ini akan menjadi pencarian yang tiada akhir.  Karena segala sesuatu dilihat dari agama semata dan bukan dari perbuatan. 

Tidak ada komentar: