05 September 2013

Mampir di STOVIA

Selalu ada anugerah di belakang musibah.  Amukan cacar menggila, menyerang seluruh Jawa boleh dibilang turut mendorong terjadinya perubahan kebijakan pemerintah Kolonial yang sangat signifikan, karena mengubah drastis peta politik tanah Jawa


Pada awal abad 19 Jawa diserah wabah cacar.  Cacarnya tentu bukan cacar air yang kita ketahui sekarang, kalau kata Ibu dulu namanya Cacar api. Penderitanya setelah sembuh mukanya jadi bopeng, bolong-bolong

Orang yang terkena Cacar jaman Hindia Belanda bisa dipastikan hidupnya tak kan lama.  Pagi kena, sore meninggal.

Wabah yang menggila itu tentu merisaukan pemerintah kolonial karena mereka kekurangan tenaga medis. Ditambah dengan sebaran penduduk yang tidak rata sehingga menyulitkan.

Kepepet dihantam penyakit yang tak kunjung reda membuat pemerintah berniat mendirikan semacam kursus untuk mendidik para pemuda Jawa menjadi mantri cacar sehingga dapat menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam pemberian vaksin.


Tahun 1851 resmi dibuka kursus mantri cacar dengan lama pendidikan 2 tahun dengan pengantar bahasa Melayu.  Kursus itu kemudian terakreditasi menjadi sekolah Dokter Djawa dengan lama pendidikan 5 tahun atas usulan Christiaan Eijkman yang menjadi Direktur sekolah itu.

Kelak kursus mantri cacar bertransformasi menjadi STOVIA.  Sebuah nama legendaris tempat dimana suatu pergerakan nasional dimulai. 



2013,....   dihari yang mendung bin gerah dan setelah melintasi jalan Senen raya yang padat dan berdebu dengan bajaj, saya menghampiri Satpam yang berjaga yang kemudian dengan ramah mengantar saya menuju loket pembayaran.  

Yang disebut loket lebih mirip ruangan tata usaha di SMA saya dulu.  Tapi bukankah saya memang berada di sekolah?


Ya, saya berada di STOVIA yang sekarang bernama Museum Kebangkitan Nasional.  Sebuah gedung megah bercat putih dengan aksen kelabu di sisinya.  Letaknya agak menyempil di jalan Abdurahman Saleh 6 di belakang RSPAD Gatot Subroto.  

Jika naik Trans Jakarta, turun saja di halte depan Atrium Senen, lalu menyeberang ke jalan Kwini, jalan kaki sebentar dan sampai di tujuan.

Dahulu gedung ini merupakan bagian dari rumah sakit militer Weltevreden  yang sekarang jadi RSPAD itulah.

Harga karcis masuk Museum ini bahkan sama persis dengan harga numpang pipis di toilet umum, 2 ribu rupiah ditambah buku petunjuk yang dicetak cukup bagus.

Hanya ada saya di museum itu.  Pemandu yang saya minta sedang sibuk kata bapak penjaga loket.

Pelan-pelan saya berjalan menerabas keheningan museum, menapaki ubin teraso tua bersegi enam warna kelabu yang masih nampak bersih dan mengkilat.  Di lorong terdapat patung-patung dada para dedengkot mahasiswa Kedokteran.  Ya, mereka mahasiswa sekaligus politisi sekaligus juga wartawan.

Saya menengok ruang demi ruang yang dulunya adalah kelas-kelas para mahasiswa Kedokteran.

sebelum ada operasi caesar, keris Kiai Brojol adalah solusi
Di STOVIA inilah kita mengenal legenda Cipto Mangunkoesoemo, Soetomo dan Gunawan.  Gedung yang menjadi saksi bagaimana para pemuda belia yang berotak encer ini begitu melek politik dan berdebat seru seusai memeras otak mempelajari anatomi, mengiris, memotong serta mendengarkan teori-teori kedokteran yang njelimet.

Beda banget ya dengan mahasiswa generasi sekarang yang kebanyakan alay, yang lahir awalnya cowok begitu besar jadi cowok KW. Kalaupun jadi aktivis biasanya cuma demen demo gak jelas....*wooo..curhat

Untuk sterilisasi alat bedah
Dari lorong pintu masuk berbelok ke sebelah kanan sebenarnya ada banyak ruangan namun banyak yang terkunci. Saya masuk ke ruang pertama yang ternyata adalah ruangan yang berisi gambar-gambar besar tentang keadaaan sebelum adanya pergerakan nasional. Muka-muka rakyat jaman dulu beneran ndeso banget ya.

Lalu ada ruang awal kesadaran nasional.   Para Den Bagus yang keren dengan jas, kain jarik dan ikat kepala dan menyandang status bergengsi sebagai mahasiswa STOVIA ternyata sering kongkow di perpustakaan milik Douwes Dekker bahkan sambil nyambi mengurus koran Bataviaasch Niewsblad, sebuah koran yang pro pribumi.

Jaman dulu hanya anak bangsawan yang bisa masuk STOVIA, harus lebih dahulu menguasai bahasa Belanda dan harus melalui ujian masuk yang berat.  

Namun STOVIA sempat kalah pamor dengan sekolah ambtenar karena dianggap jadi Dokter adalah pekerjaan melayani dan bagi seorang bangsawan tinggi adalah pantang melayani apalagi melayani rakyat jelata.  Tapi seiring perjalanan jaman, lulusan STOVIA menjadi impian para orang tua.  Apalagi bagi orang kampung, Ndoro Dokter dipandang sebagai manusia setengah dewa.

Alat Rontgen
Ruangan selanjutnya berisi alat-alat kesehatan jaman dulu yang serba tradisional bahkan cenderung klenik.

Bayangkan, untuk perempuan yang mengalami kesulitan dan persalinan, bukan operasi caesar yang dilakukan namun cukup dengan keris bernama Kiai Brojol.  Entah bagaimana cara memakai keris Kiai Brojol itu, apakah ditempelkan ke perut ibu hamil atau dipakai untuk membelah perut si ibu.

Ruangan berikutnya tentang suasana pemeriksaan di kampung, ada gambar seorang ibu menaruh anaknya di atas meja, mungkin ini yang sekarang disebut posyandu ya....demikian pula suasana vaksinasi yang diberikan oleh para dokter Jawa.

Berikutnya, ruangan tidur para siswa. Tiap siswa diberi 1 dipan single plus 1 lemari kayu jati..sudah gitu doang.  Yang keren adalah ruangan perkuliahannya.  Terdiri dari undakan-undakan jadi yang di belakang bisa melihat peragaan pembedahan di muka kelas..

Sayang sisi belakangnya sedang dalam renovasi.  Sementara di sisi kiri ruangan ada ruang-ruang peraga yang terdiri dari senjata dan beberapa manequin pahlawan.  Kartini sepertinya menempati posisi istimewa, karena dibuatkan peraganya.

Ini loh tempat tidur di asrama mahasiswa
Ada ruangan dimana tergantung wacana tentang Christiaan Eijkman, penerima Nobel yang juga direktur STOVIA dan juga H.F. Roll direktur pertama STOVIA  yang membela Soetomo mati-matian di depan dewan sekolah.

 Sekitar tahun 1920 seluruh kegiatan belajar mengajar pindah seluruhnya ke Salemba dan menjadi cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.  Jadi gedung ini hanya digunakan sebagai asrama.

Ruangan-ruangan kelas itu mengelilingi taman yang terawat baik.  Ada pohon beringin tua di tengahnya.  Sepertinya pohon itu tempat para siswa duduk sekedar beristirahat sambil berbincang atau membaca buku.


Ruang kelas
Beberapa pekerja terlihat sedang menyelesaikan perbaikan ruangan, namun tetap tidak dapat menghalau suasana senyap dalam museum ini.

Dengan harga karcis yang amat murah dan pengunjung yang teramat sedikit, mungkin saya adalah pengunjung pada hari ini, adalah suatu keberuntungan museum ini menerima subsidi sehingga dapat hidup dan semoga dapat terus hidup demi pembelajaran anak cucu.

Melirik jam, wah harus segera balik kantor, bergegas keluar dan berjalan kaki menuju jalan Senen Raya untuk menyetop bajaj berwarna biru.  Dengan kening dan punggung berleleran keringat saya pun naik bajaj menikmati angin sepoi-sepoi kembali ke kantor....Rasanya muka kayak dibedakin debu..belum lagi aroma saya sudah mirip metromini, bau solar..he..he..he.  Tapi yang penting hati puas.



Tidak ada komentar: