17 September 2011

Safere Audel !!!!!

Memanjakan diri dengan berlama lama membaca artikel artikel sejarah di Historia sangat menyenangkan.

Menelusuri tentang Kardinah Reksonegoro, adik Kartini.  Menelaah tentang keberhasilan 9 janda Rawa Gede meminta kompensasi kepada Belanda atas pembantaian yang mereka lakukan pasca perang kemerdekaan sampai dengan Umi Sardjono, bekas ketua Gerwani

Sebagai yang bukan ahli sejarah dan tidak pernah mengenyam pendidikan ilmu sejarah, tidak ada cara lain selain membaca sebanyak mungkin semua buku dan tulisan dan mencoba mengendapkan dalam pikiran kala muncul keinginan untuk menulis sesuatu yang berhubungan dengan sejarah.

Seperti seruan Immanuel Kant "Safere Audel" yang berarti berani menggunakan pengertian dan pengetahuan kamu sendiri.  Saya berusaha mendedikasikan kegemaran akan sejarah dalam blog ini, berupaya mengeluarkan kembali hasil interpretasi setelah membaca sekian banyak buku, menonton sekian episode program dokumenter.

Tidak mudah, dan sejarah bukanlah sesuatu yang populer dan saya tidak punya kemampuan jurnalistik untuk memolesnya menjadi populer.

Berbagai macam acara peluncuran, press conference sudah saya ikuti. kebanyakan glamour, gemerlap, wangi. Manusia cantik dan ganteng berseliweran tapi tidak pernah menimbulkan efek apapun. Datar dan tawar.

Namun begitu saya iseng menghadiri launching sebuah buku yang mengupas tentang kepahitan pemerintahan masa lalu yang diselenggarakan di sebuah gedung kuno, dihadiri oleh banyak orang tua, anak muda dengan pakaian seadanya, jeans dan kaos.  Tidak ada minyak wangi, tidak ada cahaya gemerlap atau buffet hidangan lezat.  Hanya ada diskusi, namun terasa gairah meluap luap dalam hati yang tidak pernah muncul sebelumnya.  Keluar dari gedung itu saya merasa lebih pintar.

Yang memacu saya untuk lebih tekun membaca berbagai jurnal.  Betapa malu saat membandingkan kualitas bacaan saya dengan para perintis. Di usia teramat muda mereka sudah melahap Das Capital, Plato, JJ Rouseau dan berbagai macam filsafat serta hukum dan ekonomi.  Sedangkan saya sampai sekarang masih tergagap gagap bila membaca Nietzsche.

Saya akan terus menulis interpretasi pribadi tentang sejarah dalam blog ini, tak peduli dibaca atau tidak semata mata untuk mengeluarkan api yang telanjur berkobar.

11 September 2011

Souvenir Miss Universe

Saya memfollow twitter yang beridentitas "PurePapua", twitsnya seperti namanya selalu berkisar pada masalah Papua.  Bagaimana kemiskinan mendera rakyat Papua di bawah kekuasaan Indonesia dan asing.

Satu twit yang menarik perhatian berbunyi : YUDHOYONO : Just kill all indigenous Papuans & other lesser races, so you & the Javanese Master race can have your 1000 year Jawa Reich.

Di situs Detik, saya juga membaca tentang Nadine Ames...semula saya tidak tahu siapa  itu Nadine, sampai seorang teman mengatakan bahwa ia adalah perwakilan dari Indonesia di kontes Miss Universe tentu saja dari ajang Putri - putrian.  Maaf saya kurang berminat mengikuti berita kontes kecantikan...:)

Terlepas dari keharusan memvote Nadine demi menunjukkan dukungan untuk masuknya nama Indonesia di ajang kontes kecantikan, tentu saja saya tidak bisa tahu apakah Nadine benar benar menguasai soal soal Indonesia, kalau bahasa Inggris sih sepertinya tidak masalah, tampaknya pihak Mustika Ratu belajar dari 2 kesalahan konyol sebelumnya,,,,mengirimkan wakil yang tidak fasih bahasa Inggris ke kontes yang native-nya adalah Inggris. 

Tapi ada yang membuat saya mengernyitkan dahi, adalah souvenir yang dibawa...batik dan wayang.  Okeeee.....memang itu souvenir khas Indonesia....tapiiiii kita kan punya ribuan pulau dengan souvenir yang bermacam macam, kenapa itu itu lagi yang dibawa.  Putri Indonesia mewakili Indonesia bukan pulau Jawa.  Apa karena Mustika Ratu identik dengan Jawa Keraton, sehingga tidak bisa melepaskan Jawanisasi di setiap eventnya.

Agak cerewet dan gak penting karena ribut soal souvenir, mungkin karena saya membaca twitter dari Papua yang "rasis" tapi rasanya ada kebenaran di situ.

Walau saya memiliki ikatan emosional dengan kebudayaan Jawa, namun saya tidak ingin negara ini menjadi Jawanesia.....Ada banyak pulau dan etnis yang harus diperhatikan dan diangkat...salah satunya Papua itu yang sudah menyumbang banyak sekali dollar untuk Indonesia namun seperti kata @PurePapua, hak asasi manusia di sana justru terabaikan oleh manusia Jawa.

05 September 2011

Hip Hop Diningrat

Pernah mendengar lagu rap yang sekilas diperdengarkan saat tayangan rakyat Jogja menuntut referendum?...

Ya itu lagu hip hop yang berjudul Jogja Istimewa, diusung oleh Mohamad Marzuki, anak muda pendiri Jogja Hiphop Foundation.  Hip hop yang biasa nya dalam bahasa Inggris kini dilantunkan dengan bahasa Jawa lengkap dengan cengkok medoknya.

Tidak itu saja, Juki panggilan Marzuki juga sering memasukkan syair-syair dari babad atau serat ke dalam lagu hip hopnya.

http://www.youtube.com/watch?v=F18vJTtX_Ns
http://www.youtube.com/watch?v=NyDUB8W1PTI

Coba buka youtube, niscaya banyak lagu lagu hip hop bahasa Jawa yang kerap membuat kita terpingkal pingkal karena unsur lokalitas yang kuat dan unik dapat berpadu harmonis dengan budaya ngomel ala barat tersebut.  Film dokumenter mereka, Hiphop Diningrat, pernah diputar di teater Salihara dan mendapat sambutan hangat.

Bisa didengarkan pula lagu "Ora Cucul Ora Ngebul" atau "Jula Juli" yang merupakan karangan budayawan Sindhunata yang sarat dengan kritik sosial, begitu pula dengan "Cicak Nguntal Boyo". 

Publikasi mereka di web memakai tagline : Perlawanan Rap Centhini karena memang Marzuki sebagai motor penggerak menganalogikan syair syair dalam hip hop jawa ini berangkat dari kegelisahan bagaikan seorang Cebolang dalam serat Centhini.  Yang pernah membaca serat Centhini pasti familiar dengan tokoh Cebolang, anak muda yang melakukan pengembaraan, melakukan seks yang menyimpang sebelum akhirnya menemukan ilmu kebahagiaan.

Menariknya lagi kelompok ini juga menarik Soimah Pancawati, sinden serba bisa untuk menyanyikan beberapa lagu bersama.  Karena keunikannya pula kelompok ini diundang ke New York untuk mempresentasikan kreasi mereka.

Menyenangkan, melihat anak anak muda mengangkat budaya lokal di tengah kebosanan dengan tampilan penyanyi ala K-Pop yang serba monoton.




Sumedang

Jalur Jalan Daendels sepertinya berakhir saat saya mengunjungi Sumedang Idul Fitri ini.  Tentu saja tidak melalui trayek asli melalui Rajamandala namun Tol Cipularang untuk menyingkat waktu.

Sempat frustrasi di Jatinangor karena macet cukup panjang, namun mulai menghela napas lega setelah melewati pasar Jatinangor, sumber kemacetan.

Bersiap memasuki kelokan tajam yang menandai dimulainya Cadas Pangeran.  Mengamat amati kontur jalan yang berbelok menikung sepanjang 3 km?...Mencoba mengingat ingat apa yang ditulis Pramoedya tentang jalur ini.  Hampir sama dengan Puncak dimana pada point tertinggi terdapat restaurant.


Saya masih mencari cari peninggalan kuno di sepanjang jalan, mengingat Sumedang adalah bekas Kerajaan Sumedang Larang, pecahan dari Pajajaran dengan puncak pemerintahan pada masa Prabu Geusan Ulun.  Sumedang Larang yang semula berbentuk kerajaan akhirnya jatuh ke tangan Mataram dan diubah menjadi Kabupaten. Sumedang Larang sebagai kerajaan menguasai Tasik, Bandung, Garut, Sukabumi.  Memang tidak besar, mungkin tidak seluruh Jawa Barat mereka kuasai.  Cirebon, Ciamis dan Banten tidak termasuk mengingat Cirebon dan Banten berdiri sendiri sebagai Kesultanan.

Satu satunya yang agak unik adalah patung kecil Pangeran Kornel atau Pangeran Kusumadinata, bupati Sumedang sedang bersalaman dengan seorang perwira Belanda yang dideskripsikan sebagai Daendels saat sang bupati sedang menyampaikan protes tentang pembangungan jalan cadas pangeran di abad 19 tersebut

Namun menurut sejarawan Djoko Marihandono, berdasarkan arsip arsip resmi disangsikan bahwa Pangeran Kornel pernah bertemu dengan Daendels karena tidak pernah ada catatan bahwa Daendels pernah berkunjung ke Sumedang, Demikian pula dengan Raffles, saat Inggris menggantikan Belanda di Indonesia. Juga tidak pernah ada catatan protes atau pembangkangan dari pembesar Sumedang jaman itu.  Hanya cerita rakyat ?...entahlah.

Saya pernah membaca, patung itu sendiri dibuat tahun 1980-an atas permintaan keluarga besar ningrat Sumedang, mungkin keturunan Pangeran Kusumadinata.

Di luar itu kota ini semakin seragam dengan kota utama, sayang sekali jalur yang saya tempuh menuju rumah Nenek tidak melewati alun alun, siapa tahu justru di alun-alun akan terlihat wajah kota yang asli sebelum tertutup seluruhnya oleh modernisasi.  Sementara ini ternyata Sumedang lebih familiar dengan tahunya...yang ternyata tidak seenak saya kira.