01 Desember 2019

Di Latifui - Alor

Naik motor dari Kalabahi menyusur ke arah barat di sepanjang jalan yang dibatasi oleh teluk Mutiara dan sebelum kampung Takpala motor berbelok naik ke atas.  Terlihat rumah-rumah adat beratap daun. Motor berhenti, seorang laki-laki berambut putih yang ternyata kepala kampung menyambut kami.  Bapa Karel begitu beliau dipanggil.  Menurut pak Karel kampung Latifui ini sudah ada dari sebelum Indonesia merdeka.

Kami diajak duduk di balai-balai di bagian depan rumah. Di dalam rumah panggung yang terbuka itu adalah dapur yang tengah digunakan oleh ibu-ibu.  Sementara kain-kain tenun digantungkan di halaman depan beserta kalung manik-manik, agar para pengunjung kampung dapat melihat sekaligus membeli. Seorang ibu tampak sedang asyik menganyam keranjang.





Latifui dipagari oleh bukit yang jika kita naik ke atas akan terlihat pemandangan teluk yang menawan.  Bukit-bukit itu sebenarnya juga menjadi ladang.  Kami menaiki bukit yang lumayan curam untuk mencapai pondok kecil di atas, terlihat dari kampung.  Dan memang benar, dari atas ketinggian saya tertegun. Ke bawah terlihat laut yang biru dan ketika menoleh ke belakang, pandangan langsung disambar perbukitan berwarna kekuningan.

Bukit di belakang kampung, dulunya kampung awal ada di atas bukit

Kami duduk-duduk sebentar lalu turun melalui jalur lain tak kalah indah, sedikit memutar dan tiba di bagian belakang kampung.
Rupanya nanti akan ada upacara penyambutan tamu, serombongan wisatawan akan datang ke kampung, begitu info yang saya dengar dari Bapa Karel.  Tentu saja ada biaya yang sudah disepakati dengan pihak travel.



Benar saja, sekitar jam satu siang warga kampung bersiap-siap melengkapi diri mereka dengan pernak pernik upacara.  Yang laki-laki membawa busur beserta anak panah.  Tak lama rombongan turis asing pun datang dan disambut warga dengan tari lego-lego. 




Warga kampung baik perempuan dan laki-laki serta anak-anak saling bergandengan sambil menari sambil menyanyikan lagu dalam bahasa adat mereka.  Selesai menari beberapa warga menaiki bukit di belakang mereka sambil membawa potongan kayu besar.


Ternyata mereka turun kembali sambil memanggul kayu yang diduduki oleh rekannya.  Mereka turun bukit dan disambut dengan tarian dan nyanyian.
Kelar upacara penyambutan saya segera pamit untuk melanjutkan perjalanan menuju Bumol yang jaraknya masih cukup jauh.