05 Juli 2013

KAI yang sibuk berbenah

Gerimis masih tersisa saat kereta tiba di stasiun Gondangdia. Langit masih menyiratkan senyum kelabunya tetap enggan mengeluarkan semburat riang kemerahan.

Para penumpang berhamburan turun di peron, adu cepat menuju pintu keluar. Semua tidak ingin berlama-lama mengantri. Sudah capek berdiri tergencet sepanjang perjalanan masih harus antri lagi keluar pintu peron.


Ya, hari ini adalah hari ke 5 pihak KAI memberlakukan penggunaan kartu komuter 100%. Tidak ada lagi remah-remah tiket kertas yang lecek mengotori lantai.  Di tiap pintu ada petugas yang membimbing para penumpang cara menggunakan kartu.

Banyak pengguna kereta terlihat kikuk menggunakan kartu. Saat masuk peron, alat pengecek kartu ada di sebelah kiri, sebaliknya akan menjadi di sisi kanan saat keluar peron.  Itu yang sering membuat bingung, terbalik antara masuk dan keluar.  Apalagi buat yang tergolong lansia.  Berpuluh tahun menggunakan kertas tentu saja kagok saat sistem berganti.




Antrian panjang mengular selain masalah kanan kiri juga sering kekeliruan pengguna kartu single trip men-tap kartu saat keluar padahal seharusnya dimasukkan, berbeda dengan kartu multi trip yang memang harus men-tap kartu untuk mengurangi saldo. 

Keluhan kesal kerap terlontar.  Beli tiket antri panjang, kereta penuh terus, keluar kereta antri lagi.  Belum lagi jika alatnya rusak sehingga pintu tidak bisa didorong.  Stasiun Depok sudah sempat mengalami hal itu.  Cobalah longok twitter komunitas pengguna KRL, sudah puluhan sumpah serapah bertebaran di sana.

Harga tiket kereta komuter yang sedang promo dari Rp 8,000 - 9,000 menjadi Rp 3,500 - 4,000 menjadi salah satu sebab melonjaknya jumlah pengguna sehingga sering tidak terangkut. Banyak yang ingin tarif kereta jangan terlalu murah agar kereta tidak terlalu penuh.  

Masih banyak gangguan yang menyebabkan keterlambatan, seperti masalah klasih, gangguan sinyal, kereta mogok sampai rel patah. Kalau kereta lancar eh, ACnya mati, bisa dibayangkan pengapnya seperti apa.

Kebijakan mengubah sistem ticketing dari PT KAI diikuti oleh kebijakan lainnya seperti pembongkaran tempat para pedagang yang berdagang di sekitar stasiun.  Yang tentu saja mendapat perlawanan.  Stasiun Pondok Cina ricuh, demikian pula dengan Depok dan Cikini.  Yang terakhir stasiun Gondangdia juga sama.  

Pada hari ke 4 sejak pengunaan kartu elektronik, dari pagi Polisi sudah berjaga-jaga di seputaran stasiun Gondangdia. Sementara pembongkaran kios masih berlangsung. Tampak beberapa ibu pemilik kios masih mengusap dada menyaksikan kios mereka di bongkar sementara yang lain ada yang sibuk memunguti bekas-bekas tempat mereka.

Maksud PT KAI adalah agar penumpang merasa nyaman, tidak lagi diganggu oleh pedagang yang kadang menyita hampir 3/4 peron selama ini.  SETUJU, paling sebal jika bangku-bangku di peron malah dikuasai pedagang dan kita harus berjalan mingir-minggir karena tidak ingin menginjak dagangan yang dihamparkan seenaknya di lantai peron.

Tapi mungkin PT KAI bisa bertindak lebih bijaksana, untuk yang mempunyai kios-kios seperti di bawah stasiun Cikini dan Gondangdia, mungkin bisa diakomodasi, diberi tempat namun dengan pengawasan ketat, kios tidak boleh jorok harus selalu bersih. Beberapa kios makanan sudah mempunyai pelanggan. Seperti Gudeg Bu Tina di bawah stasiun Gondangdia yang bahkan sudah masuk rekomendasi atau kios somay di bawah stasiun Cikini. Bisalah PT KAI mengaturnya.

Di bawah stasiun Gondangdia saat ini digunakan untuk parkir motor, entah apa PT KAI yang menyelenggarakan atau para penduduk situ yang menyetor ke KAI.  Bahkan ada plang yang menyatakan bahwa lahan ini diperuntukkan bagi parkir para pemakai kendaraan yang bekerja atau mengunjungi MNC Tower.

Intinya saya percaya PT KAI berusaha meningkatkan pelayanan, stasiun sekarang lebih nyaman, tidak ada lagi orang-orang tidak jelas yang nongkrong di stasiun.  Para penjaga kini ditempatkan di berbagai titik juga cukup menentramkan. Semoga ini terus berlangsung.  KAI harus terus membenahi diri.

Tinggal merubah kebiasaan dan mental para penumpang kereta api. Yang terbiasa menyerobot jadi harus antri, yang terbiasa jorok kini harus bersih.  Budaya antri itu adalah budaya orang intelek.  Dan tidak semua yang berpendidikan tinggi itu intelek.

Tidak ada komentar: