08 Juni 2014

Sawahlunto: Laku Tandang Kuli Tambang


Sumatera Barat bukan hanya terkenal dengan para cerdik pandai yang hasil pemikirannya melesat melampaui generasi setelahnya tapi sebagian besar dari infrastrukturnya pun dibangun dari cucuran keringat para kuli tak bernama.

Tak  berbeda dengan daerah terpencil di hulu sungai Ombilin, Sawahlunto ternyata menyimpan kekayaan tambang tiada tara.  Jutaan ton batu bara sudah menunggu untuk diekplorasi dan itu butuh tenaga manusia yang tidak sedikit untuk dipekerjakan.

Para pejabat di Batavia tak kekurangan akal, didatangkanlah orang-orang dari Jawa, mereka adalah para narapidana, tahanan yang kehilangan hak-haknya sehingga mudah saja bagi pemerintah kolonial menjebloskan mereka ke dalam tambang, tak peduli latar belakang mereka sebagai petani yang belum pernah berurusan dengan dunia bawah tanah yang gelap. Ke depannya tidak hanya tahanan dari Jawa yang dilempar ke tambang, tahanan dari wilayah lain seperti Sulawesi pun diikutsertakan.

Sisi lain dari Goedang Ransoem


Dari pelabuhan Tanjung Priuk, para tahanan diangkut dengan kapal laut menuju pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) yang sengaja dibangun Belanda khusus untuk keperluan pengiriman batu bara dari Sumatera ke Jawa.  Saat itu perjalanan laut menuju Westkust van Sumatra (pantai barat Sumatera) sejauh itu memakan waktu 4-5 hari.  

Dari pelabuhan Emmahaven  para tahanan diangkut menuju Muara Kalaban.  Di Muara Kalaban sudah tersedia tangsi untuk menampung mereka.  Namun sudah tentu mereka dipekerjakan dulu untuk menyambung rel kereta api. Dari Muara Kalaban mereka dilempar lagi ke Sawahlunto sebagai tujuan akhir.

Ada alasan lain dibalik penggunaan narapidana luar Sumatera dan bukan tahanan dari dari penjara Muaro Padang.  Tentu saja para napi dari Muaro Padang selalu mendapat akal untuk meloloskan diri saat dikirim ke Sawahlunto karena mereka mengenal tanah mereka dengan baik.

Sawahlunto  berubah menjadi kota yang ditinggali oleh komunitas orang Belanda, nomer dua terbanyak setelah Padang dan komunitas buruh tambang serta kuli kontrak.

Mereka dikenakan rantai di pergelangan kaki untuk mencegah dari niat melarikan diri.  Para penduduk asli Ombilin mengenang saat sore hari terdengar suara berdencing-dencing akibat rantai yang bergesekan dengan batu menandakan para tahanan sedang berjalan melewati kampung.

Lubang tambang

Akhirnya para tahanan itu dikenal sebagai orang rantai.  Mereka bekerja di tambang memecah arang, mengangkut balok untuk menyangga lubang tambang.  Sebagai kuli paksa mereka bekerja dalam 3 shift dan target satu orang adalah menyetor satu ton lebih batu bara.  Kalau dihitung, tambang itu terus menerus beroperasi selama 24 jam.

Selain kuli atau buruh paksa yang terdiri dari para narapidana terdapat juga kuli kontrak yang terdiri dari orang-orang bebas yang memang bekerja di tambang untuk mencari nafkah.  Tentu saja prosentasenya lebih banyak buruh paksa yang memang dibayar lebih murah.

Kehidupan yang berat, menghabiskan sisa umur dalam tambang tanpa kepastian, membuat para kuli frustrasi.  Di atas kertas, upah mereka adalah 7 sen per hari namun nampaknya korupsi bukan monopoli pribumi karena angka 7 sen menciut menjadi 5 sen saat tiba di tangan para kuli.  Keadaan itu terus berlanjut walaupun upah dinaikkan.

Siapapun yang mengalami nasib layaknya para kuli tersebut pastilah merasakan amarah dan dendam.  Tak mampu melampiaskan pada para mandor, mereka menghantam teman sendiri dari lain suku.  Kekerasan atas nama suku pun kerap terjadi dan tak jarang nyawa melayang.

Seringnya perkelahian masal terjadi tentu membuat pusing kontrolir Ombilin.  Ia bukannya tak tahu bahwa cara yang ampuh mengurangi perkelahian adalah dengan memberikan para kuli itu hiburan.

Akhirnya didatangkan gamelan, para nayaga dan penari untuk menghibur para kuli.  Sedikit banyak para petinggi Ombilin paham bahwa jika ingin kegiatan penambangan tidak terganggu maka kuli-kuli tersebut harus disenangkan walau pengawasan tidak boleh kendor.

Sisi lain dari Goedang Ransoem

Dan memang sejak kedatangan para ronggeng tersebut perkelahian berlandaskan sara mulai berkurang, namun para kuli kini terjangkit penyakit baru, berfoya-foya dengan para ronggeng cantik dan juga judi.  Upah mereka habis untuk menggaet para ronggeng dalam semalam.

Situasi semakin runyam saat penyimpangan lain terjadi: homoseksual.  Kuli-kuli itu tentulah lelaki normal saat diangkut paksa dari tanah kelahiran mereka, namun keadaan yang membuat mereka menjadi tidak normal.   Kuli-kuli yang baru masuk dan kebetulan berparas cakap menjadi incaran para seniornya.  Akhirnya ada istilah Anak Jawi bagi kuli yang  menjadi simpanan kuli senior.  Lagi-lagi perkelahian antar kuli terjadi, kali ini pemicunya adalah perebutan Anak Jawi

Kehidupan dalam tambang dengan gaji yang pas-pasan dan lingkungan yang tidak sehat memicu ketidakpuasan di antara para buruh.  Adanya interaksi dengan pihak luar membuat mereka mulai menimbang keadaan mereka. 

Sementara di Sumatera, Datuk Batuah, seorang guru di sekolah ternama saat itu Sumatera Thawalib muncul dengan paham "kuminih" sebutan lokal untuk komunis.  Selain Padang Panjang, Silungkang menjadi pusat pergerakan kaum komunis dan otomatis bersentuhan dengan kaum buruh di Ombilin.  Program-program komunis yang menitikberatkan pada perbaikan hidup kaum tani dan buruh memang berhasil menggiring para buruh tambang menjadi simpatisan sampai anggota.

Sarekat Rakyat di Silungkang menerbitkan koran "Suara Tambang" yang menyuarakan nasib para buruh tambang sehingga menarik perhatian para buruh untuk bergabung.  Sampai akhirnya muncul pemberontakan rakyat Silungkang di tahun 1927.





Tidak ada komentar: