07 Maret 2010

Drama Kematian Para Pahlawan

Seorang besar kadang kematiannya tidak mencerminkan kebesarannya. Tidak selalu kematiannya diiringi oleh upacara megah, diliput oleh media, dihadiri oleh petinggi negara.

Tidak jarang mereka mati dalam kesendirian, terkucil dan kemudian dilupakan oleh sejarah. Pengucilan yang disengaja akibat perbedaan pandangan atau ketakutan tidak masuk akal dari para penguasa saat itu.

Rachmawati dan Hartini Soekarno harus berkali kali menahan air mata kesedihan melihat ayah dan suami mereka dipencilkan dan diperlakukan tidak layak hingga saat saat meninggalnya. Orang yang selama ini berjuang untuk kemerdekaan bangsanya, terbaring lemah akibat komplikasi penyakit hanya dirawat oleh Dokter hewan. Hatta pun tidak mampu menahan haru, kedua dwitunggal itu pun terisak saat bertemu, tidak mengerti mengapa mereka diperlakukan seperti musuh oleh anak bangsanya.

Seorang Tirto Adhi Soerjo terpaksa harus kehilangan semua miliknya yang berharga. Koran Medan Priaji yang tersohor galak dalam mengawal pendapat umum pada masa kolonial dimandulkan. Terakhir ia dibuang ke Ambon dan dikenai tuduhan menipu. Hotel Medan Priaji miliknya diambil oleh sahabatnya sendiri. Tirto pun tumbang, ia meninggal dan pemakamannya hanya diiringi segelintir orang.

Susah dibayangkan bagaimana Seorang Tan Malaka menemui ajalnya di Selo Panggung yang terpencil. Apakah ia sempat berdoa sebelum pistol menyalak menjemput nyawa. Kematian yang misterius dari seorang legenda negeri yang sepanjang hidupnya selalu hidup berpindah pindah dari negara satu ke negara lain. Tidak ada sanak keluarga yang mendampingi saat ajal menjemput pun kuburan yang sampai saat ini masih misteri. Namanya pun berusaha dihapus dari riwayat negeri ini.

Atau bayangkanlah sekelumit adegan bekas Perdana Menteri RI, Amir Syarifuddin dalam menghadapi detik detik akhir hidupnya karena dituduh terlibat peristiwa Madiun 1948. Di stasiun yang kosong sambil menunggu kereta yang akan membawanya ke Solo, ke hadapan regu tembak ia memilih membaca buku Romeo dan Juliet. Dalam roman itu ia hanyut sejenak, di keheningan senja melupakan keadaan dimana ia tidak akan melihat matahari esok pagi. Akhir tragis dari seorang mantan Perdana Menteri.

Poppy Syahrir yang tersedu di samping jenazah sang suami, pupus sudah impiannya untuk hidup sorangan wae dengan Syahrir. Setelah kasus PRRI hubungan Soekarno dan Sutan Syahrir memburuk, Syahrir ditangkap dan dipenjara tanpa diadili hingga menderita stroke. Ia pun diijinkan berobat ke Zurich dengan status tetap sebagai tahanan dan meninggal setahun kemudian setelah mengalami koma dalam keterasingan. Jenazah mantan Perdana Menteri itu kembali ke Indonesia dengan pergantian status menjadi Pahlawan Nasional.

Atau simak kisah Raden Mas Ontowiryo, nama kecil Pangeran Diponegoro. Ia menyerah pada panggilan takdir nun jauh di Makasar pengasingannya terakhir ditemani oleh sang istri Retnaningsih, anak dan sebagian kecil pengikutnya. Malang tak dapat ditolak, perjuangan sang Pangeran yang termasyur itu dianggap oleh keraton Yogyakarta sebagai pemberontakan. Keluarga pahlawan nasional tersebut sempat dilarang menginjak keraton sebagai akibatnya. Perlakuan mengenaskan yang baru berakhir saat Sultan Hamengkubuwono IX memberikan amnesti. Walaupun tidak jelas alasan mengapa diberikan amnesti dan bukannya rehabilitasi.

Tidak gampang menjadi seorang pendobrak, saat kawan kawannya tertidur kekenyangan menikmati suguhan membius para penguasa ia harus tetap terjaga menajamkan nalar mengasah nurani, menyabarkan diri demi menyadarkan bangsanya yang tertidur seperti mati.

Jika penjajah memperlakukan para pendiri negara dengan kejam, masih dapat dimengerti. Yang memiriskan perasaan adalah jika kita para penikmat kemerdekaan mematikan hati nurani demi kekuasaan menafikan peranan mereka yang telah berdarah darah berusaha melepaskan tanah ini dari kolonialisme.

Yah, sejarah memang milik pemenang. Tapi hidup sang pemenang tidaklah abadi sehingga selalu ada saatnya sejarah ditelaah ulang dan sang pemenang menjadi tergugat.

Tidak ada komentar: