27 April 2014

Mengintip Borobudur dari Setumbu

Pukul 4 pagi alarm berbunyi kencang, saya bergegas bangun dan mematikannya.  Ragu-ragu sejenak mengingat kantuk yang masih menyengat, tapi dengan menguatkan diri, kalau tidak sekarang kapan lagi, saya bangkit dan membangunkan penghuni kamar lainnya.

Setelah beberapa lama menyusuri jalan perkampungan sempit yang diapit oleh pepohonan lebat, di ujung kegelapan subuh tampak sesosok tubuh berdiri sambil melambai-lambaikan tangan ke arah kami.  Bapak tersebut mengarahkan kami untuk berbelok menanjak untuk mencapai parkiran yang berada di halaman rumah-rumah penduduk.

Setelah parkir, kami bergegas menyusuri tanjakan jalan desa yang sudah diperkeras secara swadaya sehingga cukup untuk dilewati 1 jalur mobil. Sekitar 100 meter di atas tempat kami parkir, ternyata ada lahan parkir tidak seberapa luas dan sudah penuh dengan mobil.  Ternyata sudah ada yang ke sini sejak dari jam 3 pagi


Punthuk Setumbu

Adalah sebuah bukit di daerah Magelang, di Desa Karangrejo tepatnya.  Beberapa plang petunjuk arah memperkenalkan tempat itu sebagai Nirvana Sunrise.  Yak, tempat untuk menangkap matahari terbit di antara kabut yang menyelimuti kaki gunung Merapi dan Merbabu, dan yang jadi fokus utama adalah sosok Borobudur yang diliputi kabut mistis terlihat saat mentari muncul.  Punthuk Setumbu sendiri berjarak sekitar 15-20 menit mengemudi dari Borobudur.  Yang lucu beberapa orang asli Magelang dari keponakan sampai resepsionis hotel tidak ada yang pernah mendengar nama Punthuk Setumbu.



Setelah membayar bea masuk 15 ribu/org, kami berjalan tersaruk-saruk meniti anak tangga diseling dengan jalan tanah setapak. Di beberapa titik ada lampu-lampu yang menerangi, tapi tetap disarankan membawa senter.

Para penduduk di bawah tadi mengatakan jarak dari bawah hingga puncak bukit hanya 350 meter.  Tapi 350 meter dengan berjalan mendaki tentu saja beda dengan jalan di tempat datar.  Napas tersengal-sengal sementara udara yang tadinya sejuk kini jadi terasa gerah.



celaka, sensor kamera saya tergores, tidak tertolong lagi
Akhirnya sampai juga di atas.  Penuh orang, bahkan spot-spot terbaik untuk memotret sudah diambil orang. Tak ada pilihan akhirnya saya memasang tripod di tempat tersisa.  Semburat merah matahari sudah mulai muncul di sela punggung gunung.

Sejenak kami menahan napas.  Momen matahari terbit ini memang selalu menakjubkan.  Puluhan kamera sigap memerangkap peristiwa ini.  Dan, beberapa menit kemudian dari sisi kanan tiba-tiba muncul sebentuk stupa, samar-samar tertutup kabut.  Itulah dia, BOROBUDUR.

Undak-undakannya terlihat remang-remang.  Namun nampaknya sang kabut mempertebal lilitannya pada candi ini, Borobudur pun kembali lenyap.  Para pemujanya yang sejak tadi menahan napas menunggu pintu kabut terbuka terpaksa menghembuskan lenguhan kecewa.

Menit demi menit berlalu, orang-orang masih setia menunggu di puncak, salah seorang di sebelah saya dengan logat Jawa yang khas berucap "Sabar ya, Bro,,harus sabar kalo nungguin ini"

Tiba-tiba kabut menipis sejenak sehingga bentuk Borobudur sempat terpampang lumayan jelas, tergesa-gesa saya dan juga puluhan orang lainnya mengabadikan moment singkat itu.  Benar saja kabut tebal segera bergulung menutup kembali, padahal matahari sudah hampir final mengeluarkan bulatan tubuhnya dari balik lekukan gunung.


Terus begitu berkali-kali sampai akhirnya cuaca mulai terasa panas dan alam pun terang benderang padahal baru pukul 6 lebih sedikit.

Sampai akhirnya di suatu titik kami merasa cukup dan mulai membereskan perlengkapan kamera.

Dari sini ada apa lagi? ada Gereja Ayam yang letaknya 15 menit jalan kaki dari tempat kami berdiri.  Puncak gereja yang berbentuk kepala ayam pun sudah terlihat dari sini.

15 menit jalan kaki? ya, tapi jalannya terjal dan masih berupa jalan setapak, maksudnya benar-benar selebar telapak kaki. Kanan kirinya hutan.

Menimbang medan yang becek akhirnya kami memutuskan untuk membatalkan niat ke gereja, bukan untuk ibadah loh,,,,:) karena gereja ayam sudah tidak dipakai lagi sebagai tempat ibadah, bahkan sudah diabaikan.

Sepatu sendal saya sudah bertambah tebal beberapa centi karena tanah yang becek bekas hujan deras kemarin.  Duh, rasanya tambah berat mengingat harus memanggul kamera beserta perlengkapannya.  Untung jalannya menurun, kami pun berjalan santai sambil melihat-lihat sekeliling.  Mobil-mobil pun mulai meninggalkan lokasi.



Desa Karangrejo ini ternyata tertata cukup rapi dengan rumah-rumah berbentuk limasan sederhana dan unik. Sampai di parkiran sempat berbincang sejenak dengan warga setempat yang juga penjaga parkiran sebelum akhirnya pamit pulang.

Selain Punthuk Setumbu, di Magelang juga ada klenteng kuno yang terletak di jalan Alun-Alun Selatan tepat di seberang alun-alun kota.  Klenteng Liong Hok Bio yang dibangun tahun 1864 oleh kapitan Bie Koen Wie, seorang pemuka masyarakat Cina di Magelang saat itu


Saat malam, bangunan ini tampak semarak dengan lampion, apalagi saat kami ke sana bertepatan dengan kota Magelang yang sedang bersiap menyambut ulang tahunnya.  Sayang hujan masih betah menemani, yang semula masih berupa titik segera berubah menjadi tetesan deras.

Selamat Ulang Tahun Magelang..







Tidak ada komentar: