18 Oktober 2013

Polemik : Soekarno vs Natsir

Ada perdebatan klasik namun tetap merupakan tema sensitif, sampai saat ini.

2 tokoh utama pelaku debat ini telah lama meninggal dan mereka meninggalkan poin-poin yang akan dilanjutkan oleh para pendukungnya baik secara politik maupun dengan kekuatan bersenjata. Dan sekarang polemik negara Islam muncul dalam bentuk tesis dan dibukukan.

Soekarno dan Natsir, dua orang yang lahir di jaman yang sama namun dibesarkan dengan cara yang sama sekali berbeda. Lingkungan dan kondisi berbeda itulah yang menyebabkan cara pandang dan pola pikir berlainan dalam menyikapi negara Islam.


Soekarno dikelilingi oleh budaya Jawa yang kental dimana wayang menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi masyarakat penganut kejawen.  Hal itu pun berlaku bagi Soekarno. Ayahnya merupakan penganut kejawen dan juga Teosof. Ia mengenalkan wayang pada putranya dari usia dini.

Dalam pengaruh lingkungan kejawen tradisional dan Teosof Soekarno tumbuh. Pun, ia menjalankan masa pendidikan formalnya dalam sekolah Belanda. Soekarno berkembang dalam perpustakaan yang memuat karya-karya para pemikir Barat.  Ia memiliki kegemaran membaca karya-karya mereka dan mengembangkan dalam polanya sendiri.



Cara pembelajaran yang mandiri seperti itu memang meninggalkan jejak yang berbeda bila dibandingkan dengan rekan sejawatnya yang khusus mempelajari disiplin ilmu hukum dan ekonomi sampai negeri Belanda.

Sintesa pemikiran yang kerap kali dianggap campur aduk.  Satu hal yang menjadi catatan khusus, Soekarno tidak dibesarkan dalam lingkungan keislaman.

Ketertarikan akan Islam justru dimulai saat mondok di rumah Tjokroaminoto dimana rumah Tjokro memang menjadi terminal lintas pemikiran dari Marxis, liberal dan Islam. Tjokro sendiri seorang muslim namun lebih piawai dalam menerapkan Islam politis.

Rasa tertarik akan Islam memang membawanya berdiskusi secara mendalam dengan tokoh-tokoh Islam dan membaca karya-karya para orientalis barat yang justru banyak ditentang oleh tokoh-tokoh Islam.

Sementara Mohamad Natsir menjalani masa kecil di Alahan Panjang Sumatera Barat. Abad 20 Sumatera Barat menjadi lahan subur bagi revitalisasi Islam yang sudah dirintis oleh Haji Piabang, Haji Sumanik dan Haji Miskin. Adat yang menyatu dengan Islam membuat Natsir kecil sudah dididik dalam nuansa ke-Islaman yang kental.

Seperti halnya Soekarno, Natsir juga bersekolah di sekolah didikan Belanda sehingga keduanya mempunyai etos kerja dan disiplin yang ketat.

Pengalaman politik Natsir pun tak lepas dari tokoh-tokoh Islam seperti Ahmad Hasan dari Persis, keaktifannya di Jong Islamieten Bond memperkokoh pandangannya tentang Islam.

Soekarno dengan ideologi nasionalis yang kerap disebut sekuler sementara Natsir dengan keyakinannya tentang Islam yang harus menjadi pedoman kehidupan bernegara.

Soekarno dan Natsir memang tidak sendirian dalam perdebatan ini.  Sebelumnya pun sudah ada pertentangan di antara  pemeluk kedua ideologi ini.  Masing-masing membawa persepsi buruk tentang ideologi lawannya.

Soekarno beranggapan Islam yang sekarang adalah Islam yang mandeg dalam berpikir, penuh tahayul maka dari itu dibutuhkan penafsiran ulang menyeluruh.  Sedikit banyak Soekarno terpengaruh oleh cara pandang para orientalis barat tentang Islam.  Soekarno pun mendukung netralitas negara dalam agama. Baginya yang terpenting negara menghormati keyakinan tiap penduduknya. Kekuatiran terbesar Soekarno adalah jika Islam digunakan untuk membenarkan tindakan penguasa apabila diformalisasi  sebagai dasar negara.

Kebalikan dari cara pandang yang demikian, Natsir justru meyakini bahwa Negara tidak dapat dan tidak boleh netral.  Menurutnya antara Islam dan kehidupan formal bernegara justru saling berkaitan.  Natsir mencemaskan jika sendi-sendi kehidupan bernegara steril dari agama, dikuatirkan masyarakat akan jauh dari norma kemanusiaan karena negara dengan alasan kesterilan itu justru absen saat warga butuh kepastian tentang hal-hal yang berhubungan dengan agama.

Setelah proklamasi, memang kelompok nasionalis sekuler berhasil meraih dukungan untuk tidak mendasarkan negara pada hukum Islam.  Namun Soekarno sebenarnya bukanlah manusia yang murni menggenggam sekularisme. Karena memang manusia Indonesia disadari atau tidak selalu percaya akan adanya kekuatan diluar batas kemanusiaan.  Akan selalu ada sisi religius dalam pola pikir manusia Indonesia.

Dan Natsir pun jika masih hidup saat ini mungkin akan melihat negara Indonesia yang secara formal memang tidak berpegang pada hukum Islam namun pada akhirnya menjadi kesepakatan tidak tertulis bahwa hampir semua seremoni kehidupan bernegara baik formal dan non formal mengambil tatacara Islam sebagai yang utama, baru kemudian diikuti oleh tatacara agama lain.

Mungkin juga karena itu, kita setuju dengan Pancasila sila pertama yaitu tetap mendudukan Tuhan sebagai yang Utama dalam Ketuhanan Yang Maha Esa.

Jika diamati lebih lanjut yang mengkhawatirkan sekarang justru bukan soal penetapan dasar negara Islam atau tidak, namun tingkah laku para pemuka agama yang justru menyimpang jauh dari nilai-nilai keislaman yang digembar-gemborkan.

Suka atau tidak tingkah laku para petinggi partai Islam pun setali tiga uang dengan partai sekuler.  Jadi rasanya tidak relevan jika kita masih meributkan dasar negara yang katanya harus Islam sementara tingkah laku ideal yang diharapkan dari para pemimpin umat Islam sama sekali tidak kita dapatkan.


Namun saya sangat salut dengan penulisan ini, yang meneropong tema perdebatan dari sudut yang lebih jernih. Pemihakan terhadap salah satu pihak saya kira sangatlah wajar mengingat topik bahasan tidak bisa tidak merupakan pedoman hidup bagi mayoritas rakyat Indonesia.  



Tidak ada komentar: