03 Agustus 2011

BELUM ADA JUDUL

Praba menutup matanya rapat rapat, masih terkenang saat usianya masih belia.  Suatu sore ia sedang membantu ibunya merebus air di suatu perkampungan tak jauh dari hutan sitakepyak sebelah selatan Rembang.  Praba kecil merasakan mendung menggelayut dalam hati Ibundanya.  Nyai Salbinah memang lebih banyak berdiam diri sejak pagi.  Senyum yang biasa menyejukkan tak tampak lagi.

Praba pun berdiam diri, menempatkan untuk melaksanakan perintah Nyai Salbinah.  Keheningan itu pecah oleh suara derap kuda, semula lamat lamat dan semakin jelas.  Nyai Salbinah menoleh, kali ini senyum kecil menyinari parasnya.  Sekilas Praba melihat ibundanya dengan cepat merapikan gelung rambutnya, membetulkan letak kebaya dan jariknya.

Kuda kuda dan para penunggangnya mulai terlihat, paling depan terlihat jelas Gusti Pangeran Prang Wedana lalu Gusti Prawirodirdjo, salah satu senapati pengapit diikuti oleh pasukan.  Tak lama kemudian Gusti Pangeran melambatkan kudanya dan akhirnya berhenti.  Praba, Nyai Salbinah dan seluruh penghuni perkampungan itu bergegas menghampiri.  Wajah Pangeran Prang Wedana bersinar, ia meloncat turun, di tangannya terdapat bungkusan putih.

Tanpa berkata kata ia bergegas melewati pengikutnya...

"Wiyah".., terdengar suara berat Gusti Pangeran, yang dipanggil tampak menengadah,,,tanpa suara perempuan yang dipanggil Wiyah itu mengangkat sembah yang segera disambut genggaman.

"Ini untukmu, hadiah perkawinan kita".

Penasaran Praba berlari menghampiri, ia lupa akan keseganannya terhadap Pangeran Prang Wedana terkalahkan oleh rasa penasaran akan isi bungkusan kain putih itu.

Gadis cilik itu terbelalak, ia mundur dengan rasa mual menyesaki rongga perutnya.  Sebongkah kepala berambut kuning keemasan berlumuran darah tergeletak di atas kain putih.  Terhuyung huyung ia beringsut mundur menjauhi tempat itu.  Sampai di belakang kerumunan ia menghirup udara sebanyak banyaknya.  Setelah lega ia hendak beranjak tatkala matanya menangkap sosok Nyai Salbinah, ibunya mematung, mata ibunya menatap lurus, bukan ke arah kepala berlumur darah itu namun kepada Gusti Pangeran.

Nyai Salbinah tersentak, saat seseorang menyentuh tanggannya. Praba ternyata sudah berdiri di dekatnya, tanpa berkata kata Nyai Salbinah segera membimbing anaknya kembali ke pondok mereka.

Praba menggelengkan kepalanya, bayangan masa lalu seakan mengabur.  Gadis itu kembali memusatkan perhatiannya kepada sasaran di depannya.  Ia memejamkan matanya sejenak, sementara tangannya merentangkan busur, mendadak matanya terbuka bersamaan dengan itu anak panah berdesing halus tepat menembus kepala orang orangan sawah yang terbuat dari jerami.

Praba mengamati hasil bidikannya, wajahnya seakan membeku saat menoleh ke sekelilingnya, sekelompok perempuan juga sedang berlatih memanah.  Ia beranjak mengamati satu persatu, seorang gadis yang lengannya terlalu turun segera ditepuknya.  "Bidikanmu tidak akan pernah tepat jika lenganmu tetap seperti itu, harusnya seperti ini".

Matahari semakin meninggi, peluh bercucuran dari para prajurit yang sedang berlatih itu.  "Sudah cukup", terdengar suara berat membelah hiruk pikuk suasana.  Wibawa yang terpancar dari suara itu membuat semua menghentikan kegiatannya.  Praba menoleh dan berjalan cepat menuju pemilik suara.

Tidak ada komentar: