Ikuti arah menuju Rengasdengklok..
Begitu petunjuk yang sedang saya ingat-ingat. Bukan,,kepergian ke Rengasdengklok bukan untuk menengok rumah tempat bung karno dan bung Hatta diculik para pemuda sebelum proklamasi kemerdekaan. Walau jika dipikir-pikir cocok juga saya ke sana menjelang Sumpah Pemuda
Setelah salah keluar di pintu tol Karawang timur,,, harusnya kita keluar di Karawang barat. Terpaksa putar balik dan masuk lagi ke pintu tol Karawang timur. Gara-gara salah ingat keluar di pintu tol sebelah mana, kami membuang waktu 30 menit.
Kelihatannnya tidak apa-apa, tapi menjadi apa-apa pada akhirnya nanti.
Tepat begitu keluar tol Karawang Barat, langsung terlihat plang : Candi Jiwa, 49 km..Wahh...cukup jauh. Ya, Candi Jiwa yang dikenal sebagai situs Batujaya kecamatan Pakis Jaya, Karawang.
Karawang bukan cuma dikenal sebagai lumbung padi atau goyangannya saja, tapi mulai dikenal sebagai tempat yang menyimpan peninggalan kuno di awal abad masehi, sebelum keberadaan kerajaan Tarumanegara. Di samping situs Cibuaya.
Mengikuti petunjuk, kami menuju
Rengasdengklok..lagi-lagi sempat salah arah. Harusnya belok kanan begitu sampai pertigaan, ini malah lurus. Untung saya segera menyadari ada yang tidak beres dan langsung memutar balik. Sebenarnya petunjuknya cukup jelas..namun jarak yang jauh bikin saya rada parno, dan berhenti beberapa kali untuk bertanya.
Akhirnya sampai di pasar Rengasdengklok yang kumuh. Untungnya karena hari sudah siang, kegiatan pasar sudah berakhir dan menyisakan sampah, namun jalanan tetap padat. kami menemukan lagi plang Candi Jiwa, masih 34 km lagi...hughhh..
Mobil berbelok mengikuti jalan, kali ini mengikuti sungai kecil dan jalan tak terlalu lebar namun cukup bagus, mengingat ini wilayah yang jauh dari kota Karawang.
Beberapa pemuda tampak tak malu-malu membuka pakaian dan terjun ke sungai, hari memang cukup panas. Membuat saya bertanya-tanya, apa mereka tidak punya kamar mandi dan memakai sungai sebagai MCK?
Melewati vihara, mobil terus maju, ada sedikit ruas yang sedang dibeton, sehingga kendaraan harus lewat bergantian, untunglah jalan ini tidak terlalu ramai, jadi tidak ada antrian panjang. Masih 14 km lagi.........hoshhh..!!!
Jalan raya di samping sungai ini seakan tak berakhir..kami sampai bosan, karena rasanya tidak sampai-sampai. Jalan kian menyempit beberapa saat sampai akhirnya ada plang yang meyakinkan Candi Jiwa di seberang jalan, lengkap dengan gapura...ahh..leganya...!!
Berbelok dan masih ada 500 meter lagi, ruas jalannya tidak begitu bagus namun masih layak dilalui mobil jenis sedan asal jangan yang ceper.
Tepat di kiri jalan ada bangunan baru bercat kuning yang ternyata adalah museum penyelamatan situs Batujaya, di situlah kami parkir. Belum ada pohon-pohon besar sebagai peneduh.
Seorang perempuan muda menghampiri kami, ternyata ia adalah pegawai museum. Hanya ada kami saat itu. Di museum ini terdapat artefak yang ditemukan di sekitar candi. Ada foto lempeng emas, aslinya disimpan di museum nasional, batu bata penyusun candi, patung-patung kecil dan perhiasan manik-manik. Ada beberapa ruas tulang juga tersimpan di situ.
Puas melihat-lihat, saya pamit menuju kumpulan candi yang terletak tepat di belakang museum. Sebelumnya saya diberi tahu bahwa pak Kaisin, juru kunci candi sedang berada di salah satu candi.
Jalan menuju candi sudah di semen selebar 1 meter, jadi kita tidak perlu melewati pematang sawah. Saat itu sawah sedang panen, tampak gundukan-gundukan berisi helaian gabah yang telah disabit diletakkan di pinggir-pinggir pematang, indah sekali ditambah para petani yang sibuk bekerja. Walaupun matahari bersinar terik tanpa ampun, kami tetap melangkah berbekal payung kecil.
Komplek candi Batujaya ini mempunyai luas sekitar 5 ha. Dari sejak penemuan tahun 1984 sudah ada 39 candi yang telah ditemukan yang semula berbentuk "unur" (tanah tinggi/gundukan). Tapi sepengamatan saya baru 2 candi yang benar-benar telah direkonstruksi. Bayangkan, pekerjaan selama hampir 30 tahun dan masih belum selesai, karena sudah pasti terkait anggaran. Bahkan Profesor Hasan Djafar yang semula memimpin team eskavasi kini telah pensiun meskipun masih sering datang.
CANDI JIWA
Candi ini yang terlihat paling rapi, berukuran bujursangkar sekitar 20mx20m. Pagar telah dibuat mengelilingi bangunan. Batu-batu penyusun candi terbuat dari bata merah. Ukurannya lebih besar dibanding bata merah jaman sekarang dan dahulu dibakar dengan menggunakan kayu sehingga tampak lebih halus. Bata jaman sekarang dibakar menggunakan sekam padi. Menurut bapak yang sedang bekerja di situ. Candi Jiwa ini memang tempat pemujaan agama Budha.
Jika hari raya Waisak, para biksu berkumpul di pelataran museum untuk kemudian bersama-bersama melakukan pradaksina di komplek Candi.
Tidak ada tangga menuju puncak candi. Sisi candi terkesan sederhana tanpa ada ornamen yang ramai.
Dinamakan candi Jiwa, menurut cerita orang-orang karena dulu saat masih berbentuk unur sering mengambil korban jiwa berupa hewan-hewan yang berdiri di atasnya.
Tampak air menggenang di sekeliling candi, menurut para pekerja harus segera dikeringkan karena ditakutkan merusak bangunan.
CANDI BLANDONGAN
Candi ini sedikit lebih luas dibanding candi Jiwa dengan arsitektur yang lebih unik. Lempeng-lempeng bata disusun sedikit menyerong satu sama lain sehingga membentuk pola tertentu.
Di candi ini terdapat tangga menuju puncak candi namun tentu saja tidak boleh dilewati mengingat kerusakan yang dapat ditimbukan oleh beban tubuh.
Pada pijakan candi, telah dilapisi dengan batu andesit buatan sekarang untuk menyamakan dengan batu andesit aslinya. Ternyata batu andesit di situs Batujaya dipakai sebagai tambahan bukan yang utama seperti candi Borobudur atau Prambanan.
Tumpukan bata-bata kuno menarik perhatian saya karena tergeletak begitu saja dan belum disusun, menurut bapak yang sedang bekerja di candi Blandongan, warga sekitar tidak berani mengambil bata-bata tersebut karena takut terkena tulah.
Ternyata para pekerja perbaikan candi adalah juga warga sekitar sehingga tak heran mereka menggunakan waktu luang setelah membereskan candi dengan menyabit di sawah masing-masing. Saat ini semua yang berhubungan dengan situs Batujaya ditangani oleh team arkeologi dari BPCB.
Sekitar area candi sungguh sangat cantik. Sawah yang panennya sangat berlimpah, 1 ha sawah mampu menghasilkan 6.5 ton gabah, demikian petani yang saya sapa sejenak menerangkan. Mungkin karena letaknya yang tak jauh dari sungai Citarum membuat pasokan air terjamin. Terlihat pula gerombolan bebek sedang asyik ngerumpi di sela-sela tanaman padi sambil bermain air.
Laut berada tidak terlalu jauh dari situs. Jaman dulu hanya berjarak sekitar 5 km, sekarang sudah mundur jadi 8 km. Mungkin itu yang dapat menerangkan mengapa ditemukan fosil kulit kerang pada bata candi.
Panas matahari semakin membakar. Sangat disarankan memakai lotion ber-spf tinggi jika ingin ke Batujaya.
Jam 2 siang kami meninggalkan candi.
Tepat saat kami beranjak dari parkiran, ada satu mobil yang baru saja datang, dan tak lama kemudian ada 2 motor touring menyusul memasuki halaman.
melewati jalan panjang tepian sungai. Dan sempat bertemu dengan rombongan sunatan.
Menarik sekali mereka menggunakan semacam liong seperti barongsai dengan warna dominan merah dan kuning.
Ada bentuk akulturasi budaya di situ, apakah karena adanya vihara dekat pemukiman yang jadi penyebabnya? Karena hampir sama sekali tidak terlihat budaya Karawang asli.
Sama sekali tidak rugi mengunjungi Batujaya. Walau jauh namun keberadaan situs tersebut seakan membuka mata bahwa Jawa Barat juga penuh peninggalan bersejarah dan mungkin sedikit menguak tabir misterius tentang minusnya peninggalan kerajaan besar di tatar Sunda
Begitu petunjuk yang sedang saya ingat-ingat. Bukan,,kepergian ke Rengasdengklok bukan untuk menengok rumah tempat bung karno dan bung Hatta diculik para pemuda sebelum proklamasi kemerdekaan. Walau jika dipikir-pikir cocok juga saya ke sana menjelang Sumpah Pemuda
Setelah salah keluar di pintu tol Karawang timur,,, harusnya kita keluar di Karawang barat. Terpaksa putar balik dan masuk lagi ke pintu tol Karawang timur. Gara-gara salah ingat keluar di pintu tol sebelah mana, kami membuang waktu 30 menit.
Kelihatannnya tidak apa-apa, tapi menjadi apa-apa pada akhirnya nanti.
Tepat begitu keluar tol Karawang Barat, langsung terlihat plang : Candi Jiwa, 49 km..Wahh...cukup jauh. Ya, Candi Jiwa yang dikenal sebagai situs Batujaya kecamatan Pakis Jaya, Karawang.
Candi Jiwa |
Karawang bukan cuma dikenal sebagai lumbung padi atau goyangannya saja, tapi mulai dikenal sebagai tempat yang menyimpan peninggalan kuno di awal abad masehi, sebelum keberadaan kerajaan Tarumanegara. Di samping situs Cibuaya.
Mengikuti petunjuk, kami menuju
Rengasdengklok..lagi-lagi sempat salah arah. Harusnya belok kanan begitu sampai pertigaan, ini malah lurus. Untung saya segera menyadari ada yang tidak beres dan langsung memutar balik. Sebenarnya petunjuknya cukup jelas..namun jarak yang jauh bikin saya rada parno, dan berhenti beberapa kali untuk bertanya.
Akhirnya sampai di pasar Rengasdengklok yang kumuh. Untungnya karena hari sudah siang, kegiatan pasar sudah berakhir dan menyisakan sampah, namun jalanan tetap padat. kami menemukan lagi plang Candi Jiwa, masih 34 km lagi...hughhh..
Mobil berbelok mengikuti jalan, kali ini mengikuti sungai kecil dan jalan tak terlalu lebar namun cukup bagus, mengingat ini wilayah yang jauh dari kota Karawang.
Beberapa pemuda tampak tak malu-malu membuka pakaian dan terjun ke sungai, hari memang cukup panas. Membuat saya bertanya-tanya, apa mereka tidak punya kamar mandi dan memakai sungai sebagai MCK?
Melewati vihara, mobil terus maju, ada sedikit ruas yang sedang dibeton, sehingga kendaraan harus lewat bergantian, untunglah jalan ini tidak terlalu ramai, jadi tidak ada antrian panjang. Masih 14 km lagi.........hoshhh..!!!
Jalan raya di samping sungai ini seakan tak berakhir..kami sampai bosan, karena rasanya tidak sampai-sampai. Jalan kian menyempit beberapa saat sampai akhirnya ada plang yang meyakinkan Candi Jiwa di seberang jalan, lengkap dengan gapura...ahh..leganya...!!
Berbelok dan masih ada 500 meter lagi, ruas jalannya tidak begitu bagus namun masih layak dilalui mobil jenis sedan asal jangan yang ceper.
Tepat di kiri jalan ada bangunan baru bercat kuning yang ternyata adalah museum penyelamatan situs Batujaya, di situlah kami parkir. Belum ada pohon-pohon besar sebagai peneduh.
Seorang perempuan muda menghampiri kami, ternyata ia adalah pegawai museum. Hanya ada kami saat itu. Di museum ini terdapat artefak yang ditemukan di sekitar candi. Ada foto lempeng emas, aslinya disimpan di museum nasional, batu bata penyusun candi, patung-patung kecil dan perhiasan manik-manik. Ada beberapa ruas tulang juga tersimpan di situ.
jalan penghubung antar candi |
Puas melihat-lihat, saya pamit menuju kumpulan candi yang terletak tepat di belakang museum. Sebelumnya saya diberi tahu bahwa pak Kaisin, juru kunci candi sedang berada di salah satu candi.
Jalan menuju candi sudah di semen selebar 1 meter, jadi kita tidak perlu melewati pematang sawah. Saat itu sawah sedang panen, tampak gundukan-gundukan berisi helaian gabah yang telah disabit diletakkan di pinggir-pinggir pematang, indah sekali ditambah para petani yang sibuk bekerja. Walaupun matahari bersinar terik tanpa ampun, kami tetap melangkah berbekal payung kecil.
Komplek candi Batujaya ini mempunyai luas sekitar 5 ha. Dari sejak penemuan tahun 1984 sudah ada 39 candi yang telah ditemukan yang semula berbentuk "unur" (tanah tinggi/gundukan). Tapi sepengamatan saya baru 2 candi yang benar-benar telah direkonstruksi. Bayangkan, pekerjaan selama hampir 30 tahun dan masih belum selesai, karena sudah pasti terkait anggaran. Bahkan Profesor Hasan Djafar yang semula memimpin team eskavasi kini telah pensiun meskipun masih sering datang.
CANDI JIWA
Candi ini yang terlihat paling rapi, berukuran bujursangkar sekitar 20mx20m. Pagar telah dibuat mengelilingi bangunan. Batu-batu penyusun candi terbuat dari bata merah. Ukurannya lebih besar dibanding bata merah jaman sekarang dan dahulu dibakar dengan menggunakan kayu sehingga tampak lebih halus. Bata jaman sekarang dibakar menggunakan sekam padi. Menurut bapak yang sedang bekerja di situ. Candi Jiwa ini memang tempat pemujaan agama Budha.
Jika hari raya Waisak, para biksu berkumpul di pelataran museum untuk kemudian bersama-bersama melakukan pradaksina di komplek Candi.
Tidak ada tangga menuju puncak candi. Sisi candi terkesan sederhana tanpa ada ornamen yang ramai.
Dinamakan candi Jiwa, menurut cerita orang-orang karena dulu saat masih berbentuk unur sering mengambil korban jiwa berupa hewan-hewan yang berdiri di atasnya.
Tampak air menggenang di sekeliling candi, menurut para pekerja harus segera dikeringkan karena ditakutkan merusak bangunan.
CANDI BLANDONGAN
Candi ini sedikit lebih luas dibanding candi Jiwa dengan arsitektur yang lebih unik. Lempeng-lempeng bata disusun sedikit menyerong satu sama lain sehingga membentuk pola tertentu.
Di candi ini terdapat tangga menuju puncak candi namun tentu saja tidak boleh dilewati mengingat kerusakan yang dapat ditimbukan oleh beban tubuh.
Pada pijakan candi, telah dilapisi dengan batu andesit buatan sekarang untuk menyamakan dengan batu andesit aslinya. Ternyata batu andesit di situs Batujaya dipakai sebagai tambahan bukan yang utama seperti candi Borobudur atau Prambanan.
Tumpukan bata-bata kuno menarik perhatian saya karena tergeletak begitu saja dan belum disusun, menurut bapak yang sedang bekerja di candi Blandongan, warga sekitar tidak berani mengambil bata-bata tersebut karena takut terkena tulah.
Ternyata para pekerja perbaikan candi adalah juga warga sekitar sehingga tak heran mereka menggunakan waktu luang setelah membereskan candi dengan menyabit di sawah masing-masing. Saat ini semua yang berhubungan dengan situs Batujaya ditangani oleh team arkeologi dari BPCB.
Sekitar area candi sungguh sangat cantik. Sawah yang panennya sangat berlimpah, 1 ha sawah mampu menghasilkan 6.5 ton gabah, demikian petani yang saya sapa sejenak menerangkan. Mungkin karena letaknya yang tak jauh dari sungai Citarum membuat pasokan air terjamin. Terlihat pula gerombolan bebek sedang asyik ngerumpi di sela-sela tanaman padi sambil bermain air.
bebek rumpi |
Laut berada tidak terlalu jauh dari situs. Jaman dulu hanya berjarak sekitar 5 km, sekarang sudah mundur jadi 8 km. Mungkin itu yang dapat menerangkan mengapa ditemukan fosil kulit kerang pada bata candi.
Panas matahari semakin membakar. Sangat disarankan memakai lotion ber-spf tinggi jika ingin ke Batujaya.
Jam 2 siang kami meninggalkan candi.
Tepat saat kami beranjak dari parkiran, ada satu mobil yang baru saja datang, dan tak lama kemudian ada 2 motor touring menyusul memasuki halaman.
melewati jalan panjang tepian sungai. Dan sempat bertemu dengan rombongan sunatan.
Menarik sekali mereka menggunakan semacam liong seperti barongsai dengan warna dominan merah dan kuning.
Ada bentuk akulturasi budaya di situ, apakah karena adanya vihara dekat pemukiman yang jadi penyebabnya? Karena hampir sama sekali tidak terlihat budaya Karawang asli.
Sama sekali tidak rugi mengunjungi Batujaya. Walau jauh namun keberadaan situs tersebut seakan membuka mata bahwa Jawa Barat juga penuh peninggalan bersejarah dan mungkin sedikit menguak tabir misterius tentang minusnya peninggalan kerajaan besar di tatar Sunda
1 komentar:
Aku pern ake renasdengklok tapi ngak tau kalo ada situs peninggalan sejarah begini.
Kapan lalu datang cuman mau makan siang ikan bakar yg sangat terkenal di karawang hahaha
Posting Komentar