14 Juli 2014

Pekojan: Kampung Muslim Arab-India di Jakarta

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 13:00 saat pintu otomatis kereta komuter menutup dan kereta pun bergerak perlahan meninggalkan stasiun Depok.  Mengingat harus berkumpul jam 13:30 di museum Bank Indonesia, saya hanya bisa menghela napas pasrah.

Macet luar biasa di jalur Sawangan-Depok ditambah perkiraan kereta yang akan ditahan saat memasuki stasiun Manggarai dapat dipastikan saya akan tiba di tempat pukul Dua lebih.  Ditambah hujan yang lumayan deras membuat perjalanan kereta lebih lambat.

Saat tiba di stasiun Jakarta Kota, hujan masih belum reda. Tergesa-gesa saya menyeberang, melintasi genangan air akibat saluran mampet.  Untung saja letak Museum BI tepat di seberang stasiun sehingga dalam waktu singkat saya sudah berada di auditorium. Dan memang hujan membuat semua acara terhambat, jadi bukan saya saja yang terlambat.

Janjian dengan Komunitas Historia untuk menelusuri Mesjid-Mesjid kuno di kawasan Pekojan sekalian berbuka puasa bareng.  Dan tentu saja membutuhkan cuaca cerah agar memungkinkan berjalan kaki menyelusup gang-gang sempit.

Toko di Pekojan

Kawasan Pekojan memang memegang peranan penting terhadap masuknya Islam di Jakarta yang dibawa oleh para saudagar muslim dari Gujarat, Persia dan Arabia.

Semula mereka menggunakan jalur pelayaran Arakan-Pattani-Darussalam-Pedir-Samudra Pasai-Malaka-Palembang-Banten-Kalapa-Cirebon-Demak, namun sejak Malaka dan Samudra Pasai jatuh ke tangan Portugis di tahun 1511 dan 1521 maka dari Darussalam rutenya menjadi Singkil-Barus-Tiku-Bengkulu-Banten-Kalapa-Cirebon-Demak.

Lalu Fatahillah datang menyerbu kalapa atas perintah Sultan Trenggono dari Demak dan sejak tahun 1527 berkuasalah orang Islam atas kalapa yang diberi nama Jayakarta sampai VOC datang mengambil alih di tahun 1619.  Orang Islam di Jayakarta menyingkir sampai Jatinegara, Angke dan Marunda.  Akhirnya VOC menyadari pentingnya kehadiran orang-orang Islam untuk roda perekonomian dan menerima serta mengatur tempat tinggal mereka yang berasal dari Arab dan India di perkampungan Koja yang sekarang dikenal dengan nama Pekojan.

Tunggu punya tunggu ternyata hujan baru reda pada pukul tiga sore, jadi kami bergegas keluar museum dan menuju arah barat, melewati gedung Escompto Maatschappij menyeberangi kali besar.  Jika kita "ngeh" ada gedung berkubah merah di seberang kali di sisi jalan Roa Malaka, itulah gedung Chartered Bank of India, Australia and China.  Menyusuri jalan Roa Malaka, melewati jalan Tiang Bendera  terus menyeberang kali Angke menuju jalan Pengukiran II, kawasan Pekojan.  Setelah berjalan beberapa lama Dimas sang pemandu berbelok ke gang kecil dan berhenti tiba-tiba dan berkata.
"Inilah mesjid Al Anshor, didirikan tahun 1648".

Bagian Dalam Mesjid Al Anshor

Saya melongo, lenyap sudah bayangan tentang arsitektur kuno mesjid abad 17.  Di depan saya menyempil bangunan modern yang belum selesai pengerjaannya, terlihat dari dinding semen yang belum diaci, ciri bangunan masa kini.  Mesjid ini berada di dalam gang sempit perkampungan, berdesakan dengan rumah penduduk.  Sebelum disesaki oleh rumah-rumah petak, mesjid ini dikelilingi oleh makam orang Koja.

Menurut marbot masjid, memang tidak dimungkinkan mempertahankan bangunan asli yang dari kayu karena sudah hancur.  Yang tersisa hanyalah 2 makam orang Koja yang tersembunyi di belakang.  Mesjid ini memang didirikan oleh muslim yang berasal dari Malabar, India.  Dari luar memang bangunan ini tidak mengesankan tertutup oleh rumah-rumah petak di dalam gang yang hanya cukup untuk pejalan kaki.

Selesai dari mesjid Al Anshor kami segera bergegas menuju mesjid berikutnya.  Ternyata di kawasan Pekojan ini sudah tidak terlihat lagi paras-paras India dan campurannya.  Tapi saya sempat bertemu seorang kakek pemilik toko yang nampak mewarisi paras nenek moyangnya.

Mesjid berikutnya adalah Mesjid Raudhah yang diperkirakan dibangun tahun 1901.  Kali ini walaupun lebih cocok disebut musholla, bangunan mesjid terasa keantikannya.  Bercat putih dengan ornamen berwarna hijau terang.  Mesjid ini sering disebut mesjid wanita karena memang khusus wanita namun tidak dilarang bagi para pria untuk sholat dhuha di sana.  Imamnya pun juga wanita. Di lingkungan ini dulunya terdapat organisasi pendidikan Islam Jamiatul Khair yang didirikan oleh Shahab bersaudara dan Syekh Said Basandi.  Jamiatul Khair juga mendatangkan guru agama dari negara Islam lain seperti Syeikh Ahmad Syurkati.

Mesjid Raudhah



Bergeser lagi, kaki menyusuri jalan Pekojan sampailah di mesjid An Nawier
Mesjid ini jauh lebih luas dibanding kedua mesjid sebelumnya.  Di dalamnya terdapat 33 tiang yang masih otentik melambangkan angka dalam Quran, begitu pula dengan mimbarnya yang merupakan hadiah dari kesultanan Pontianak.  Mesjid An Nawier dibangun sekitar tahun 1760 oleh Sayid Abdullah bin Husein Alaydrus dari Hadramaut.  1000 jamaah dapat ditampung di sini.  Ada menaranya setinggi 17 meter.  Mesjid ini sedang direnovasi saat kami datang.  Untuk menghormati orang-orang yang sedang beribadah, daripada menggunakan blitz yang mengganggu saya pilih memotret menggunakan iso tinggi dan shutter speed rendah karena keadaan mesjid yang remang-remang.  Penggunaan iso tinggi ini beresiko menghasilkan gambar yang ber-noise tinggi pula, apa boleh buat.

Mesjid An Nawier


Mesjid An Nawier tampak depan
Tempat terakhir yang dituju adalah Langgar Tinggi.  Kali ini langkah saya sudah terseret-seret karena lelah berjalan beberapa kilo ditambah sedang puasa, untung cuaca mendung.  Diam-diam saya bersyukur tidak membawa 2 lensa seperti biasa.  Kali ini saya hanya membawa lensa lebar.

Langgar Tinggi ini terlihat yang paling unik. Dengan tembok berwarna putih dan pintu serta teralis coklat.  Ada tangga sempit dari jalan menuju tempat sholat berlantai kayu jati yang kukuh di lantai dua.  Kabarnya Langgar ini dibangun oleh Kapiten Arab, Syeikh Said Naum.  Bagian dalam langgar memang lebih gelap.  Langgar ini juga berhadapan langsung dengan kali Angke.  Memang jaman dulu sungai-sungai di Jakarta airnya masih layak dipakai untuk berwudlu.

Langgar Tinggi

Selesai dari Langgar Tinggi, kami berjalan kembali menuju museum, melewati pasar pagi.  Jika diperhatikan kami memang berjalan memutari daerah Kota dan Asemka.  Kali ini saya benar-benar letih dan haus.  Ingin buru-buru merebahkan diri.  Jalanan Asemka yang becek dan tergenang membuat langkah menjadi ekstra hati-hati di tambah kendaraan yang berjalan berdesakan di ruas jalan yang sempit disesaki para pedagang.

Salah satu bangunan kuno di Pekojan

Sungguh lega begitu tiba lagi di halaman museum BI, saya menghempaskan tubuh di auditorium dan memejamkan mata, sementara pembawa acara sibuk memandu acara yang juga diikuti oleh para anak yatim dari beberapa panti asuhan.

Cukup menarik melihat profil KHI.  Baru sekali ini saya mengikuti kegiatan mereka yang mayoritas diikuti kaum muda.  Semoga ini bukan sekedar trend yah karena sesungguhnya sejarah itu sangat-sangat menarik.  Ditunggu juga kegiatan KHI yang lebih mendalam, jadi bukan sekedar jalan-jalan menyusuri kota tua tapi lebih menukik ke peminat sejarah kelas hardcore.

Siapa tahu ada program menyusuri pelabuhan-pelabuhan kuno di Jawa mungkin?..Saya tunggu dengan penuh harap.

Benar-benar menyenangkan dan bermanfaat bermain-main di hari ini.




Tidak ada komentar: