18 Agustus 2011

Menyusuri Kota Kota Pantura (1)

Terpikat dengan ekspedisi Anyer Panarukan, yang membuat saya ingin menyusuri kota kota di pantai utara Jawa. Namun tentu saja berlainan dengan ekspedisi yang dokumentasinya tercatat rapi begitu pula dengan kota kota yang akan dikunjungi telah terencana baik, tour yang saya lakukan terasa berantakan, ada tempat yang tidak jadi dikunjungi karena keterbatasan waktu dan daya dukung mobil yang hanya sebesar 1500 cc.  Banyak foto yang kabur karena diambil dari mobil yang berkecepatan tinggi, ditambah saya juga memegang kemudi, tidak mungkin berkonsentrasi mengambil gambar.

Bosan dengan kota kota yang seragam ala Jabodetabek, menguatkan niat saya untuk segera mengimplementasikan impian ini.  Jika Anyer - Panarukan berjarak sekitar 1.100 km, maka jarak tempuh yang saya lakukan adalah sekitar 800 km lebih.

Bandung dan Jogja, tidak perlu diceritakan lagi, kota kota ini merupakan kota utama dengan tingkat pembangunan infrastruktur yang padat.  Padat dengan mall walaupun di Jogja masih cukup kental dengan tradisi.  Itu mungkin yang membuat saya merasa betah di Jogja.

Dari Jogja, tujuan diarahkan ke malang, melewati Solo, Ngawi, Nganjuk, Kertosono, jalan yang lebar dan sepi melewati hutan Jati di Ngawi, singgah ke rumah makan yang cukup besar di jalan raya Ngawi karena Asyar puasa setengah hari.  Kota Ngawi sepi karena bulan puasa mungkin, namun tetap ada denyut teratur dari pusat kota. Sering berpapasan dengan truk truk besar, namun karena kondisi jalan yang sepi lebih mudah untuk mendahului.

Melewati jalan arteri kecil menuju Batu, berpapasan dengan sepeda motor pengangkut hasil bumi, Ibu Ibu yang memanggul jerami, tidak ada minimarket berjaringan, lebih banyak toko kecil dan warung, malah bagus begitu.

Saya memusatkan perhatian penuh pada kemudi saat jalan menanjak dan berkelok tajam di batu. Batu lebih indah dari Puncak.  namun hari sudah mulai gelap, celaka,,saya paling takut jika menyetir malam hari apalagi di rute yang penuh dengan kelokan tajam.  Dalam hati berdoa semoga masih ada sinar matahari saat jalur ini kelar dilalui.  Ternyata bisa, gelap benar benar turun saat mencapai Malang. sayang sekali tidak dapat melihat kota ini dengan jelas saat malam.  Hotel saya berada di jalan cerme, yang merupakan Mentengnya Malang.  Sebuah hotel bergaya kolonial dibangun tahun 1930, bekas kantor RRI kalau tidak salah.  Kita berbuka di Depot (Dapur?) Kanton, yang menyajikan masakan cina dengan porsi fantastis besarnya, walaupun rasanya standar.  Saya yang tidak bernafsu saat buka puasa masih mencari cari sesuatu...ternyata tepat di seberang hotel ada cafe yang nyaman, Club sandwichnya sedap, menyesal tidak dari tadi ke sini.

Di Malang inilah saya teringat kembali dengan legenda Oey Tiong Ham, seorang taipan gula Asia Tenggara yang berasal dari Semarang. Jika Rockefeller adalah Raja minyak awal abad 20, Oey Tiong Ham adalah Raja Gulanya.  Kekayaannya saat meninggal mencapai 200 juta gulden!!

Tidak ada komentar: