09 Maret 2020

GELIAT LENGGER LANANG

Bulan Februari kemarin mendatangi festival Ketandan di jalan Ketandan yang terletak nyempil di daerah Malioboro.


Ketandan merupakan daerah Pecinan lama.  Selama ini jika wara wiri di Malioboro hampir tidak menyadari ada jalan Ketandan, yang tidak jauh dari pasar Beringharjo.


National Geographic Indonesia menyajikan laporan khusus yang menarik tentang kampung Ketandan.

Yamie Ketandan

Festival Ketandan ini menyajikan aneka kuliner peranakan Tionghoa, termasuk yang mengandung babi. Warung yamie Ketandan dipadati oleh pengunjung, begitu pula dengan gerai makanan lainnya.  Untung kami masih kebagian tempat di warung yamie tersebut.  Yamienya memang lezat, porsinya pas.

Mie Ketandan

Cukup sulit berjalan dengan leluasa karena jalan Ketandan yang memang tidak besar itu sangat padat.

Di Festival Ketandan

Kami melewati panggung kecil wayang potehi, kursi-kursi telah disiapkan untuk yang ingin singgah dan menonton.


Tak ingin berlama-lama karena suasana yang kian padat ditambah sudah ada janji ketemu dengan seseorang membuat kami memilih keluar dari keramaian dan mampir ke toko roti lawas Djoen untuk membeli beberapa potong kue.

Onbitjkoek di toko Djoen



BANYUMAS

Kesenian Banyumas yang paling khas adalah lengger.  Menurut Sunaryadi dalam "Lengger Tradisi & Transformasi, secara pasti belum ada data valid mengenai kapan munculnya kesenian lengger.  Ada yang mengatakan asal lengger adalah dari Jatilawang, Banyumas; sebagian ada yang berpendapat bahwa kesenian ini berasal dari Mataram.

Seniman lengger, Rianto yang kami temui mengatakan bahwa istilah lengger berasal dari kata leng dan jengger.  Leng artinya lubang sedangkan jengger adalah ciri dari ayam jantan. Lengger awalnya ditarikan oleh laki-laki

Bareng mas Rianto

Rianto, penari sekaligus seniman lengger yang kini bermukim di Jepang bermain dalam film "Kucumbu Tubuh Indahku" yang disutradarai oleh Garin Nugroho.  Ia kerap mengadakan pertunjukan lengger bersama sanggar Langgeng Sari.  Selain Dariah yang lengger lanang ada pula lengger wadon (perempuan) yang merupakan tokoh lengger senior, Astuti namanya.

Tora Dinata yang kini memimpin sanggar Langgeng Sari dari Baturaden bercerita tentang ritual-ritual yang dilakukan ia dan anggota kelompoknya seperti berendam di tujuh mata air, lalu membaca wirid.

Rianto sendiri tidak melakukan ritual tertentu, ia kadang hanya berziarah ke beberapa makam tokoh ronggeng seperti makam tua yang disebut sebagai pesanggrahan Melati di desa Wogen.

Ziarah di makam Panembahan Melati







Dalam dunia lengger ada yang dinamakan indang semacam roh yang berada dalam jiwa penari lengger terpilih.  Rianto mendapatkan indang saat ia masih kecil, tanpa perlu melakukan ritual.
Beda halnya dengan Tora dan beberapa anggotanya.  Mereka harus melakukan beberapa ritual khusus untuk mendapatkan indang.

Tora Dinata menunjukkan gerakan tangan dalam lengger


Tora dalam lengger menggelari dirinya Nyai Sekar Melati sedangkan Rian salah satu penari di sanggar Langgeng Sari mendapat gelar Putri Salkiyah.


Saat mendatangi sanggar Langgeng Sari di daerah Baturaden, kami bertemu Pico yang merupakan anggota termuda. Ia dan Rian sama-sama lulusan SMK seni tari.  Lalu ada Sigit dan Didit, dua orang kakak beradik yang sama-sama mengajar seni tari.  Didit juga mempunyai kemampuan menjahit selain mengajar tari sehingga kostum para penari sanggar Langgeng Sari merupakan hasil kreasinya.

Sigit, Pico dan Rian dari sanggar lengger Langgeng Sari


Banyak pengalaman lucu yang dialami oleh para penari lengger lanang tersebut.  Pico misalnya, saat baru manggung ia kurang tepat dalam memasang sanggul sehingga terlihat seperti "kepala babi".  Lalu Rian yang sempat dikejar-kejar oleh sesama lelaki karena terlihat "cantik" saat menari.

Berlatih


Para penari lengger yang gemulai saat mengenakan kain dan perlengkapan perempuan terlihat biasa saja menjalankan keseharian mereka sebagai lelaki, tidak ada kesan feminim yang dibuat-buat.  Terkadang celaan masih ada tapi mereka optimis perlahan masyarakat mulai bisa menerima.

Didit sebagai Nyai Mawar



Pico sebagai nyai Sekar Jagad


Rian sebagai putri Salkiah

Sigit sebagai eyang Kartiyah
Masih banyak pembicaraan kami di sanggar, sering diselingi oleh gelak tawa ditemani oleh camilan dan teh hangat

Tidak ada komentar: