24 April 2014

Mao Zedong & Deng Xiaoping : Siapa Bilang Komunisme dan Liberalisme Tidak Dapat Jalan Bersama

Lompatan jauh ke depan.

Setelah kematian Sun Yat Sen, Chiang Kai Sek diangkat untuk memimpin Republik Tiongkok yang baru beralih dari sistem panjang kekaisaran. Namun bukan berarti masalah usai.  Perselisihan antara golongan Nasionalis dan Komunis berbuntut pada teror yang lazim disebut teror putih.

Mao Zedong yang beraliran komunis berambisi untuk memajukan Tiongkok setelah berhasil mengusir Chiang Kai Sek ke seberang lautan.  Dengan aset berupa jumlah penduduk yang amat besar Mao yakin ia bisa mengorganisir rakyat Tiongkok untuk mengejar Inggris dan Sovyet menjadi negara industri sekaligus menjadi negara surplus pangan.

www.columbia.edu

Ajaran Marxisme yang dianut Mao menjadikan buruh sebagai kekuatan utama dalam revolusi. Namun Mao juga menyadari bahwa rakyat Cina sebagian besar adalah petani dan inilah pilar kekuatan yang paling potensial dibanding buruh yang tidak seberapa banyak karena Cina belum melangkah ke bidang industri pada masa itu.


Cina memang sedang terpuruk, sebagian besar penduduknya miskin dan berpendidikan rendah. Namun Mao menganggap hal ini sebagai aset, para penduduk itu akan mudah diarahkan sesuai cetak biru dalam ajaran Marxis.

Tidak main-main, dengan program yang dinamakan Lompatan Jauh ke Depan Mao bersama seluruh kader partai komunis merubah struktur masyarakat Tiongkok.  Komunal-komunal didirikan untuk menampung para pekerja yang diambil dari orang dewasa di tiap keluarga.  Anak-anak kecil dititipkan ke tempat penampungan umum untuk diasuh oleh sukarelawan sementara orang tua mereka bekerja.

Lumbung-lumbung tempat menyimpan hasil panen segera didirikan, tiap daerah diberikan target yang harus dipenuhi untuk mendapatkan pujian dan akan dipermalukan jika gagal mencapai tujuan.

Mobilisasi penduduk untuk membuka ladang penanaman gandum dilakukan dengan penebangan besar-besaran. Untuk menembus perbukitan tandus maka aliran sungai harus diubah, ribuan orang dikerahkan dengan peralatan seadanya membuat irigasi yang akhirnya tidak dapat dipergunakan karena struktur bangunan yang dibuat asal-asalan  Demi mengisi gudang-gudang perbekalan, persediaan gandum yang dimiliki petani harus diserahkan.  Untuk kebutuhan pangan harian, dibangun kantin-kantin dimana rakyat bisa mendapatkan makanan walau harus berjam-jam mengantri demi semangkok bubur encer.

Dengan obsesi untuk mengejar ekspor, penanaman gandum digalakkan, jarak antara satu pohon dengan pohon lainnya dirapatkan untuk mendapatkan hasil maksimal.  Para kader memerintahkan untuk mendapatkan pupuk dengan cara apapun.  Namun eksport tidak tidak diimbangi oleh kualitas.  Sanitasi yang buruk menyebabkan barang-barang yang diekspor terkontaminasi dan juga mengganti isi barang dengan barang lain. Industri Baja digalakkan, penduduk diminta menyerahkan peralatan dapur mereka untuk dilebur.

Apa yang dilakukan kader-kader yang diterjunkan untuk mengawasi pelaksanaan perintah Mao malah menambah kisruh karena pengetahuan mereka yang terbatas soal pertanian dan perkebunan.  Penduduk mengumpulkan tinja mereka untuk dijadikan pupuk dan merobohkan rumah-rumah kayu mereka.  Bahkan mereka sampai makan kulit kayu dan jok kursi karena langkanya makanan

Masa kampanye Lompatan Jauh ke Depan selam 3 tahun diperkirakan telah menewaskan 30 juta rakyat Tiongkok akibat kelaparan, dan bukan itu saja, degradasi moral pun melanda penduduk. Tak jarang orang tua menjual anaknya akibat tidak mampu memberi makan, seorang keponakan merampas kupon makanan pamannya dan cucu yang membiarkan neneknya kelaparan.

Apakah dengan hal-hal mengerikan seperti itu menjadikan Mao seorang penjahat kemanusiaan? Rasanya tidak, Mao tetap dianggap sebagai tokoh terhormat, musoleumnya dibangun megah di Tiananmen dan jenazahnya diawetkan serta ditempatkan khusus dalam musoleum.

Adalah konfusianisme yang menjadi nafas kehidupan rakyat Tiongkok sebelum Mao memerintah.  Dengan struktur kelas-kelas dalam masyarakat mirip kasta dalam agama Hindu, rakyat terjebak dalam kehidupan statis di mana masyarakat kelas bawah tidak dapat naik ke status lebih tinggi.

Mao yang dibesarkan dalam keluarga pemilik tanah namun bersentuhan akrab dengan Marxisme maju ke pentas dengan ide masyarakat tanpa kelasnya.  Rakyat Tiongkok seolah terjungkir balik dari dunianya, mereka disadarkan bahwa dengan kerja keras, kekayaan bisa jadi milik mereka.

Masyarakat dipaksa beralih dari konfusianis ke komunis, di bawah kekuasaan Partai Komunis Cina (PKC) dengan ketua Mao sebagai pucuk pimpinan. Ke depannya PKC memang menjadi partai penguasa. Saat Mao mundur, rekannya satu partai Liu Shaoqi diangkat menjadi Presiden. Liu nampaknya belajar bahwa program-program ideologis Mao malah membawa Tiongkok pada kemunduran. Liu dan Deng Xiaoping segera mereformasi kebijakan Mao walaupun tidak meninggalkan paham sosialisme dan komunisme. Liu menitikberatkan perbaikan ekonomi termasuk mengadakan hubungan perdagangan dengan negara-negara Barat, sesuatu yang dihindari Mao.

Berang, karena menganggap Liu melanggar pedoman partai dan mengkhianati komunisme, tahun 1966 Mao melancarkan revolusi kebudayaan dengan mengarahkan para pemuda yang menjadi simpatisannya, suatu bukti bahwa Mao dan ajarannya memang berpengaruh besar.  Liu Shao Qi dan Deng Xiaoping ditahan dan mengalami penyiksaan. Liu meninggal mengenaskan sedangkan Deng dipekerjapaksakan, bahkan anaknya disiksa sampai cacat. Zhou En Lai diangkat menjadi Perdana Menteri, sejatinya Zhou En Lai-lah penyelamat Deng, ia membujuk Mao untuk menarik kembali Deng ke partai.

Deng Xiaoping akhirnya memang memimpin Cina menuju perubahan sepeninggal Mao.  Sungguhpun beraliran komunis, pola pikir Deng bertolak belakang dengan Mao. Deng tidak tabu untuk menerapkan pasar bebas walaupun dengan kontrol.  Namun Deng juga berhati-hati agar tidak mencabut ajaran Mao yang terlanjur berakar dalam masyarakat Tiongkok.  Dan, memang Tiongkok mengalami perubahan luar biasa di bawah Deng.

Perubahan-perubahan budaya dan ideologi yang radikal memang memaksa rakyat Tiongkok untuk cepat beradaptasi dan bangkit.  Namun tak dapat dipungkiri Mao berjasa memobilisasi rakyat untuk bekerja secara masal demi negara.

Deng, walaupun sukses namun tidak meninggalkan gaya totaliter ciri khas partai komunis. Tragedi Tiananmen menjadi puncak perseteruan antara kaum muda terpelajar dan kaum komunis tua dimana tank-tank militer melindas tanpa ampun para mahasiswa yang sedang berdemonstrasi.

Mao Ze Dong dan Deng Xiaoping berhasil memobilisasi rakyat Tiongkok meninggalkan ideologi lama dengan segala konsekuensinya.  Hasilnya Tiongkok sekarang benar-benar menjadi macan Asia tak kalah dengan Jepang.  Namun memang pemerintahan partai komunis menerapkan filter ketat terhadap berbagai pengaruh informasi yang berasal dari Barat, kebijakan yang membuat gerah para aktivis kemanusiaan.

Di atas semua itu, Cina sukses meramu ajaran komunisme dan sosialisme ala Mao berbarengan dengan liberalismenya Deng

Bagaimana dengan Indonesia, apakah kepemimpinan totaliter Soeharto yang disebut-sebut dimulai dengan pertumpahan darah dan dilanjutkan oleh penerusnya yang moderat menghasilkan hal-hal serupa yang berhasil diraih oleh rakyat Tiongkok?

REFERENSI
-Mao's Great Famine: The History of China's Most Devastating Catastrophe, 1958–62 (Frank Dikotter)
-Perubahan Sosial Cina Tahap Pertama, Mao dan Pedesaan (Priyanto Wibowo)













Tidak ada komentar: