31 Agustus 2016

17|71 : Goresan Juang Kemerdekaan, Tak harus perang


Goresan Juang Kemerdekaan, menyambut 71 tahun RI pada tanggal 17 Agustus.  Begitulah terjemahan umumnya.

Kali ini istana kepresidenan menyelenggarakan pameran khusus koleksi lukisan yang tersimpan di berbagai istana kepresidenan di Indonesia.  Pameran yang bertempat di Galeri Nasional ini sudah berlangsung dari awal Agustus.  Tiap hari minggu ada spesial kurator yang mendampingi dengan waktu yang sudah ditentukan.


Untuk pameran yang rencananya akan diadakan tiap tahun ini, pertama kali akan menampilkan koleksi lukisan dan keramik dari jaman presiden Soekarno.  Soekarno memang dikenal sebagai pecinta seni dan kolektor lukisan yang masing-masing lukisan mempunyai cerita unik tersendiri tentang bagaimana lukisan tersebut sampai berada di tangan beliau.


Kisah-kisah tersebut menjadi penting untuk ditampilkan karena menjadi ia roh pameran yang menarik masyarakat untuk mendekat, jika tujuan pameran adalah untuk memperkenalkan koleksi istana kepada khalayak umum yang awam tentang lukisan.

Tak heran dalam pemilihan lukisan, kurator pameran harus bekerja keras menseleksi lukisan mana yang dapat ditampilkan plus menggali kisah di balik lukisan itu.

Setidaknya itu yang terlihat dari Mikke Susanto, kurator pameran ini saat menyertai tamu-tamu khusus pada hari Sabtu kemarin.


Sabtu kemarin itu, setelah antri menunggu antrian sampai nomor 500 sebelum kembali ke nomer 1, nomer antrian saya adalah 23 sementara papan penunjuk antrian tertulis nomer 350 saya duduk menunggu di ruang tunggu yang terletak di samping gedung utama.  Animo masyarakat terlihat dari panjangnya antrian, kebanyakan dari kaum menengah dan menengah atas jika dari pengamatan sekilas.Terlihat juga beberapa remaja berseragam sekolah dan para mahasiswa.

Setelah menunggu kurang lebih 45 menit akhirnya nomer saya pun dipanggil dan saya bergegas mendaftar.  Tas harus ditaruh di penitipan barang, hanya boleh membawa handphone dan dompet. Tongsis adalah  barang terlarang di museum.

Setelah lengan dicap, pengunjung dapat melenggang masuk ke gedung utama.  Sampai di dalam gedung pengunjung masih harus diperiksa dengan detektor, bahkan karena membawa dompet yang agak besar, saya diminta membuka dompet yang begitu dibentangkan langsung meluncur duit lima ribuan bekas kembalian naik bajaj.  Penjaga tadi tertawa kecil, saya menggerutu pelan..malu.

Kelar urusan pemeriksaan saya pun melangkah masuk ke dalam dan melihat pria berambut agak gondrong sedang menerangkan sebuah lukisan pada sekelompok orang, beberapa di antaranya mengenakan badge bertuliskan tamu khusus.  Saya mengenal wajahnya dari surat kabar yang meliput pameran ini, dialah Mikke Susanto.

Tanpa membuang waktu saya segera menyelinap masuk dalam kumpulan itu mendengarkan beliau memaparkan latar belakang masing-masing lukisan yang dianggap penting.  Tentu saja karya Raden Saleh tentang penangkapan pangeran Diponegoro paling menarik perhatian.  Walaupun saya sudah pernah melihatnya di pameran lukisan Raden Saleh beberapa tahun yang lalu dan sudah membaca ulasan kurator tentang karya ini, tetap saja lukisan ini menarik untuk diperhatikan apalagi kali ini ada kurator istana yang mendampingi.


Dua orang bapak terlihat menggebu-gebu membandingkan lukisan yang dibuat Raden Saleh dengan lukisan Diponegoro-nya Pieneman yang dibuat 5 tahun setelah penangkapan sang Pangeran.  Mikke Susanto tampak sabar mendengarkan sang bapak lalu melanjutkan keterangannya setelah keduanya selesai.

Lukisan lain yang menyimpan kisah menarik adalah lukisan seorang wanita yang diberi judul "Rini", yang berasal dari sketsa kasar Dullah dan diselesaikan oleh Soekarno, siapa Rini? seorang model lukisan, begitu saja.


Ada lagi karya-karya dari pelukis asing yang membuat nama Bali terkenal di dunia Internasional, kalau istilah jaman sekarang menjadi viral seperti lukisan dari Rudolf Bonnet tentang para penari Bali dan lukisan Miguel Covarrubias mengenai gadis-gadis Bali.  Ada pula lukisan WAlter Spies tentang kehidupan di Borobudur abad 9.
`



Sepenglihatan saya ada kesamaan antara gaya Walter Spies dan Rudolf Bonnet, lukisannya terlihat real dan secara proporsi anatomi tubuh juga sesuai.

Berikutnya lukisan seorang perempuan berkebaya pink berwajah melayu.  Buat saya yang awam terlihat biasa, namun ada cerita menarik di baliknya.  Lukisan ini dibuat oleh Diego Rivera, siapa dia?  Seorang pelukis berkebangsaan Mexico, bukan sekedar pelukis, tapi ia adalah pelukis kelas wahid beraliran socialis realisme.  Begitu saja?  Masih ada sambungannya.  Karya Diego Rivera tidak diperbolehkan keluar dari Mexico dan itu sudah jadi undang-undang di sana, jadi lukisan yang mengambil model Ainsyah Effendi, istri pejabat Indonesia di Mexico sama sekali tidak boleh dibawa ke Indonesia.



Namun bukan Soekarno kalau menyerah begitu saja, lagi pula saat itu Soekarno sedang top sebagai tokoh anti kolonialisme dan imperialisme.  Singkat cerita akhirnya lukisan tersebut boleh diboyong ke Indonesia, tentu setelah presiden Mexico, Adolfo Lopez mengeluarkan semacam dekrit khusus.

Mantan Gubernur Jakarta, Henk Ngantung yang dikenal sebagai seniman juga membuat lukisan yang masuk dalam catatan sejarah.  Mungkin kita jarang sekali memperhatikan foto buram detik-detik proklamasi dibacakan di jalan Pegangsaan Timur, ternyata ada lukisan orang memanah di bagian belakang, tertempel di tembok.  Henk Ngantung melukisnya pada tahun 1943 dan yang menjadi model khusus untuk tangan si pemanah adalah Soekarno sendiri, saat lukisan itu tertunda penyelesaiannya karena tidak ada model.  Soekarno menyukai lukisan itu karena dianggap mencerminkan perjalanan bangsa Indonesia yang sedang meluncur dari busurnya.

Add caption

Lukisan yang dibuat beralaskan triplek itu ditemukan tertumpuk di gudang istana sekitar tahun 1985 dalam keadaan rusak sehingga harus direproduksi.  Seorang seniman bernama Haris Purnomo yang ditugasi merepro lukisan tersebut.   Lukisan asli yang kondisinya rusak parah sehingga sisi kanan atasnya sudah hilang juga turut dipamerkan namun ditaruh dalam kotak kaca.

Ralat: lukisan karya Henk Ngantung

Lukisan Affandi dan Soedjojono juga dipamerkan, mudah untuk mengenali lukisan Affandi yang "kruntelan" sesuai aliran yang dianutnya..abstrak.

Ada satu lukisan "rumit" menurut saya karena detailnya, selain lukisan Raden Saleh tentu dan mirip lukisan Walter Spies dan Rudolf Bonnet..lukisan karya Ida Bagus Nadera yang berjudul Fadjar Menjinsing.  Lukisan itu menggambarkan suasana pagi di Bali lengkap dengan tumbuhan, hewan serta manusianya.


Siapakah Ida Bagus Made Nadera?  Saya googling setelahnya.  Dan, sedikit keterangan didapat dari tulisan Mikke Susanto sendiri di Jogja News, Nadera lahir di tahun 1912 dan wafat tahun 1998.  Beliau juga anggota Pitamaha yang mendapat pengaruh dari Walter Spies dan Rudolf Bonnet.  Nah, sekarang jelas kenapa gaya lukisan Nadera itu mirip sekali dengan dua pelukis asing tersebut.

Pertanyaan lain lagi, bagaimana sang kurator mendapatkan data dan cerita-cerita dibalik lukisan itu?  Ternyata selain berjibaku menemui orang-orang yang dianggap mengetahui latar belakang suatu lukisan, ada katalog lukisan dan benda seni lainnya yang sudah dibuat dari jaman Soekarno oleh Dullah yang waktu itu menjabat sebagai pelukis istana, kerja Dullah diteruskan oleh Lee Man Fong dan Lim Wa Sim.  Katalog-katalog yang tebalnya melebih bantal itu turut dipamerkan.  Katalog-katalog tersebut dicetak oleh Pustaka Rakjat Tiongkok dan Pustaka Rakyat Peking Tiongkok, tahunnya yang terbaca oleh saya adalah tahun 1956 dan 1964.



Lee Man Fong yang menggantikan Dullah sebagai pelukis istana akhirnyan mengungsi ke Singapura pasca 1965, bahkan lebih dikenal sebagai pelukis Singapura.  Sedangkan sahabatnya Lim Wa Sim banting stir menjadi pengusaha roti.



Karya pelukis Sudjojono juga ditampilkan menggambarkan 22 kawan dan prajurit yang berjudul Kawan-Kawan Revolusi, titik sentralnya adalah seorang prajurit bernama Dullah yang kabarnya gugur setelah nekat menabrakkan diri dengan membawa bom ke tank Belanda saat peristiwa Bandung lautan api.   Lukisan ini ditemukan dalam keadaan rusak, ada bekas tusukan di tengahnya.  Entah siapa yang merestorasi namun diperkirakan pelukis Dullah yang melakukan perbaikan tersebut.  Ada lagi lukisan Di depan kelambu terbuka, menampilkan seorang perempuan sedang duduk agak mencangkung di depan kelambu.  Kabarnya perempuan ini mencitrakan Adhesi, seorang wanita tuna susila yang pernah hidup bersama Sudjojono selama beberapa waktu namun akhirnya kembali ke dunia pelacuran karena alasan ekonomi.


Menurut bagan informasi, ada sekitar 16.000 buah benda koleksi istana, namun yang baru ditampilkan di pameran ini sebanyak 28 buah, jadi masih ada banyak koleksi untuk pameran tahun depan yang akan ditampilkan kalau ini terus berlanjut.

Mudah-mudahan tahun depan koleksi yang akan tampil akan lebih semarak lagi.  Dengan melihat koleksi lukisan dan memahami cerita di baliknya, kita akan sadar bahwa seni itu memang harus menempati tempat terhormat dalam negara



Tidak ada komentar: