03 Agustus 2016

Pandan Berduri di Tenganan

Minggu lalu, dalam 4 hari saya pergi ke Bali, tepatnya daerah Tenganan dan Palembang.

Ada apa di Tenganan? jawabnya: Mekare-kare alias perang pandan.  Mekare-kare adalah tradisi masyarakat di desa Pegringsingan dan Dauh Tukad, dimana untuk menghormati dewa Indra warga kedua desa di Tenganan tersebut mengadakan ritual duel satu lawan satu dengan bersenjatakan ruas-ruas daun pandan berduri.

Ritual tersebut pada tahun ini diselenggarakan di desa Tenganan Dauh Tukad tanggal 22 Juli 2016 sedangkan di Tenganan Pegringsingan pada tanggal 25 Juni.

Jadi pada tanggal 21 Juli, menggunakan pesawat pagi saya tiba di Ngurah Rai, seorang pria muda bertato menjemput saya di bandara.  Itu lah bli Putu yang selama hari ini dan besok akan mengantar saya.

Karena yang di Pegringsingan sudah lewat, maka saya mengarah pada ritual Mekare-kare yang diselenggarakan di Dauh Tukad.  Daerah Tenganan berjarak cukup jauh dari bandara.  Dengan mobil dibutuhkan waktu 1.5 - 2 jam dengan jalan dalam kondisi lancar untuk mencapai Tenganan.  Mengingat hal itu maka saya memutuskan menginap di sekitar Candidasa.

Karena jarak yang cukup jauh itulah maka daerah Candidasa relatif sepi dari hiruk pikuk wisatawan, walau begitu banyak wisatawan mancanegara yang justru menginap di daerah ini, terlihat dari peginapan kelas menengah yang berderet-deret di sepanjang jalan.

Lorong di desa Dauh Tukad



Rakyat Bali memang sudah sangat sadar bahwa daerahnya adalah tujuan wisata andalan, termasuk pemerintah daerahnya.  Jalan-jalan penghubung yang beraspal halus menuju pelosok telah tersedia, mudahnya menyewa kendaraan dari mobil sampai sepeda.

Jadi walau lumayan sering ke Bali, tetap saya angkat jempol kepada sikap rakyat Bali yang kompak dan kukuh dalam memelihara adat dan budayanya.  Selain itu juga dikenal sanksi sosial yang keras terhadap warga yang melalaikan adat setempat.

Dalam perjalanan melewati bypass Ida Bagus Mantra terlihat poster, spanduk penentangan terhadap reklamasi Teluk Benoa oleh rakyat Bali, dan memang beberapa hari sebelum saya datang ada demo besar-besaran yang berlangsung di sana.  Dalam kasus ini masyarakat Bali jelas berseberangan dengan Gubernurnya, Made Mangku Pastika yang terang-terangan mendukung reklamasi.

Bli Putu juga dengan semangat menceritakan demo besar-besaran tersebut.  Kata Bli Putu yang kelahiran Jimbaran itu, mayoritas rakyat Bali menentang reklamasi teluk Benoa.
Kompak, begitulah kesan saya terakhir.

Obrolan berlanjut sepanjang jalan, diselingi makan siang di Mak Beng, Sanur.   Akhirnya tiba di jalan raya Candidasa sekitar jam 12.30 siang.  Penginapan yang saya pesan melalui situs online adalah Temple Stone hotel, dan saya memilih kamar termurah, kurang dari Rp 300 ribu semalam.   Jadi saya tidak mempunyai ekspektasi tinggi terhadap hotel ini, toh hanya numpang tidur.

Saat tiba di lokasi, saya mendapat kejutan menyenangkan.  Ternyata Temple Stone adalah hotel kecil cantik dan asri.  Kamar-kamarnya berjajar rapi, terpisah satu sama lain mirip bungalow dengan taman.  Ujung taman itu adalah laut lepas.  Jadi penginapan ini berada di pinggir tebing yang menghadap laut.

Kamar di Temple Stone

Dengan harga kurang dari Rp 300 ribu tentu saja kamar saya tidak ber-ac, tapi dengan hawa sesegar ini siapa butuh ac di kamar.  Kamarnya sendiri lumayan lapang, nyaman, ada kipas angin di langit-langitnya dan kamar mandinya besar serta bersih.  Ranjang tipe queen size, dengan 2 handuk bersih terlipat rapi.  Cocok untuk honeymoon.  Saya nyengir gembira mendapatkan penginapan senyaman ini.  Belakangan saya baru tahu jika pemilik penginapan ini adalah bekas warga negara Australia yang telah berpindah kewarganegaraan Indonesia.

Jalan setapak di depan kamar dan kamar mandi


Di dinding belakang meja bar tertempel dua penghargaan dari Trip Advisor.  Artinya memang highly recommended.

Saat check-in tadi, mbak receptionist langsung menebak dengan jitu keperluan saya di Tenganan, menghadiri Mekare-kare.  Saya mendapatkan informasi yang berharga darinya.   Jadi setelah menaruh barang saya langsung menuju desa Tenganan Dauh Tukad yang hanya berjarak 15 menit perjalanan dengan mobil menurut informasi.

Jalan menuju lokasi walaupun tidak lebar namun tertata rapi dan mulus, menandakan Pemda Bali memang sangat siap dengan infrastruktur yang mendukung sebagai pulau pariwisata.   Kami sempat tersasar sampai ke desa Pegringsingan karena tidak melihat tanda belokan ke kiri menuju Dauh Tukad.


Jalur menuju desa Dauh Tukad sendiri dikelilingi pepohonan, layaknya hutan.  Jalurnya lebih kecil dan lebih terpencil namun tetap beraspal rapi.  Desa Tenganan Dauh Tukad memang tidak sepopuler tetangganya, Pegringsingan.  Wilayah Tenganan ini pun lebih banyak dikunjungi wisatawan asing yang lebih suka ketenangan dibanding Kuta, Sanur, Legian, Ubud dan Seminyak.

Walau letak desanya agak terpencil, namun masyarakat desa Dauh Tukad sangat siap dengan kunjungan wisatawan.  Tempat parkir mobil sudah disiapkan walaupun tidak sebesar di Pegringsingan.   Terdapat loket yang menyediakan foto copy jadwal dan informasi upacara dengan bahasa Inggris.  Tinggal kita menyumbang seiklasnya di kotak disediakan sambil mengisi buku tamu.

Hari ini, sehari sebelum acara ritual mekare-kare ada ritual Daha Nyambah yang ditujukan pada para pemuda dan pemudi desa seperti acara ayunan kul kul dan menggendong sambil mengelilingi balai agung.  Kebetulan yang menyenangkan.  Sambil menunggu acara itu, saya berjalan-jalan mengelilingi desa.  Para penduduk terlihat sibuk menyiapkan sesaji upacara.  Kontur jalan desa yang naik turun menarik untuk dijelajahi.  Kawasan ini termasuk yang sulit air, namun berhubung sekarang masih musim hujan, sungai yang berada di bawah menyediakan supply air yang cukup sehingga bisa dialirkan ke keran umum yang terletak di beberapa tempat.   Cape berjalan saya duduk-duduk di warung sambil memesan teh panas sekaligus mengobrol dengan beberapa warga sepuh.


Cuaca yang mendadak mendung sempat mengkhwatirkan tetapi warga yang saya ajak ngobrol menenangkan, nanti juga cerah lagi katanya.  Beberapa wisatawan mulai berdatangan, para pemuda desa juga mulai berdatangan dengan pakaian upacara berwarna putih bersih dengan mahkota berwarna keemasan. Tak pelak mereka menjadi sasaran foto pengunjung.  Para ibu datang dengan menjunjung sesaji di atas kepala.


Para pemuda yang sudah berkumpul bersama-sama berjalan menuju beberapa pura untuk sembahyang.  Kami dengan sabar menunggu walau cukup lama.  Setelah selesai dengan diiringi tetabuhan dimulai acara kul kul.  Ayunan kayu telah disiapkan,   4 orang pemuda memanjat ke atas, ayunan ini akan dinaiki gadis-gadis.  Satu-persatu para pemudi duduk di ayunan yang mirip korsel di taman hiburan.  Ayunan lalu diayun berputar.  Para penonton riuh bersorak-sorak.


Selesai acara kul kul, warga berkumpul di balai agung untuk melakukan sembahyang.  Saya mengambil tempat di belakang, di undak-undakan yang menyerupai teater mini.  Sementara hari beranjak gelap, warga kian kushuk bersembahyang.  Mantra-mantra diucapkan oleh pandita.  Di akhir acara beberapa pandita berkeliling memercikkan air suci kepada warga.



Acara terakhir yaitu menggendong rekan berlari mengelilingi balai agung.  Tentu saja sebelumnya juga diikuti dengan ritual tertentu.  Para pemuda berkumpul sambil mendengarkan pandita, cukup lama juga.  Sudah hampir jam delapan malam, para pemuda yang tadi berkumpul sudah menuju pura untuk sembahyang.  Memang upacara-upacara adat seperti memerlukan waktu panjang, pengunjung harus sabar menunggu.




Akhirnya yang ditunggu tiba juga.  keluar pura, para pemuda segera berlari mengitari balai agung sambil menggendong temannya, sementara sesajen berupa makanan juga beriringan keluar.  Ada yang menjunjung babi panggang utuh, cukup banyak selain buah dan makanan lainnya.  Para pemain gamelan dengan riuh memainkan alat musiknya mengiringi para pelari.



Acara selesai lewat jam sembilan malam, baru saya sadar badan terasa letih, nonstop beraktivitas sejak turun pesawat.  Dengan gontai saya mengikuti bli Putu berjalan menuju mobil, salut juga, ia begitu santai menunggui saya sepanjang hari.   Tadinya kami berniat makan malam, sayang bli Putu harus kembali ke kantor rental dan resto di hotel juga sudah tutup.  Akhirnya saya mampir ke minimarket depan hotel dan membeli snack pengganjal perut serta minuman.

Hujan turun dengan lebat kala saya menutup pintu kamar, segar rasanya.  Setelah mandi saya berbaring menikmati suara hujan dan deburan ombak sesudahnya sampai terlelap.

Paginya saya memutuskan sarapan di hotel.  Sarapan pilihan saya terdiri roti gandum panggang, telur mata sapi dan bawang bombay yang digoreng mirip karamel.  Enak sih, asal diberikan garam.  Mungkin karena tamunya kebanyakan bule jadi garam tidak terlalu terasa, termasuk unsalty butter yang diberikan untuk olesan.  Lidah melayu saya butuh sesuatu yang gurih seperti mentega macam blue band.  Saya melihat sekeliling resto dan menyadari saya adalah satu-satunya pengunjung bermuka melayu.

Karena bli Putu akan menjemput saya pukul 11.30 sekalian check out dan waktu masih cukup panjang maka saya berjalan-jalan saja mengukur jalur Candidasa, sambil melihat beberapa baju yang lucu-lucu.  Daerah Candidasa memang relatif sepi, tidak ada hiruk pikuk.  Terlihat kontur perbukitan yang mengelilingi daerah ini.  Perbukitan di satu sisi, sementara laut di sisi lainnya.

Sekitar jam 11. 15 saya keluar kamar dan melihat bli Putu sedang berjalan masuk, tepat sekali.  Jadi setelah menyerahkan kunci check out saya langsung menuju lokasi Perang Pandan di Dauh Tukad.  Perang pandan akan dimulai jam satu siang jadi masih cukup waktu untuk mencari spot yang cocok.

Ternyata parkiran sudah penuh saat kami datang.  Namun saat sampai balai Agung, tempat duduk di undak-undakan masih tersedia lumayan banyak, karena para turis yang didominasi orang asing sedang asyik berkeliling.  Di sudut lain ada judi kecil-kecilan yang dikerumuni warga.

Pasang taruhan



Sementara para peserta perang pandan sedang menerima arahan, mereka mengenakan lilitan kain, udeng dan telanjang dada  Di panggung sudah terlihat dua buah perisai rotan diletakkan saling silang.

Sekitar jam satu siang acara pun dimulai, dua orang maju berhadapan.  Masing-masing menggenggam sebilah rotan berduri.  Sementara wasit berdiri di tengah siap memberikan aba-aba. Suasana semakin riuh dan suara gamelan pun berdentang-dentang menjadi pertanda tersendiri bagi penonton untuk semakin merangsek ke depan panggung.

Dan mulai!...dua orang peserta pertama langsung berjibaku saling pukul, saling rangkul sambil menyabetkan bilah pandan ke lawannya, bahkan saat sedang merangkul mengunci gerakan lawan mereka saling menggosok punggung masing-masing dengan pandan berduri sehingga kulit mereka memerah bahkan menitikkan darah.





Wajah mereka meringis, namun tersenyum dan saling menepuk bahu seusai wasit memisahkan mereka.  Begitulah berganti-ganti tiap dua orang maju, tidak hanya orang dewasa, anak kecil pun juga ikut serta, sang bapak yang menyertai bahkan memberikan contoh bagaimana menggosok duri pandan yang benar, ngilu melihatnya.  Perisai rotan yang dipakai oleh salah satu peserta sempat melayang mengenai kamera saya.  Saya sempat menepis tangan turis asing yang nyelonong menutupi layar kamera, tentu saja dia tidak sengaja karena asyik mengambil video.




Selama dua jam acara ini berlangsung, bilah-bilah pandan yang terpercik darah berserakan di panggung.  Panas matahari yang menyengat seakan tidak terasa, namun keringat mengucur deras. Acara perang pandan selesai dan akan ditutup dengan upacara sembahyang.


Mengingat waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore sedangkan pesawat saya jam 20.45 WITA, lebih baik saya segera ke bandara, karena jarak yang cukup jauh dari Tenganan ditambah ingin sedikit belanja di toko oleh-oleh.   Besok pagi saya harus ke Palembang, jadi hanya akan tidur beberapa jam di rumah

Sejauh ini semua rencana berjalan lancar, sampai bertemu di Palembang.




Tidak ada komentar: