10 Agustus 2016

Sriwijaya - Ingatan yang samar

Bagaimana rasanya baru beberapa jam keluar dari bandara dan harus kembali ke bandara di lokasi lain untuk ke lain kota?  Saya mengalaminya.  Jadi pesawat dari Bali sampai di bandara Soetta pukul 22:00 malam, lalu tiba di rumah sekitar jam 24:00, beres-beres rumah sambil tukar baju di ransel lalu tidur.  Jam 04.30 besok paginya sudah jalan lagi ke bandara Halim PK mengejar jadwal pesawat jam 06:45 menuju Palembang.   Rasanya ya ngantuk...


Kenapa harus ke Palembang? karena ada pameran dan festival Sriwijaya.  Kenapa jadi penting, karena saya dan rekan yang menulis konten pameran :).   Sedangkan untuk festival diadakan oleh Pemda Sumatera Selatan yang merupakan event tahunan.  Rekan saya masih sibuk mengurus pameran Austronesia di Bali, jadi saya yang ke Palembang.  Untungnya saya berangkat Sabtu jadi tidak perlu menambah cuti kantor.




Sebenarnya urusan konten sudah selesai karena panel sudah terpasang rapi lengkap dengan peraganya, yang sibuk malah team off air yang mengadakan kegiatan antar komunitas.

Ada salah satu peneliti spesialis Sriwijaya dari pusat arkeologi nasional yang ikut serta.  Jadi bersama beliaulah saya akan berbagi tentang Sriwijya, rencananya.

Sayang, yang namanya rencana jadi tinggal wacana karena ada banyak perubahan mendadak disebabkan masuknya lembaga pemerintahan yang mengambil alih tema acara secara tiba-tiba. Kesimpangsiuran ini berimbas pada penjemputan.  Kalau jemputan kami baik-baik saja, artinya memang disediakan satu mobil jemputan.  Yang kocak adalah jemputan untuk bapak peneliti itu. Dari Jakarta sudah dikoordinasikan si A dari dinas pariwisata khusus untuk menjemput beliau.  Begitu menginjak bandara Sultan Mahmud Badarudin ternyata beliau dijemput langsung si B yang berasal dari balai arkeologi,  sementara dari pihak pemda juga menyediakan mobil jemputan untuk beliau. Tiga jemputan khusus untuk si bapak dari pihak yang berbeda-beda.

Nah pusing kan,  saya yang menyertai beliau antara mau ketawa dan guling-guling bingung. Sudahlah beliau memilih ikut jemputan dari balai arkeologi, selesai!  Tinggal saya sibuk menelepon dua pihak penjemput yang tereliminasi itu untuk menjelaskan situasinya.

Saya bersama dua orang rekan akhirnya naik mobil menuju hotel sementara lokasi festival dan pameran ada di lapangan dekat benteng Kutobesak. yang tak jauh dari hotel.  Sepanjang jalan terlihat kemacetan yang diakibatkan oleh pembangunan LRT yang akan menghubungkan  bandara dengan stadion Jakabaring secara langsung.  Pembangunan fasilitas ini terkait dengan akan diselenggarakannya Asian Games 2018 di Palembang, jadi tak heran kalau proyek ini dikebut habis-habisan.

Tapi bicara soal Palembang sebenarnya adalah bicara tentang riwayat suatu negara berbentuk kerajaan bernama Sriwijaya yang pada masa lalu dikenal dengan nama Shih-li-fo-shih menurut catatan biarawan I-ts'ing atau San-fo-chi menurut Tchao Jou-Kua.  I-ts'ing menyebut letak Sriwijaya dengan perumpamaan panjang bayangan yang tidak menjadi panjang atau pendek pada pertengahan bulan delapan....Matahari tepat di atas kepala dua kali satu tahun.....
Sehingga ditarik kesimpulan bahwa Shih-li-fo-shih terletak di sebelah garis khatulistiwa.  Menurut I-ts'ing kerajaan ini terletak di tepi sungai yang bernama sama, sungai Fo-shih.  Dari situ kembali disimpulkan bahwa Shih-li-fo-shih terletak di sebelah tenggara pelabuhan Melayu (Jambi) dan di sekitar garis Khatulistiwa.  Adapun tempat yang memenuhi syarat-syarat tersebut adalah muara sungai Musi di Palembang.  Tentu saja pada jaman I-ts'ing belum dikenal nama Palembang.


Pada perkembangan selanjutnya, Palembang bukan satu-satunya pusat kerajaan Sriwijaya, Moens menyebut daerah Muara Takus lah yang menjadi pusat kerajaan yang baru.  Sementara Sukmono menganggap Jambi lah pusat Sriwijaya karena secara geomorfologi Jambi lebih memenuhi syarat.

Hasil penyelidikan geomorfologi inilah yang diteruskan oleh dinas purbakala pada tahun 1954, hasilnya diketemukan bahwa ternyata pada jaman Sriwijaya kota Palembang dan Jambi terletak di tepi laut.  Palembang di ujung jazirah sedangkan Jambi di suatu teluk.


Sesungguhnya antara Sumatera dan Jawa diikat oleh garis darah satu wangsa, wangsa Syailendra.  Setidaknya prasasti Sojomerto yang diketemukan di daerah Batang, Jawa Tengah mengungkapkan asal Dapunta Selendra yang dianggap cikal bakal wangsa Syailendra.  Sementara dari prasasti Nalanda, di India sana, dipahatkan asal raja Sriwijaya, Balaputradewa yang berasal dari kerajaan Mataram kuno dan juga merupakan keturunan Syailendra.

Para ahli berpendapat Sriwijaya lahir tahun 683, namun ada pula yang menentang karena sekitar tahun 670 M I-tsíng telah mengunjungi Sriwijaya.  Kerajaan ini mempunyai kekuatan angkatan laut yang berasal dari suku-suku laut yang menetap di sekitar perairan Sumatera.

Dari berita-berita Cina diketahui para penjaga laut Sriwijaya amat tangguh dalam berkelahi di darat maupun dalam air.  Bukan itu saja, mereka tak segan memaksa kapal yang lewat untuk singgah di pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah kekuasaan Sriwijaya untuk melakukan kegiatan ekonomi dan menarik pajak bagi kapal yang melewati selat Malaka.

Masa penurunan kerajaan ini diduga karena pungutan pajak yang tinggi terhadap satu kelompok masyarakat dan juga para nahkoda kapal asing yang memutuskan tidak lagi ingin berada di bawah monopoli Sriwijaya.  Kerajaan Cola yang menyerang di tahun 1025 mempercepat keruntuhan ini.

Selanjutnya setelah lenyapnya Sriwijaya kita sering mendengar nama Dharmasraya dengan rajanya Adityawarman yang terhubung dengan Majapahit.  Lalu usai pengaruh Budha melemah, pedagang-pedagang muslim dari jazirah Arab berdatangan dan  membangun komunitas sendiri, Kesultanan Palembang berdiri dan menjadi kerajaan muslim.

Sejarawan JJ Rizal mencatat dalam kultwitnya tentang komunitas Arab di Palembang yang telah mencapai 500 orang saat sultan Mahmud Badarudin diturunkan paksa dari tahtanya oleh Belanda pada tahun 1821.  Dalam masa perkembangannya orang-orang Arab inilah yang banyak berdagang melalui laut dan mempunyai armada sendiri serta kesuksesan yang memunculkan keluarga saudagar kaya raya

Rumah keluarga Muhammad Assegaf


Salah satu sudut di ruang atas

Dan jadilah Palembang yang kita kenal saat ini dengan komunitas Arab yang menempati tepian sungai Musi dan dikenal dengan nama kampung Al Munawar.  Selain komunitas Arab, Palembang juga amat dikenal dengan etnis Cina yang memunculkan kuliner khasnya sendiri.


Lorong di kampung Arab

Di sinilah saya, di tengah kota Palembang modern yang berhawa panas berusaha merasakan jejak Sriwijaya yang dengan cepat saya sadari nyaris tak terlihat.  Yang ada hanya kemacetan yang lazim terjadi pada sebuah kota yang sedang mengejar pembangunan infrastruktur.

Saya bertemu dengan komunitas akademi berbagi yang terdiri dari anak-anak muda.  Dari Jakarta kami membawa fotografer, blogger dan sejarawan untuk membagikan apa yang mereka punya dan jalankan sesuai profesi masing-masing.

Hal yang menarik datang dari sesi sejarah.  Siapa yang mengajarkan bahwa redupnya Sriwijaya disebabkan oleh bangkitnya Majapahit?  Boleh saja tertawa, tapi kengawuran semacam itu faktanya dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Palembang tanpa ada bantahan dari sejarawan lokal.   Atau mungkin bantahannya tidak terdengar.  Saya menyaksikan anak-anak muda itu terhenyak saat mereka menyadari bahwa Sriwijaya dan Majapahit berada di periode yang berbeda sehingga frasa Majapahit menjadi penyebab keruntuhan Sriwijaya adalah satu bentuk pembodohan sejarah.

JJ Rizal sedang mengampu di museum

Keterputusan hubungan masyarakat Palembang dari sejarah mereka dapat dirasakan ketika mencoba ikon pariwisata mereka yang paling dikenal: Pulau Kemaro.   Pulau Kemaro dapat dicapai kira-kira 30 - 45 menit perjalanan menyusuri sungai Musi.  Destinasi ini yang kerap disebut tukang perahu saat menawarkan tumpangan.

Apa yang membuat pulau ini sangat menarik?  Tidak ada.  Begitu kami sampai di sana, hanya ada bangunan baru yang dimaksudkan sebagai klenteng serta pagoda, yang merupakan bangunan tambahan.

Pagoda di pulau Kemaro

Pengunjung hanya dijejali informasi berupa dongeng, konon pulau ini adalah tanda, tempat dimana suami istri mati tenggelam.  Si istri konon adalah putri raja Palembang, entah raja  yang mana. Pulau Kemaro menjadi monumen mitos yang tak jelas juntrungannya sama tak jelasnya dengan ukiran Santa Claus naik perahu bersama para panda yang terpahat di dinding luar pagoda.

Jarang sekali orang melirik kampung Al Munawar dan kampung Kapitan yang lebih kental muatan sejarahnya.  Kampung arab Al Munawar didominasi oleh arsitektur rumah rumah kuno berdinding.   kayu.  Satu rumah yang termasuk paling besar dan megah adalah rumah yang dihuni oleh keluarga Muhammad Assegaf, salah satu bekas saudagar.

Salah satu rumah di barisan depan kampung Arab

Tradisi sekolah di kampung arab ini ialah libur pada hari Jumat dan hari minggu murid-murid sekolah tetap masuk.  Lorong-lorong di sepanjang kampung kadang membawa kita ke dalam lorong waktu puluhan tahun silam.  Kampung ini baru saja ditahbiskan sebagai salah satu icon pariwisata Palembang.  Sudah siapkan kampung ini? entah, saya tidak bisa menyimpulkan apa pun dari kunjungan pertama kali.

Anak di kampung Arab


Festival Sriwijaya sendiri lebih menitikberatkan pada lomba tari-tarian antar kabupaten di Sumatera Selatan dan juga gerai-gerai kuliner yang berkumpul memamerkan makanan khas Palembang.  Menarik sebenarnya, tapi memang agak susah kalau menampilkan Sriwijaya sebagai titik fokus sementara acaranya cenderung menampilkan Palembang yang kekinian.


Pembicaraan tentang Sriwijya sebenarnya hanya marak di kelas akademi berbagi yang diadakan di museum sultan Mahmud Badaruddin. Kondisi museumnya sendiri agak menyedihkan walaupun dulunya bangunan ini pernah menjadi istana kesultanan Palembang Darussalam.



Martabak HAR

Kapan-kapan sepertinya harus digali lagi sejarah Palembang dengan sungai Musi sebagai jalur lintas budaya mengingat sungai ini merupakan urat nadi kota.

Ada semacam rasa kehilangan saat menemukan satu kantor Kodam Palembang yang memasang patung Gajah Mada.  Kodam di bekas pusat kerajaan maritim Sriwijaya yang terkemuka kini mengidentifikasi dirinya dengan mahapatih kerajaan di Jawa.  Tragis sepertinya.

Lagi, tidak adanya kedekatan masyarakat Palembang dengan masa lalunya menyebabkan festival Sriwijaya seperti pentas seni lainnya, meriah dengan kostum warna warni namun belum menunjukkan kesesuaian dengan tema.

Jadi daripada pusing lebih baik kita ke pasar Cinde saja sambil menelan liur saat melihat kue-kue tradisional disajikan dalam etalase kaca oleh para encik di sana

Halte tempat menyeberang di pinggiran sungai Musi



Tidak ada komentar: