05 Juni 2014

Sawahlunto: Mengenang Kota Tambang

"Ini Silungkang".

Demikian Pak Indra, driver kami selama di Sumatera Barat membangunkan saya yang sedang terkantuk-kantuk menikmati perjalanan panjang dari bandara ke Sawahlunto.

Silungkang, dengan mata setengah terpicing saya memperhatikan tepian jalan raya.  Inikah Silungkang yang dahulu pernah sohor dengan pemberontakan Silungkang tahun 1927? sekarang adalah daerah sepi di ruas jalur lintas Sumatera.

Ketika saya menyebut tentang pemberontakan Silungkang dan Sumatera Tawalib, raut muka pak Indra datar-datar saja demikian juga ketika kata Tambo terucap dari mulut saya.  Dengan tampang bingung ia bertanya "Tambo? apa itu".


Stasiun kereta yang sekarang jadi museum
Sambil meringis masam saya melempar pandangan ke luar mobil. Ternyata memang harus mencari para pinisepuh kalau ingin menanyakan peristiwa silam Minangkabau karena semakin hari semakin sedikit orang yang tertarik melongok lubang hitam sejarah.

Sementara mobil terus melaju menuruni jalan menuju Sawahlunto yang tak jauh lagi.
Sawahlunto, di kabupaten Tanah Datar, kota kecil di tengah cekungan, tepat setelah Silungkang, dikelilingi perbukitan kapur yang masih dalam satu rangkaian bukit Barisan dan hutan hijau dan terasa senyap siang ini.  Tapi pasti lebih terasa mencekam jika dikilas balik ke masa lebih dari 200 tahun silam sebelum kekayaan bumi Sawahlunto terungkap keluar.


Selama masa itu dibandingkan dengan Muaro Sijunjung apalah arti Sawahlunto yang terpencil dan diselimuti hutan belantara serta tidak menggairahkan secara ekonomi maupun politik.

Namun serapat-rapatnya alam menyembunyikan rahasia ini, takdir berkata lain.  Adalah geolog sekaligus penjelajah muda WH De Greeve yang memastikan adanya kandungan batu bara di hulu sungai Ombilin, Sawahlunto dalam rentang tahun 1867-1868.  Tidak tanggung-tanggung diperkirakan ada sekitar 200 juta ton batu bara yang tersimpan dalam wilayah terpencil yang selama ini tak pernah diperhitungkan.



GOEDANG RANSOEM
Hebohlah parlemen Nederland saat berita itu sampai ke telinga mereka. Siapa yang tak butuh batubara.  Belanda butuh support bahan bakar yang luar biasa banyak untuk mengawasi tanah jajahannya, Hindia Belanda yang amat luas dan selama ini batubara diimpor dari Afrika dengan biaya mahal.  Kas kerajaaan yang cekak akibat kecamuk perang di Jawa dan Sumatera, apalagi Aceh pun mulai bergolak membuat negeri bawah laut itu nyaris tenggelam karena bangkrut.

Betapa beruntungnya Belanda, betapa kayanya Hindia, setelah kekayaan rempah-rempahnya, muncul hasil bumi lain berupa tambang yang menanti untuk digarap.


Ketel-ketel untuk memasak

Kamar dagang Belanda pun riuh, investor bermunculan.  Rapat parlemen di Den Haag berkali-kali mengadakan tender.  Investor boleh ada namun perusahaan harus tetap dikuasai oleh pemerintah.  Rupanya negara Eropa pun tidak mengijinkan privatisasi untuk sektor sumber daya alam.

Akhirnya setelah melalui debat yang panjang terbentuklah perusahaan negara untuk mengeksplorasi tambang di Sawahlunto efektif pada tahun 1892 yang dikenal dengan De Ombilin Steenkolenmijnen.


Generator

Dalam kurun  1868 sampai dengan 1892 saat perusahaan negara terbentuk, pemerintah kolonial sudah menyiapkan infrastruktur berupa jalan kereta api yang pembangunannya dimulai tahun 1887 dari Lembah Anai hingga Muaro Kalaban.  Seorang insinyur, JW Ijzerman memimpin pembangunan itu.  Kini, kalau kita melalui Lembah Anai tidak berapa lama akan terlihat bentangan jembatan rel baja yang cukup spektakuler melintasi jalan raya, salah satu warisan dari Ijzerman.

Rel-rel kereta api dimaksudkan untuk memuluskan angkutan batu bara dari Sawahlunto sampai pelabuhan Emma haven (Teluk Bayur) yang selesai dibangun tahun 1891.  Stasiun kereta Sawahlunto mendapat giliran untuk dibangun pada tahun 1918


Jembatan Kembar

Bayangan keuntungan di depan mata membuat pemerintah kolonial tak ragu menggelontorkan dana sekitar 5.5 juta gulden untuk membangun fasilitas di Sawahlunto seperti tempat tinggal para pekerja, pabrik, dapur umum sampai gedung pertemuan.

Lihat saja Goedang Ransoem, bekas dapur yang sekarang berubah menjadi museum. Dibangun tahun 1918 untuk memenuhi kebutuhan perut ribuan para pekerja tambang setelah sebelumnya konsumsi diurus oleh pihak ketiga dan menghasilkan sejumlah ketidakbereresan.  Dengan ketel dan periuk berukuran raksasa untuk memproses makanan, dapur ini sanggup mengolah setidaknya 65 pikul padi belum lagi lauk pauknya. 1 pikul padi pada masa itu adalah 60 kg.


Kantor PT Bukit Asam

Tak pelak, daerah hutan lebat berubah jadi kota tambang yang semarak dengan kesibukan industri batu bara. Para pedagang mulai singgah dan menetap, kegiatan ekonomi berputar kencang di Sawahlunto.


Dulunya ini bernama GLUCK AUF, tempat para sosialite berkumpul

Situs tambang yang dikenal dengan lubang tambang mbah Soero juga menyajikan sekelumit gambaran kehidupan para kuli tambang di lorong-lorongnya. Memang baru sepanjang 160-an meter yang dapat dibuka untuk umum.


TAMBANG MBAH SOERO

Persoalan infrastruktur selesai, bagaimana dengan para pekerja kasar yang mutlak dibutuhkan? butuh ribuan kuli untuk menggali dalam tambang dan penduduk Sumatera yang masih sedikit tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan itu.

Tentu saja Gubernur Jenderal di Batavia punya ide untuk mendapatkan tenaga kuli yang memadai dengan upah murah dengan menggunakan tahanan dari Jawa.

BERSAMBUNG ke tulisan berikutnya


Tidak ada komentar: