09 Juni 2018

Diskusi "Peranan Tionghoa Dalam Perjuangan Kemerdekaan dan Nasionalisme Indonesia

Sore yang cerah, halaman Museum Perumusan Naskah yang biasanya lengang terlihat lebih ramai dari biasanya.




Spanduk dan X banner terpasang di bangunan sebelah kanan gedung utama.  Di dalamnya terlihat kursi-kursi terisi nyaris penuh

Seorang perempuan tua berkursi roda yang didorong oleh ajudannya bergerak perlahan menyeberangi halaman dan terhenti di depan teras bangunan berspanduk itu.  Sedikit payah ajudannya berusaha mengangkat bagian depan kursi agar dapat masuk ke dalam.

Yang sepuh bukan hanya perempuan itu.  Sebelumnya seorang pria tua berjalan pelan dibantu kruk memasuki ruangan.  Para sepuh yang bersemangat menghadiri acara sore itu membuat panitia tergopoh-gopoh mencarikan tempat duduk yang lebih nyaman karena ruangan dengan cepat dipenuhi oleh para peserta.


Foto: Kecapi Batara

Peran Tionghoa Dalam Perjuangan Kemerdekaan dan Nasionalisme Indonesia yang menjadi judul diskusi terbuka itu memang menarik perhatian.  Ada peserta yang mungkin saking semangatnya telah tiba di tempat jam 10 pagi padahal diskusi baru dimulai jam 16:00. 

Dan saat acara dimulai, kursi-kursi cadangan harus dibuka karena yang hadir ternyata melebihi kapasitas. Ruangan yang tidak begitu besar itu penuh sesak, beberapa AC yang dinyalakan nyaris tidak mampu mengusir gerah yang melanda.   

Narasumber diskusi diampu oleh 3 orang:  Didi Kwartanada, Christianto Wibisono dan Restu Gunawan.

Didi Kwartanada membuka diskusi dengan pemaparan tentang empat orang Tionghoa yang menjadi anggota BPUPKI, mengenai PP 10 yang dikeluarkan oleh Mr Asaat.  Restu Gunawan menitikberatkan peranan orang Tionghoa dalam perdagangan pada masa pendirian Republik.  Christianto Wibisono banyak menyinggung tentang Indonesia Incorporated.

Menarik memang uraian Didi Kwartanada mengenai Middlemen Minority yang berfungsi sebagai mediator antara kelompok dominan dan etnis subordinat.  Middlemen ini menjalani profesi sebagai pedagang, pemilik toko dan peminjaman uang.  Posisi ini yang biasanya rentan akan situasi politik, karena kelompok dominan akan memakai mereka sebagai buffer, sedangkan etnis subordinat akan memandang mereka sebagai sasaran empuk karena tidak mampu menjangkau kelompok dominan.

Restu Gunawan dari Direktorat Sejarah Kemendikbud menyajikan tulisan tentang pedagang-pedagang Tionghoa yang turut berpartisipasi bersama para pemuda republik dalam menembus blokade Belanda.

Foto: Kecapi Batara

Saat dibuka sesi bertanya, para peserta amat antusias mengajukan pertanyaan.  Sayang waktu yang sudah mendekati saat berbuka membuat tidak semua pertanyaan dapat diakomodir.  

Diskusi ini tentu bukan untuk mendikotomi Tionghoa dan non Tionghoa, tapi lebih kepada pemahaman bahwa mimpi tentang Indonesia dibangun oleh orang-orang yang mempunyai cita-cita yang sama baik Tionghoa maupun yang non.  Adapun segregasi yang terjadi adalah imbas dari peraturan kolonial yang berbuntut panjang hingga sekarang.

Bahwa beda pililihan politik tidaklah harus memecah belah ke-Indonesiaan kita.  

Tidak ada komentar: