Baru jam 10 pagi tapi matahari sudah sedemikian garang, sambil mengisi perut di
KFC di jalan Gajah Mada Jakarta Pusat, saya memandang museum Gedung Arsip yang berada di seberang.
Sehari sebelumnya saya memang sudah rencana untuk bolos ngantor cuma belum tahu mau mampir di mana.
Baca di websitenya KAI tentang heritage railway, pas ditelepon ternyata program susur stasiun Kota-Tanjung Priok dengan kereta sudah lenyap. Sementara nggak ada kereta penumpang reguler antara Kota-Tanjung Priok, cuma ada kereta barang. Jadi bubarlah rencana ke stasiun Tanjung Priok.
Seperti biasa kalau kepepet, otak saya bisa berpikir ngebut. Plan B segera disusun.
Pagi-pagi layaknya orang berangkat ngantor, saya tetap menuju stasiun untuk naik kereta. Hanya saja gak berhenti di Gondangdia tapi terus sampai Kota. Sekalian ingin tahu semenjak manajemen PT KAI berubah dan menerapkan aturan ketat jadi bagaimana muka stasiun Jakarta Kota.
Hari ini hari Kamis, hari kerja dan masih jam berangkat kantor, namun tidak ada lagi suasana semrawut seperti dulu di stasiun Kota. Kursi-kursi di ruang tunggu dekat peron terisi hanya oleh penumpang yang sedang menunggu kereta. Sementara pintu keluar/masuk elektronik telah dijaga oleh para petugas mencegah penumpang yang bandel.
Suasana ramai namun tidak riweuh, jadi saya merasa cukup aman santai berjalan menyelusuri selasar menuju pintu keluar. Tidak ada lagi preman-preman yang biasanya suka masuk di stasiun. Banyak informasi tentang KAI yang berupa standing banner ditaruh di sudut-sudut ruangan.
Cukup salut meliht ini semua. Perubahan memang butuh waktu dan rasanya PT KAI telah memulainya dan semoga tetap konsisten.
Dari stasiun saya menuju terminal Trans Jakarta. Dan...tiba-tiba merasa kebelet ingin pipis. Di jembatan bawah tanah yang menghubungkan stasiun dengan sisi seberangnya tersedia toilet umum terlihat dari petunjuk arahnya.
Ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengarah ke toilet umum, celingak-celinguk sebentar saat tiba di muka toilet. Hmmmm....lumayan sih..toilet jongkok,,.eh masih tetap kumuh sih, tapi saya sudah pernah lihat yang lebih serem kok..., gerendel pintu diganti dengan batang paku :), bahkan saya sempat keringatan menggeser batang paku itu setelah menuntaskan hajat.
Selesai urusan buang hajat, segera lanjut ke halte dan naik bis. Saya turun di halte Mangga besar. Bertanya sebentar kepada bapak yang kebetulan berpapasan dimana tepatnya Museum Gedung Arsip. Si bapak segera menunjukkan arah, katanya sih jauh, masa sih? kalau di google map hanya 200 meter dari halte Mangga Besar.
Saya pun berjalan santai, ternyata saat berniat mampir di KFC, Gedung Arsip ternyata berada di seberangnya...:) Jadi makan dulu sebelum nyeberang.
Di halaman depan gedung terdapat kolam dengan bunga teratai yang cantik. Saat itu ada warga yang sedang berolahraga santai.
Hanya ada satu penjaga di dalam gedung, masih ada beberapa orang yang merawat bangunan ini, namun tampaknya mereka berada di bagian lain yang tidak terlihat. Tidak dipungut biaya untuk masuk tapi berikan saja sekedar uang rokok untuk pak penjaga, bapak yang ramah ini dengan senang hati menemani melihat-lihat sambil sedikit bercerita.
Gedung ini awalnya adalah sebagai rumah peristirahatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Reyner De Klerk yang dibangun tahun 1760. Dahulu memang daerah seputaran Gajah Mada sini dianggap sebagai luar kota karena pusat kotanya ada sekitar museum Fatahillah ke arah Pasar Ikan.
Baru di tahun 1850, gedung ini diubah menjadi gedung kearsipan. Peresmian menjadi tempat penyimpanan arsip dituangkan dalam plakat logam yang tertempel di ruang depan.
Gedung ini tetap dipakai sebagai penyimpanan arsip sampai dengan 1992 saat semua arsip-arsip dipindahkan ke jalan Ampera Jakarta Selatan.
Dalam ruangan terdapat peti baja berukir yang ternyata adalah brankas, Melihat bentuknya yang kukuh dengan berat ratusan kilo, maling yang paling nekat pun juga mikir 1000 kali untuk mengangkutnya. Ada juga beberapa senjata kuno, contoh rempah-rempah dan alat selam kuno untuk menutup kepala.
Sayang tidak diijinkan memotret di dalam museum, dan saya memutuskan untuk patuh pada aturan :).
Pak Udin, nama penjaga gedung memindahkan patok yang dipasang untuk mencegah pengunjung naik ke lantai 2. Tapi untuk saya, pak Udin bersedia memindahkannya....:)
Tangga kayu jati masih tampak kokoh saat dipijak, demikian lantai atas yang terbuat dari bahan yang sama.
Di lantai atas terdapat furniture antik dalam kondisi bagus. Peta-peta kuno yang dibuat oleh para kartografer jaman itu. Bagus sekali peta-peta itu. Namun saya kuatir, udara Jakarta yang teramat panas dan lembab akan mempercepat kerusakan kertas-kertas peta tersebut karena tidak ada pendingin dalam ruangan.
Sebenarnya tidak begitu banyak peninggalan yang tersisa, karena kebanyakan sudah dipindahkan ke museum nasional.
Di halaman belakang yang luas, biasa dibuat untuk pesta pernikahan atau konser, tertutup rumput hijau yang amat rapi. di kiri kanannya terdapat banguna bertingkat yang dulunya digunakan sebagai barak tentara pada bagian atas. Sedangkan di bagian bawah menjadi tempat tahanan dititipkan sebelum jatuh vonis dan dipindah ke gedung tahanan yang lebih kejam di balaikota Fatahillah sana.
Berhadapan dengan gedung utama di bagian belakang, adalah bangunan baru. Kata pak Udin sih dibangun tahun 1950-an. Fungsinya ya untuk menaruh arsip-arsip.
Ada bangunan-bangunan kecil di sisi kiri dan kanan gedung yang katanya adalah paviliun. tapi yang satu dalam keadaan terkunci sedangkan satunya lagi terdapat meja dan kursi seperti ruang tunggu.
Kondisi keseluruhan gedung ini amat sangat terawat. Walaupun sepi pengunjung, saya adalah pengunjung satu-satunya saat itu. Satu lagi yang membuat saya terkagum-kagum, toiletnya yang super bersih dan kering. Sebenarnya saya hanya iseng-iseng menengok toiletnya. Ternyata yang saya lihat sangat bertolak belakang dengan yang biasa terjadi di tempat seperti ini.
Penasaran, saya mencoba memutar knop air, dengan mulus knop itu berputar dan air pun keluar. Begitu pun dengan bilik-biliknya, tissue toilet terpasang rapi di tiap bilik. Bukan main. Angkat semua jempol untuk pengelola.
Gedung ini walau berada di bawah lembaga kearsipan dan dijadikan museum tapi sama sekali tidak mendapat subsidi. Dari mana mereka mendapat dana untuk perawatan dan membayar tagihan listrik dan air?
Ternyata semua itu murni dari hasil menyewakan tempat untuk beragam acara. Untuk kawinan, paket termurah adalah Rp 75 juta untuk dekorasi dan katering buat 500 undangan yang berarti 1000 orang.
Sebulan bisa 4 kali tempat ini disewa.
Apakah karena tempat ini bisa disewakan sehingga mereka dicoret dari daftar subsidi? entahlah,..pemerintah kita memang suka aneh-aneh kan.
Gedung ini menurut pak Udin semula berada dalam pengelolaan sebuah yayasan yang dipimpin oleh salah satu anak Sutan Takdir Alisyahbana sebelum diserahkan pada pemerintah.
Saat ini pihak Museum mempunyai tenaga marketing sendiri. Kebetulan saat saya dan Pak Udin mengobrol, muncul seorang wanita keturunan Cina yang ternyata adalah orang marketing Museum. Beliau mengangguk ramah sebelum bergegas ke ruang belakang.
Selain itu ada satu keluarga yang tinggal di bagian belakang Museum yang bertugas mengurus Museum. Pak Udin sendiri mengaku sudah berdinas selama 30 tahun.
Selama beberapa saat saya duduk berbincang-bincang dengan pak Udin, sebelum akhirnya berpamitan, menerjang lagi panasnya Jakarta.
Sehari sebelumnya saya memang sudah rencana untuk bolos ngantor cuma belum tahu mau mampir di mana.
Baca di websitenya KAI tentang heritage railway, pas ditelepon ternyata program susur stasiun Kota-Tanjung Priok dengan kereta sudah lenyap. Sementara nggak ada kereta penumpang reguler antara Kota-Tanjung Priok, cuma ada kereta barang. Jadi bubarlah rencana ke stasiun Tanjung Priok.
Seperti biasa kalau kepepet, otak saya bisa berpikir ngebut. Plan B segera disusun.
Pagi-pagi layaknya orang berangkat ngantor, saya tetap menuju stasiun untuk naik kereta. Hanya saja gak berhenti di Gondangdia tapi terus sampai Kota. Sekalian ingin tahu semenjak manajemen PT KAI berubah dan menerapkan aturan ketat jadi bagaimana muka stasiun Jakarta Kota.
Hari ini hari Kamis, hari kerja dan masih jam berangkat kantor, namun tidak ada lagi suasana semrawut seperti dulu di stasiun Kota. Kursi-kursi di ruang tunggu dekat peron terisi hanya oleh penumpang yang sedang menunggu kereta. Sementara pintu keluar/masuk elektronik telah dijaga oleh para petugas mencegah penumpang yang bandel.
Suasana ramai namun tidak riweuh, jadi saya merasa cukup aman santai berjalan menyelusuri selasar menuju pintu keluar. Tidak ada lagi preman-preman yang biasanya suka masuk di stasiun. Banyak informasi tentang KAI yang berupa standing banner ditaruh di sudut-sudut ruangan.
Cukup salut meliht ini semua. Perubahan memang butuh waktu dan rasanya PT KAI telah memulainya dan semoga tetap konsisten.
Dari stasiun saya menuju terminal Trans Jakarta. Dan...tiba-tiba merasa kebelet ingin pipis. Di jembatan bawah tanah yang menghubungkan stasiun dengan sisi seberangnya tersedia toilet umum terlihat dari petunjuk arahnya.
Ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengarah ke toilet umum, celingak-celinguk sebentar saat tiba di muka toilet. Hmmmm....lumayan sih..toilet jongkok,,.eh masih tetap kumuh sih, tapi saya sudah pernah lihat yang lebih serem kok..., gerendel pintu diganti dengan batang paku :), bahkan saya sempat keringatan menggeser batang paku itu setelah menuntaskan hajat.
Nah ini nih toilet umum di terowongan kota, pake paku kuncinya |
Selesai urusan buang hajat, segera lanjut ke halte dan naik bis. Saya turun di halte Mangga besar. Bertanya sebentar kepada bapak yang kebetulan berpapasan dimana tepatnya Museum Gedung Arsip. Si bapak segera menunjukkan arah, katanya sih jauh, masa sih? kalau di google map hanya 200 meter dari halte Mangga Besar.
Saya pun berjalan santai, ternyata saat berniat mampir di KFC, Gedung Arsip ternyata berada di seberangnya...:) Jadi makan dulu sebelum nyeberang.
Di halaman depan gedung terdapat kolam dengan bunga teratai yang cantik. Saat itu ada warga yang sedang berolahraga santai.
Hanya ada satu penjaga di dalam gedung, masih ada beberapa orang yang merawat bangunan ini, namun tampaknya mereka berada di bagian lain yang tidak terlihat. Tidak dipungut biaya untuk masuk tapi berikan saja sekedar uang rokok untuk pak penjaga, bapak yang ramah ini dengan senang hati menemani melihat-lihat sambil sedikit bercerita.
Gedung ini awalnya adalah sebagai rumah peristirahatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Reyner De Klerk yang dibangun tahun 1760. Dahulu memang daerah seputaran Gajah Mada sini dianggap sebagai luar kota karena pusat kotanya ada sekitar museum Fatahillah ke arah Pasar Ikan.
Baru di tahun 1850, gedung ini diubah menjadi gedung kearsipan. Peresmian menjadi tempat penyimpanan arsip dituangkan dalam plakat logam yang tertempel di ruang depan.
Gedung ini tetap dipakai sebagai penyimpanan arsip sampai dengan 1992 saat semua arsip-arsip dipindahkan ke jalan Ampera Jakarta Selatan.
Dalam ruangan terdapat peti baja berukir yang ternyata adalah brankas, Melihat bentuknya yang kukuh dengan berat ratusan kilo, maling yang paling nekat pun juga mikir 1000 kali untuk mengangkutnya. Ada juga beberapa senjata kuno, contoh rempah-rempah dan alat selam kuno untuk menutup kepala.
Sayang tidak diijinkan memotret di dalam museum, dan saya memutuskan untuk patuh pada aturan :).
Pak Udin, nama penjaga gedung memindahkan patok yang dipasang untuk mencegah pengunjung naik ke lantai 2. Tapi untuk saya, pak Udin bersedia memindahkannya....:)
Tangga kayu jati masih tampak kokoh saat dipijak, demikian lantai atas yang terbuat dari bahan yang sama.
Di lantai atas terdapat furniture antik dalam kondisi bagus. Peta-peta kuno yang dibuat oleh para kartografer jaman itu. Bagus sekali peta-peta itu. Namun saya kuatir, udara Jakarta yang teramat panas dan lembab akan mempercepat kerusakan kertas-kertas peta tersebut karena tidak ada pendingin dalam ruangan.
Sebenarnya tidak begitu banyak peninggalan yang tersisa, karena kebanyakan sudah dipindahkan ke museum nasional.
Di halaman belakang yang luas, biasa dibuat untuk pesta pernikahan atau konser, tertutup rumput hijau yang amat rapi. di kiri kanannya terdapat banguna bertingkat yang dulunya digunakan sebagai barak tentara pada bagian atas. Sedangkan di bagian bawah menjadi tempat tahanan dititipkan sebelum jatuh vonis dan dipindah ke gedung tahanan yang lebih kejam di balaikota Fatahillah sana.
fotonya ngumpet-ngumpet |
Berhadapan dengan gedung utama di bagian belakang, adalah bangunan baru. Kata pak Udin sih dibangun tahun 1950-an. Fungsinya ya untuk menaruh arsip-arsip.
Ada bangunan-bangunan kecil di sisi kiri dan kanan gedung yang katanya adalah paviliun. tapi yang satu dalam keadaan terkunci sedangkan satunya lagi terdapat meja dan kursi seperti ruang tunggu.
Kondisi keseluruhan gedung ini amat sangat terawat. Walaupun sepi pengunjung, saya adalah pengunjung satu-satunya saat itu. Satu lagi yang membuat saya terkagum-kagum, toiletnya yang super bersih dan kering. Sebenarnya saya hanya iseng-iseng menengok toiletnya. Ternyata yang saya lihat sangat bertolak belakang dengan yang biasa terjadi di tempat seperti ini.
Penasaran, saya mencoba memutar knop air, dengan mulus knop itu berputar dan air pun keluar. Begitu pun dengan bilik-biliknya, tissue toilet terpasang rapi di tiap bilik. Bukan main. Angkat semua jempol untuk pengelola.
Gedung ini walau berada di bawah lembaga kearsipan dan dijadikan museum tapi sama sekali tidak mendapat subsidi. Dari mana mereka mendapat dana untuk perawatan dan membayar tagihan listrik dan air?
Ternyata semua itu murni dari hasil menyewakan tempat untuk beragam acara. Untuk kawinan, paket termurah adalah Rp 75 juta untuk dekorasi dan katering buat 500 undangan yang berarti 1000 orang.
Sebulan bisa 4 kali tempat ini disewa.
Apakah karena tempat ini bisa disewakan sehingga mereka dicoret dari daftar subsidi? entahlah,..pemerintah kita memang suka aneh-aneh kan.
Gedung ini menurut pak Udin semula berada dalam pengelolaan sebuah yayasan yang dipimpin oleh salah satu anak Sutan Takdir Alisyahbana sebelum diserahkan pada pemerintah.
Saat ini pihak Museum mempunyai tenaga marketing sendiri. Kebetulan saat saya dan Pak Udin mengobrol, muncul seorang wanita keturunan Cina yang ternyata adalah orang marketing Museum. Beliau mengangguk ramah sebelum bergegas ke ruang belakang.
Selain itu ada satu keluarga yang tinggal di bagian belakang Museum yang bertugas mengurus Museum. Pak Udin sendiri mengaku sudah berdinas selama 30 tahun.
Selama beberapa saat saya duduk berbincang-bincang dengan pak Udin, sebelum akhirnya berpamitan, menerjang lagi panasnya Jakarta.
1 komentar:
Temen gw perna nikahan di gedung arsip ini, halaman nya di sulap jadi pesta kebun yg sangat menawan.
Harus tetep di lestarikan nich tempat :)
Posting Komentar