23 Juli 2014

Gugatan Senyap Pranoto Reksosamodra

Takdir memang punya rute sendiri, ia mandiri tak terikat dengan jejak keringat manusia yang menginginkan takdir sesuai dengan impiannya.

Begitu pula dengan perjalanan hidup Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra.

Orang di masa kini mungkin tidak mengenal mantan perwira tinggi ini. Namanya kalah bersaing dengan teman-teman sejamannya baik yang di pihaknya maupun yang berseberangan. Ia pun tidak sevokal rekan-rekannya dalam menuntut keadilan.

foto : Google
Bagi para penonton setia film G30S pasti ingat adegan saat Soekarno memunjuk Pranoto sebagai caretaker Menteri Panglima Angkatan Darat menggantikan Ahmad Yani yang terbunuh namun Soeharto secara halus menolak keputusan itu.  Yang luput dari perhatian bagaimanakah nasib Pranoto pasca penolakan itu karena perhatian kita terfokus pada tokoh-tokoh utama G30S.


Kalau Soebandrio menulis memoarnya begitu juga dengan Omar Dani yang mendapat perhatian luas. Kisah Pranoto Reksosamodra nampaknya hanya terdengar samar-samar, luput dari perhatian masyarakat.  Riwayat hidup Pranoto dituliskan awalnya semata untuk menghormati 1000 hari wafatnya sang istri, Suprapti di tahun 1988.

Sebagai perwira yang telah melewati masa-masa revolusi perjuangan, karir Pranoto sesungguhnya cukup cemerlang.  Bersama 6 Jenderal yang tewas, ia adalah perwira senior dan jabatannya pada masa itu adalah Asisten III Menteri Panglima Angkatan Darat.


Awal karir Pranoto sebenarnya mirip dengan panglima besar Soedirman.  Sama-sama seorang guru sebelum bergabung dengan PETA di tahun 1943 dengan latar belakang didikan Muhammadiyah.  Kemudian seiring perjalanan waktu, karirnya meningkat dari komandan peleton, komandan kompi, komandan batalion dan komandan resimen infanteri dengan pengalaman gerilya di Jawa Tengah. Jabatan Panglima Kodam pun digenggamnya; tercatat di tahun 1958 ia diangkat menjadi Pangdam 17 Agustus di Sumatera Barat dan Pangdam Diponegoro di tahun 1959-1961 dan naik menjadi Asisten III Menteri Panglima Angkatan Darat bidang personalia di tahun 1962-1965.

Hubungannya dengan Presiden Soekarno pun cukup dekat, Pranoto memiliki pribadi khas Jawa yang halus dan penuh penghormatan kepada orang tua sehingga cocok dengan sifat Soekarno.  Pranoto pulalah yang memberikan ide nama untuk detasemen pengawal khusus Presiden, Tjakrabirawa.

Karir gemilang Pranoto mendadak terhenti saat atasannya, Men/Pangad Ahmad Yani terbunuh dan Soeharto tidak menyetujui pengangkatannya sebagai caretaker.  Soekarno pun tak kuasa mempertahankan keputusan yang telah dibuat.  Walaupun pada tanggal 2 Oktober 1965 ada perubahan dalam rapat yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sebagai panglima tertinggi bahwa pimpinan tertinggi Angkatan Darat dipegang langsung oleh Presiden sementara Pranoto menjadi care-taker Menpangad untuk urusan keseharian sedangkan Mayjen Soeharto diperintahkan untuk menjalankan operasi militer.

Situasi kacau yang seharusnya dapat dikendalikan oleh Presiden dibantu oleh Pranoto sebagai care-taker Menpangad mendadak berbalik.  Tanggal 16 Oktober 1965 Mayjen Soeharto dilantik menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), kedudukan Pranoto pun berubah menjadi perwira tinggi yang diperbantukan kepada Kasad


Surat perintah penangkapan itu bertanggal 16 Februari 1966 atas perintah Kasad Mayjen Soeharto yang menuduhnya terlibat dalam G30S/PKI.  Tuduhan sekaligus vonis.

Awan kelabu kini menutupi karir sekaligus hidupnya. Dijemput menuju penjara tanggal 16 Februari 1966, meninggalkan istri dan 11 anaknya dan harus melalui interogasi yang melelahkan sehubungan dengan G30S. Tidak jelas juga dengan apa yang dituduhkan karena ia memang bukan perwira beraliran komunis, lebih tepat disebut sebagai Soekarnois.

Hubungannya dengan Soeharto memang tidak pernah membaik sejak Pranoto menggantikan Soeharto sebagai Panglima teritorial Diponegoro dimana Soeharto sempat diperiksa team investigasi atas perintah AH Nasution sebagai Kasad pada waktu itu akibat ketidakberesan administrasi dan penyelundupan.  Ringkasnya Pranoto dituduh membuat laporan yang menyebabkan Soeharto dicopot dari jabatannya sebagai Panglima  teritorial Diponegoro.

Walaupun Letjen Gatot Subroto turun tangan untuk mendamaikan kedua perwira tersebut namun api yang telanjur terpercik susah untuk dipadamkan

Pranoto hanya dapat menduga ketidaksenangan Soeharto yang mematikan karirnya, sungguhpun itu hanya dugaan yang tidak akan terjawab sampai penghujung usia.

Dalam masa penahanannya dari penjara Nirbaya sampai rumah tahanan Budi Utomo, mantan perwira tinggi ini menjalani hari demi hari sebagai pesakitan politik selama belasan tahun.  Sama seperti mantan pewira tinggi lainnya yang menjadi kambing hitam dalam peristiwa kelam itu.

Takdir memang menggariskan Pranoto menjadi salah satu korban revolusi yang tetap bertahan sehingga dapat membukukan tulisan dari 9 buku catatan harian selama menjalani hari-hari di balik dinginnya jeruji besi.  Lagi-lagi seperti halnya Soebandrio dan Omar Dani, ia mencurigai Syam Kamaruzaman yang disebutnya bermuka dua.  Dan seperti sudah menjadi rahasia umum ia juga menyebut kedekatan Soeharto dengan Untung.

Mungkin kisahnya tidak sedramatis gugatan memoar Soebandrio, karena pada dasarnya Pranoto bukanlah orang yang penuh kontroversi namun hal itu tidak mengurangi kegetiran yang ada. Hidup dengan stempel ex tapol dan  ketidakjelasan status dalam angkatan bersenjata menjadi sesuatu yang harus diterimanya dengan ikhlas.

Selain Pranoto, masih banyak anonim yang terpaksa menerima nasibnya tanpa bisa membela diri.  Mereka yang bergelimpangan tanpa kubur yang jelas atau terpaksa menyembunyikan diri selama puluhan tahun demi melindungi anak cucunya dari stempel PKI.

Setelah bebas di tahun 1981 sebagai kloter terakhir, Pranoto berjalan kaki dari tempat upacara pelepasan di Markas Kodam V Jaya menuju rumahnya ditemani oleh anak lelakinya, Handrio Utomo.

Ia tinggal di rumah kecil sederhana di kawasan Kramat Jati bersama keluarganya sampai wafat tahun 2006.  Sampai pada wafatnya sama sekali tidak ada kejelasan status sebagai anggota TNI AD apakah pensiun ataukah dipecat.

Tidak ada komentar: