Deru revolusi memang merasuki setiap jiwa pemuda pasca perang kemerdekaan. Darah muda mereka menggelegak siap ditumpahkan apabila musuh berniat merebut tanah Republik walaupun hanya sejengkal. Apalagi butir-butir perjanjian Linggarjati dimana Sutan Syahrir mewakili pemerintah republik sama sekali tidak menguntungkan.
Ada banyak kekecewaan di antara para pemuda. Di antara para pimpinan terlebih lagi, banyak pertentangan ideologi dan masing-masing ingin mengisi kesempatan yang terbuka di depan mata dengan ideologi yang dipercaya akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan sebagai bangsa yang merdeka.
Masalahnya bagaimana mereka mengkompromikan perbedaan pandangan menjadi sebuah rumusan atau model yang tepat bagi pemerintahan independen yang selama ini diimpikan mengingat situasi sulit yang diciptakan oleh pemerintah Belanda.
Bagi Syahrir, Republik saat itu sama sekali belum mempunyai modal. Perang yang berkelanjutan tidak ada gunanya. Perjuangan untuk mendirikan negara yang merdeka harus dilakukan melalui diplomasi walaupun dengan cara yang berbelit dan kadang langkah yang diambil malah memperlambat kemajuan. Seperti halnya dalam perjanjian Linggarjati.
Syahrir dalam posisi terjepit, bahkan teman separtainya tidak lagi mendukungnya, Syahrir pun meletakkan posisinya sebagai perdana menteri.
Sosialisme ala Syahrir boleh dikata mendapat tentangan berat. Para pemuda yang radikal tidak sabar dengan diplomasi. Amir Syarifuddin dari partai Komunis maju menjadi Perdana Menteri dengan membawa utopia tentang revolusi radikal yang sanggup menyelesaikan semua masalah.
Amir pun segera mendapat masalah yang sama, ia pun terpaksa meneken perjanjian Renville yang mengakibatkan kabinetnya jatuh. Amir Syarifudin mundur dan digantikan oleh Hatta. Mundurnya Amir berakibat gugurnya tujuan partai komunis untuk menjalankan pemerintahan sesuai ideologi mereka.
Demikian Soe Hok Gie melukiskan masa-masa pergolakan setelah tahun 1945 s/d 1948. Dalam bukunya Orang-Orang Di Persimpangan Kiri Jalan, Gie mencatat bahwa dalam euphoria pasca proklamasi, para pemuda mengkhayalkan pemerintahan yang lebih baik dengan nilai-nilai baru yang langsung menggantikan nilai-nilai lama yang dianggap feodal.
Dan akhirnya betapa banyak kefrustrasian akibat idealisme yang dipegang tidak sejalan dengan keadaan sebenarnya sehingga dibutuhkan banyak kompromi. Mereka harus mengakui bahwa membangun administrasi dengan mengabaikan para pamong/pegawai yang berpengalaman adalah tidak mungkin.
Kemarahan dan kekecewaan akibat ide-ide revolusioner yang membentur kenyataan tentang minimnya pengalaman mereka memicu pergolakan di antara pengikut ideologi bersama para pendukungnya.
Partai komunis Indonesia yang menganut paham revolusioner dan awalnya menganut paham Marxisme-Lenisme yang semula anti bekerja sama dengan golongan berseberangan kali ini mengubah kebijakannya. Harus diakui bahwa sebagai partai dengan anggota terbesar di Indonesia, paham Marxisme dan Lenisme tidak banyak diketahui oleh anggota PKI yang kebanyakan berasal dari buruh dan tani yang tidak berpendidikan. Hanya elit pimpinan yang paham dengan ide ala Marxis tersebut.
Sementara keadaan ekonomi republik carut marut, masyarakat bawah yang sebagian besar kaum buruh dan tani mengalami kekurangan pangan. Dalam benak orang-orang sederhana ini ideologi apapun yang disodorkan oleh para pemimpin selama bisa membawa pada kemakmuran akan diikuti walaupun tidak dimengerti. Program-program PKI yang mengusung ide-ide revolusioner seperti tanah untuk rakyat disambut gembira.
Su Hok Gie mencatat kebijakan Hatta yang pragmatis mendapat tentangan dari partai-partai lain yang menitikberatkan pada sisi ideologis. Sebagai ahli ekonomi yang rasional Hatta segera menjalankan program-program radikal.
Sementara Front Demokrasi Rakyat bentukan Amir Syarifudin kian gigih menentang re organisasi tentara yang digagas Hatta. Keputusan Hatta bukanlah tanpa sebab. Kocek Republik yang cekak harus menanggung beban berat akibat kelebihan tentara sementara begitu banyak lahan yang terlantar. Tidak ada jalan lain tentara sebagian yang berasal dari non profesional harus dikaryakan.
Divisi Panembahan Senopati yang sebagian besar anggotanya tidak berpendidikan militer bahkan banyak berasal dari sekolah Ongko Loro menjadi yang paling vokal dalam menentang program ini,
Betapa hiruk pikuknya situasi saat itu. Udara semakin panas. antara FDR dan pemerintah telah terjadi gesekan-gesekan yang mengambil korban Jiwa terutama di Jawa Timur.
Gubernur Suryo diculik dan dibunuh oleh PKI begitu pula dengan Dokter Muwardi dari golongan kiri. Kolonel Sutarto komandan pasukan Panembahan Senopati yang menentang re organisasi Hatta dibunuh secara misterius.
Menurut Soemarsono, ex ketua Pesindo dalam wawancara dengan Tempo, ia mengkoordinasi 4 batalion Brigade 29 untuk melucuti pasukan Siliwangi, Brimob dan polisi militer di Madiun. Semua berawal dari Demo buruh di depan kantor walikota Madiun untuk menuntut kenaikan upah. Demo itu berakhir dengan raibnya para pimpinan buruh dan diduga diculik oleh tentara dari divisi Siliwangi.
Menurutnya sama sekali tidak terlintas untuk memberontak, mereka hanya ingin membebaskan rekan-rekan buruh yang ditahan. Muso sendiri sebagai pimpinan PKI sedang berkeliling ke daerah-daerah.
Namun awan gelap telah menaungi Madiun. Muso memproklamirkan berdirinya Front Nasional dan jatuhlah perintah Soekarno untuk merebut Madiun dari Muso dan kelompoknya.
Menengok jauh ke belakang, jejak sejarah hitam yang menyertai perjalanan republik ini tidaklah layak jika hanya dilihat dari kacamata hitam putih semata. Namun tidak cukup sekedar romantisme masa lalu.
Ada banyak kisah-kisah kemanusiaan yang terjadi saat itu. Dokter Wiroreno, Residen Pati yang kebetulan pendukung komunis, ditangkap. Ia tidak melawan tapi juga tidak meminta ampun karena yakin dengan kebenaran tindakannya.
Saat tiba di hadapan regu tembak, para eksekutor itu menyembah Dokter Wiroreno karena mengetahui pribadi Wiroreno yang sangat sosial.
Kisah para pemuda yang tegar menghadapi team eksekusi dengan keyakinan mereka, menambah kegetiran setiap orang tua yang harus melepaskan tunas-tunas terbaiknya.
Pada akhirnya yang terjadi adalah rakyat melawan rakyat dan banjir darah di Madiun menjadi salah satu titik di antara sekian banyak titik perjalanan Republik di tengah perbedaan pendapat dalam menentukan cara mempertahankan eksistensinya.
Kisah orang-orang kiri ini mewarnai dan tidak dapat dilepaskan begitu saja dari keberadaan negara ini.
Ada banyak kekecewaan di antara para pemuda. Di antara para pimpinan terlebih lagi, banyak pertentangan ideologi dan masing-masing ingin mengisi kesempatan yang terbuka di depan mata dengan ideologi yang dipercaya akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan sebagai bangsa yang merdeka.
Masalahnya bagaimana mereka mengkompromikan perbedaan pandangan menjadi sebuah rumusan atau model yang tepat bagi pemerintahan independen yang selama ini diimpikan mengingat situasi sulit yang diciptakan oleh pemerintah Belanda.
Bagi Syahrir, Republik saat itu sama sekali belum mempunyai modal. Perang yang berkelanjutan tidak ada gunanya. Perjuangan untuk mendirikan negara yang merdeka harus dilakukan melalui diplomasi walaupun dengan cara yang berbelit dan kadang langkah yang diambil malah memperlambat kemajuan. Seperti halnya dalam perjanjian Linggarjati.
Syahrir dalam posisi terjepit, bahkan teman separtainya tidak lagi mendukungnya, Syahrir pun meletakkan posisinya sebagai perdana menteri.
Sosialisme ala Syahrir boleh dikata mendapat tentangan berat. Para pemuda yang radikal tidak sabar dengan diplomasi. Amir Syarifuddin dari partai Komunis maju menjadi Perdana Menteri dengan membawa utopia tentang revolusi radikal yang sanggup menyelesaikan semua masalah.
Amir pun segera mendapat masalah yang sama, ia pun terpaksa meneken perjanjian Renville yang mengakibatkan kabinetnya jatuh. Amir Syarifudin mundur dan digantikan oleh Hatta. Mundurnya Amir berakibat gugurnya tujuan partai komunis untuk menjalankan pemerintahan sesuai ideologi mereka.
Demikian Soe Hok Gie melukiskan masa-masa pergolakan setelah tahun 1945 s/d 1948. Dalam bukunya Orang-Orang Di Persimpangan Kiri Jalan, Gie mencatat bahwa dalam euphoria pasca proklamasi, para pemuda mengkhayalkan pemerintahan yang lebih baik dengan nilai-nilai baru yang langsung menggantikan nilai-nilai lama yang dianggap feodal.
Dan akhirnya betapa banyak kefrustrasian akibat idealisme yang dipegang tidak sejalan dengan keadaan sebenarnya sehingga dibutuhkan banyak kompromi. Mereka harus mengakui bahwa membangun administrasi dengan mengabaikan para pamong/pegawai yang berpengalaman adalah tidak mungkin.
Kemarahan dan kekecewaan akibat ide-ide revolusioner yang membentur kenyataan tentang minimnya pengalaman mereka memicu pergolakan di antara pengikut ideologi bersama para pendukungnya.
Partai komunis Indonesia yang menganut paham revolusioner dan awalnya menganut paham Marxisme-Lenisme yang semula anti bekerja sama dengan golongan berseberangan kali ini mengubah kebijakannya. Harus diakui bahwa sebagai partai dengan anggota terbesar di Indonesia, paham Marxisme dan Lenisme tidak banyak diketahui oleh anggota PKI yang kebanyakan berasal dari buruh dan tani yang tidak berpendidikan. Hanya elit pimpinan yang paham dengan ide ala Marxis tersebut.
Sementara keadaan ekonomi republik carut marut, masyarakat bawah yang sebagian besar kaum buruh dan tani mengalami kekurangan pangan. Dalam benak orang-orang sederhana ini ideologi apapun yang disodorkan oleh para pemimpin selama bisa membawa pada kemakmuran akan diikuti walaupun tidak dimengerti. Program-program PKI yang mengusung ide-ide revolusioner seperti tanah untuk rakyat disambut gembira.
Su Hok Gie mencatat kebijakan Hatta yang pragmatis mendapat tentangan dari partai-partai lain yang menitikberatkan pada sisi ideologis. Sebagai ahli ekonomi yang rasional Hatta segera menjalankan program-program radikal.
Sementara Front Demokrasi Rakyat bentukan Amir Syarifudin kian gigih menentang re organisasi tentara yang digagas Hatta. Keputusan Hatta bukanlah tanpa sebab. Kocek Republik yang cekak harus menanggung beban berat akibat kelebihan tentara sementara begitu banyak lahan yang terlantar. Tidak ada jalan lain tentara sebagian yang berasal dari non profesional harus dikaryakan.
Divisi Panembahan Senopati yang sebagian besar anggotanya tidak berpendidikan militer bahkan banyak berasal dari sekolah Ongko Loro menjadi yang paling vokal dalam menentang program ini,
Betapa hiruk pikuknya situasi saat itu. Udara semakin panas. antara FDR dan pemerintah telah terjadi gesekan-gesekan yang mengambil korban Jiwa terutama di Jawa Timur.
Gubernur Suryo diculik dan dibunuh oleh PKI begitu pula dengan Dokter Muwardi dari golongan kiri. Kolonel Sutarto komandan pasukan Panembahan Senopati yang menentang re organisasi Hatta dibunuh secara misterius.
Menurut Soemarsono, ex ketua Pesindo dalam wawancara dengan Tempo, ia mengkoordinasi 4 batalion Brigade 29 untuk melucuti pasukan Siliwangi, Brimob dan polisi militer di Madiun. Semua berawal dari Demo buruh di depan kantor walikota Madiun untuk menuntut kenaikan upah. Demo itu berakhir dengan raibnya para pimpinan buruh dan diduga diculik oleh tentara dari divisi Siliwangi.
Menurutnya sama sekali tidak terlintas untuk memberontak, mereka hanya ingin membebaskan rekan-rekan buruh yang ditahan. Muso sendiri sebagai pimpinan PKI sedang berkeliling ke daerah-daerah.
Namun awan gelap telah menaungi Madiun. Muso memproklamirkan berdirinya Front Nasional dan jatuhlah perintah Soekarno untuk merebut Madiun dari Muso dan kelompoknya.
Menengok jauh ke belakang, jejak sejarah hitam yang menyertai perjalanan republik ini tidaklah layak jika hanya dilihat dari kacamata hitam putih semata. Namun tidak cukup sekedar romantisme masa lalu.
Ada banyak kisah-kisah kemanusiaan yang terjadi saat itu. Dokter Wiroreno, Residen Pati yang kebetulan pendukung komunis, ditangkap. Ia tidak melawan tapi juga tidak meminta ampun karena yakin dengan kebenaran tindakannya.
Saat tiba di hadapan regu tembak, para eksekutor itu menyembah Dokter Wiroreno karena mengetahui pribadi Wiroreno yang sangat sosial.
Kisah para pemuda yang tegar menghadapi team eksekusi dengan keyakinan mereka, menambah kegetiran setiap orang tua yang harus melepaskan tunas-tunas terbaiknya.
Pada akhirnya yang terjadi adalah rakyat melawan rakyat dan banjir darah di Madiun menjadi salah satu titik di antara sekian banyak titik perjalanan Republik di tengah perbedaan pendapat dalam menentukan cara mempertahankan eksistensinya.
Kisah orang-orang kiri ini mewarnai dan tidak dapat dilepaskan begitu saja dari keberadaan negara ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar