17 Juni 2014

Soetartinah : Bangsawan Hati dan Perbuatan

Wajah anak perempuan pribumi itu memerah menahan geram.  Bibirnya bergerak-gerak sementara tangannya terkepal.  Sementara di depannya seorang bocah Belanda totok, Karel namanya terus mengejek. Yang membikin Tinah murka, bocah Belanda pirang itu mengejek ayahnya.

Dan..Plaaak, kepala Karel pun tersentak ke belakang.  Tangan Tinah tanpa ampun menghantam bibir bocah itu hingga berdarah. Beberapa anak Belanda yang sedang menonton keributan itu pun terdiam, melongo.  Tak percaya jika gadis kecil itu berani menampar Karel.  Mana ada ceritanya anak pribumi berani melawan Sinyo.  Anak perempuan lagi.

Tinah memandang Karel dengan tajam, sementara dari sudut matanya ia melihat guru-guru berdatangan melerai.
dari Troppen Museum

Sore itu Tinah menghadap sang ayah. Surat dari direktur ELS tentang kejadian tadi pagi pasti telah sampai ke tangan ayahnya.  Debaran jantungnya sontak mereda begitu melihat wajah ayahnya yang serius namun tidak nampak tanda amarah di situ.

Tinah melangkah ringan keluar dari kamar.  "Keturunan Brandal Diponegoro".  Terngiang-ngiang di kepalanya saat sang ayah mengucapkan kalimat itu dengan sorot mata berbinar penuh kebanggaan.

Lamunan Tinah terputus begitu melihat dua orang kakak sepupunya bergegas menghampiri. Soewardi dan Iskandar.  Tinah segera menceritakan kejadian di sekolah kepada mereka.  Wajah keduanya seketika merah padam, Wardi dan Iskandar memang cepat sekali naik darah.

Tinah tak heran saat keesokan harinya Wardi, Iskandar beserta anak-anak kampung Jagalan mencegat Karel dan para sinyo Belanda saat sedang mengejar kereta kuda yang ditumpangi Tinah dan Lastri adiknya. Baku hantam pun terjadi, para jagoan cilik itu tak hirau dengan ancaman para Sinyo untuk melaporkan perbuatan mereka pada polisi kolonial.

Sejak insiden itu Tinah mulai menaruh perhatian pada Wardi, kakak sepupunya, putra Pangeran Soeryaningrat dari keraton Paku Alaman.  Wardi dan Iskandar memang berbeda dibanding para bangsawan lainnya.

Wardi bahkan membuat ketentuan bahwa semua pelayan di rumahnya harus melek huruf sehingga tiap hari Wardi dan Iskandar mengajar baca tulis terhadap para pelayan dan bocah-bocah yang tinggal di di sekitar ndalem Suryaningratan.  Tinah pun ikut membantu kegiatan itu. 

Di sisi lain, ada yang bergetar dalam hati Wardi setiap memandang adik sepupunya yang beranjak remaja itu.  Wardi tahu betul Tinah memang dijodohkan dengan dirinya.  Tapi nampaknya ada skenario indah dari Yang Maha Kuasa yang sedang dipersiapkan bagi Wardi dan Tinah.

Tahun 1913, 10 tahun kemudian dalam gedung penjara di Bandung, Dua anak muda sedang bergenggaman tangan penuh kerinduan di bawah pelototan sangar sipir penjara.

Wardi dan Tinah saling bertukar kabar melalui saputangan.   Pekerjaan memisahkan mereka, dan penjara yang mempertemukan.

Wardi tumbuh menjadi anak muda yang kukuh dan jurnalis yang tangguh sementara Tinah telah menjadi Guru.  Tinah menyadari bakat Wardi dalam bidang jurnalistik dan mendukungnya walau Wardi harus meninggalkan STOVIA karena terlalu sibuk dengan kegiatan politik

"Als Ik Eens Nederlander Was" adalah pangkalnya dan seakan masih belum puas berurusan dengan pers delict, muncul "Een Voor Allen, Allen Voor Een".  Tanpa ampun Wardi dijebloskan ke penjara, menjelang perayaan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda.

Tinah dengan teliti mengikuti point-point yang ditulis oleh tunangannya di atas saputangan tersebut.  Karena koran De Express dan koran-koran yang mendukung Indische Partij, partai tempat Wardi dan rekannya berorganisasi juga sudah tamat riwayatnya, dibungkam pemerintah maka Tinahlah yang menggantikan koran-koran tersebut, memberikan informasi kepada kaum pergerakan tentang peristiwa seputar perayaan kemerdekaan itu.

Akhirnya vonis pun jatuh.  Awalnya Wardi dan kedua rekannya akan dibuang ke tiga daerah yang berbeda.  Namun dengan cerdik mereka meminta agar dieksilkan ke Nederland.  Dalam persiapan ke tanah buangan itulah Tinah menikah dengan Wardi, persis seperti keinginan orang tua mereka.

Raden Ajeng Soetartinah akan menyertai suaminya Raden Mas Soewardi Soeryaningrat ke pembuangan, Nederland.  Dengan pernikahan ini, beban berat yang menyertai ibunda Suwardi, Raden Ayu Soeryaningrat serta merta terangkat.

Adalah Nyi Ageng Serang, senopati perang di jaman pangeran Diponegoro yang pernah berpesan agar ada anak keturunannya yang dapat menyatukan diri dengan keturunan Diponegoro dalam ikatan perkawinan agar perjuangan Diponegoro dapat berlanjut.  Pesan itu terpenuhi puluhan tahun kemudian saat Soewardi menikahi Sutartinah, keturunan Diponegoro.

Di musim dingin yang membekukan di negeri asing, Tinah bahu membahu bersama suami dan dua rekannya menyambung hidup.  Tinah menjadi guru taman kanak-kanak sementara suami dan rekannya menjadi jurnalis. 

Kehadiran Tinah menyertai Tiga serangkai Soewardi, Tjipto dan Ernest Douwes Dekker bukan sekedar mendampingi tapi juga ikut turun tangan membantu menyebarkan virus nasionalisme di kalangan pelajar Indonesia yang sedang berada di Nederland.

Adalah Indonesisch Persbureau (IPB) yang disiapkan oleh Soewardi di Den Haag bersama istrinya Sutartinah di tahun awal pembuangan mereka, 1913.

IPB dimaksudkan untuk mewartakan aktivitas kaum pergerakan di Indonesia sehingga para pelajar dan perantau di luar negeri dapat mengetahui kabar dari Indonesia dan juga melakukan semacam "cultureele propaganda" untuk menghapus stigma dari rakyat Nederland tentang rakyat Hindia Belanda yang dinilai belum beradab.

Selain menjadi orang buangan, tuduhan sebagai mata-mata Jepang pernah menimpa tiga serangkai saat berada di Berlin.   Di stasiun KA Berlin dengan di antar Ernest yang waktu itu mengambil studi di Berlin Wardi dan Cipto bercakap dalam bahasa Jawa.  Sialnya mereka diawasi oleh agen rahasia Jerman yang khusus mengawasi pendatang dari Hindia Belanda.  Bahasa Jawa dikira bahasa Jepang dan saat itu memang hubungan Jerman dan Jepang sedang mendaki puncak ketegangan.

Akibatnya Wardi, Tjipto dan Ernest digelandang ke penjara Jerman dengan tuduhan mata-mata.  Tinah yang sedang hamil di Nederland dan mendengar kabar dari seorang mahasiswa bergegas menemui pejabat kementerian luar negeri Belanda.  Berkat keuletan Tinah, Den Haag segera menyurati pejabat Jerman di Berlin secara resmi untuk menyampaikan protes.  Tinah pun berangkat ke Berlin berbekalkan dokumen pendukung yang lengkap untuk mengurus pembebasan suami dan kedua rekannya.

Ernest mengakui bahwa Tinah adalah juga motor penggerak bagi Soewardi khususnya dan tiga serangkai umumnya selama mereka berada di tanah buangan.

Setelah menyelesaikan masa pembuangan, Wardi dan Tinah kembali ke tanah air dan melanjutkan perjuangan.  Wardi tetap menjadi jurnalis, tak pernah jera menjadi bagian dari kaum pergerakan.  Saat Wardi lagi-lagi ditangkap karena tulisannya kali ini bahkan ia dikirim ke penjara Pekalongan bercampur dengan para kriminal, Tinah pun bertindak menemui anggota Volks Raad untuk memprotes sehingga Gubernur Jenderal saat itu terpaksa memberikan amnesti.

Tinah yang mempunyai ketajaman pengamatan mengetahui sifat suaminya yang brangasan sehingga mudah jatuh pada jebakan pers delict pemerintah kolonial sehingga ia menyarankan untuk mulai mempersiapkan perjuangan melalui bidang lain.  Suwardi dan para kaum pergerakan tidak akan selamanya muda, saat mereka beranjak tua mereka perlu menumbuhkan tunas muda yang tangguh.

Ernest dan Tjipto pun mendukung gagasan itu.  Ernest bahkan segera mendirikan Ksatrian Institut di Bandung sementara Soewardi setelah bergabung dengan Adhi Dharma kelompok perguruan yang didirikan oleh kakaknya Iskandar yang menjadi tokoh buruh terkemuka saat itu.  Setelah melalui proses diskusi.  Tanggal 3 Juli 1922 berdirilah Perguruan Nasional Taman Siswa dengan taman kanak-kanak sebagai awalnya dimana Tinah sebagai pendidik juga bertanggung jawab atas mutu perguruan tersebut selain Soewardi tentunya.  Tahun 1928 Soewardi dan Soetartinah mengganti nama mereka menjadi Ki dan Nyi Hadjar Dewantara.

Taman Siswa segera menjadi perguruan terkemuka.  Bahkan saat pemerintah kolonial menyegel perguruan tersebut Ki dan Nyi Hadjar beserta segenap guru Taman Siswa tetap melakukan perlawanan dengan tetap mengajar para murid di rumah mereka.

Saat Ki Hadjar harus mendampingi Soekarno dalam gerakan PUTERA di Jakarta, Nyi Hadjar tetap tinggal di Yogyakarta memimpin Majelis Luhur Taman Siswa dan berusaha menyelamatkan Taman Siswa dari ancaman kekerasan pemerintah Jepang yang berusaha memasukkkan bahan-bahan propaganda.

Segenap pengajar di Taman Siswa bahkan berani menolak penggundulan rambut siswa seperti yang diharuskan oleh Jepang. 

Beban Nyi Hadjar semakin berat saat Ki Hadjar wafat di tahun 1959 dan partai-partai politik berusaha menarik perguruan Taman Siswa ke dalam area politik praktis.  Nyi Hadjar harus mengeluarkan segenap usaha agar perguruan yang dibangun oleh keringat mereka berdua tetap selamat dan tidak terpecah belah oleh ambisi politik

Nyi Hadjar dengan tegas menolak pimpinan partai yang berusaha mendekati demi kepentingan tertentu.  Sampai akhir hayatnya Nyi Hadjar tetap memegang teguh kemurnian ajaran awal Taman Siswa.  Tahun 1981 Nyi Hajar menutup mata menyusul suaminya ke alam langgeng.

Chrislebeau, seorang pelukis kesayangan Ratu Wilhelmina pernah melukiskan Nyi Hadjar sebagai seorang bangsawan dalam hati dan perbuatan, wanita yang mampu mendampingi Soewardi, seorang pejuang politik yang berhati dan berkemauan keras.  "Dia adalah luar biasa"



1 komentar:

Unknown mengatakan...

Oh ernest itu dowes deker, baru tau kalo nama nya ada ernest nya hehe