21 Oktober 2013

Walahar dan Jatiluhur : Kisah Dua Bendung

Jalan Rawa Ungu di samping jalan tol Karawang terasa lengang.  Berbeda sekali dengan situasi pintu keluar tol Karawang Timur yang cukup penuh dengan antrian truk.  Mobil kami nampak seperti kotak sabun di tengah kepungan container.
Pintu Air di Rawa Ungu

Mobil berjalan menyusuri jalan aspal yang tidak terlalu mulus. Sekarang baru pukul 06:00 pagi.  Berarti dari Sawangan hanya butuh 1.5 jam untuk mencapai Karawang, itu pun sudah sekalian mampir di rest area untuk sekedar mengisi perut.



jalan raya ini juga bersisian dengan sungai kecil yang merupakan cabang dari sungai Citarum yang tak jauh lagi lokasinya.









Saya segera tertarik dengan pintu air kuno bercat kuning dengan pondasi batu kali...bukan...itu bukanlah bendung Walahar tapi memang bagian dari bendung Walahar.  Mobil pun berhenti saya segera turun dan mengambil foto.  Saya melangkah maju dengan hati-hati karena di rerumputan tepi sungai terserak kotoran hewan, jangan sampai salah injak.


Puas menjepret, kembali mobil berjalan menuju bendung Walahar, cukup susuri saja jalan Rawa Ungu dan belok kanan setelah sampai ujung dan terlihat lorong bendung Walahar yang berfungsi juga sebagai jalan umum, menghubungkan dengan sisi seberangnya.  Hanya muat satu mobil jadi harus gantian, ditambah plang yang berada tepat di muka lorong sangatlah ngepas, jadi benar-benar harus pintar ambil ancang-ancang untuk mobil agar bisa muat dan tidak menggores spion.

Bendung Walahar bercat kuning terang, telah setia berdiri membelah sungai Citarum sejak tahun 1925 menjalankan fungsinya sebagai pengatur irigasi sawah-sawah di daerah Karawang seluas lebih dari 87,000 ha.

Di sisi lain bendung Walahar ada tempat yang dipagari besi sepertinya untuk mengamankan kendali baja yang mengatur pintu bendung.

Karena hari masih pagi maka warung-warung yang ada di sekitar jalan menuju bendung masih tutup. Kalau kita datang lebih siang lagi, bisa jadi akan macet karena para pedagang memenuhi sisi jalan yang sempit.

Di seberang bendung melintasi lorong jembatan, ada rumah makan pepes ikan jambal Walahar H. Dirga yang telah kondang di seantero Indonesia, apakah kita akan ke sana?....sayang sekali tidak, karena jam menunjukkan masih pukul 06.30 sehingga kita memutuskan memarkir mobil di pinggir sungai Citarum karena saya masih ingin memotret jembatan baja tak jauh dari bendung, sementara anak dan suami tidur-tiduran di mobil, menikmati suasana yang tenang dan sejuk.

Pemandangan sungai Citarum yang cukup lebar dengan air yang mengalir tenang cukup mengesankan, ada sedikit eceng gondok yang mulai memenuhi tepian sungai.

Sebenarnya Walahar ini hanya tempat singgah, tujuan kami sebenarnya adalah waduk Ir. Juanda atau yang biasa dikenal dengan PLTA Jatiluhur di daerah Purwakarta.  Karawang dan Purwakarta memang bertetangga dekat.


Nama Jatiluhur sering ditemukan di buku-buku pelajaran jaman SD dulu.  Kita mengingatnya sebagai proyek jaman orde baru, padahal pembangunannya sudah dimulai tahun 1957.  Butuh waktu 10 tahun untuk menyelesaikan waduk terbesar di Indonesia  yang disebut mirip bendungan Aswan di Mesir itu.

Bicara tempat wisata waduk Jatiluhur adalah daerah pinggir waduk yang memang khusus dibuka untuk masyarakat umum sebagai tempat wisata dan juga budidaya perikanan rakyat. 

Tapi tujuan kami pertama adalah menuju dinding turbin, pusat pengendali yang berada di tengah waduk yang tidak dibuka untuk umum.

Resminya, tentu saja kami tidak diijinkan, namun oleh satpam penjaga kami diijinkan masuk dengan diantar motor, tentu saja ada tarif serelanya.  Maka meluncurlah kami dengan motor pinjaman, menuruni jalan berbukit menuju jalan kecil beraspal yang menjorok ke tengah danau ke bangunan baja berbentuk bulat yang ternyata adalah turbin raksasa.  Bukan main!!!...
MORNING GLORY

Matahari bersinar sedemikian terik karena memang tidak ada pohon.  Di turbin baja itu ada beberapa pekerja yang sedang bertugas.  Salah seorang pengawas melihat kami datang segera menyapa dengan ramah dan mempersilakan untuk melihat di sekeliling turbin dengan menyeberangi jembatan.  Tanpa pikir panjang saya mengikuti langkahnya.  Kami menelusuri menara pelimpah yang kerap disebut morning glory. 

Saat ini debit air masih di bawah titik siaga sehingga volume air tidak sampai melewati jendela morning glory.

Pak pengawas sebut saja Pak Endang bercerita singkat tentang Jatiluhur yang semula dibangun untuk irigasi sekaligus pembangkit listrik se Jawa-Bali.  Kalau sekarang tugas Jatiluhur sebagai pembangkit listrik sudah dibantu oleh beberapa PLTU jadi tidak begitu berat lagi.  Waduk ini juga merupakan kerjasama dengan perusahaan Perancis.

"Kalau buatan Jepang sih udah jebol dari dulu-dulu, mbak..." demikian pak Endang berseloroh.

kata beliau lagi, untuk pengujian kekuatan bangunan turbin ini digunakan dinamit berkekuatan tinggi.

Ada 33 insinyur yang bekerja dalam turbin yang terletak di bawah permukaan air, bisa dibayangkan seperti apa kekuatan beton baja bangunan ini mengingat harus menahan jutaan kubik volume air.

Tercium bau tidak sedap dari air waduk dan ternyata menurut pak Endang disebabkan oleh pencemaran akibat kegiatan budidaya ikan yang berlebihan.  Limbah sisa pelet ikan mencemari air sehingga berpengaruh terhadap baku mutu air.

Puas melihat-lihat, kami segera berpindah tempat, kali ini menuju tempat wisatanya.  Mencari tempat parkir yang pas, lalu turun dan menuju...stasiun monorel!!!  yap, stasiun monorel yang sedang dibangun di Jakarta itu sudah ada lama di Purwakarta, berupa jalur rel berkelok di atas tiang pancang setinggi lebih dari 7 meter, dan untuk melaluinya kita menaiki kereta yang dikayuh dengan biaya 15 ribu rupiah..hahahahha.. 



Tapi benar-benar bikin jantung deg-degan bayangkan mengayuh wahana meluncur di atas baja yang tipis di atas ketinggian, kereta itu  merayap, tidak ada seat belt, hanya di tutup dengan tali.  Bayangkan kalau bajanya keropos di tengah, bisa terjun bebas ini...ngeri sih,,,,blogger-emoticon.blogspot.com

Kami singgah beberapa saat di sini, bermain layangan dan minum es kelapa muda.  Tidak begitu ramai sebenarnya.  Ada aktivitas penyewaan perahu baik untuk pesiar maupun untuk menyeberang






Hampir jam makan siang, kami beranjak pergi mencari tempat makan.  Sate Maranggi Cibungur yang sudah demikian tersohor menjadi pilihan.  Melewati pusat kota Purwakarta dan kebun karet, mobil melaju sebelum akhirnya berbelok di tempat luas, dengan pohon-pohon rindang. 

Tempatnya mirip hanggar pesawat di Halim...:) terbuka lebaaarrr.   Tapi satenya memang luar biasa.  Daging kambing, sapi atau ayam dimarinasi lebih dahulu sebelum dibakar dan dihidangkan dengan tomat segar dan cabai, tanpa bumbu kacang.  Jadi benar-benar mengandalkan rasa bumbu pada daging.  Pokoknya sungguh juara umum.

Beroperasinya tol Cipularang nampaknya tidak berpengaruh terhadap penjualan, terbukti pengunjung tetap berlimpah ruah nyaris tanpa henti, tapi pelayanan tetap cepat karena pelayannya banyak banget..  kami pesan sate maranggi kambing dan sapi.


Harga per porsinya 30 ribu rupiah,, rada pricey..tapi layak kok. Sop kambingnya juga enak, wortelnya segar krenyes-krenyes, kuahnya bersih tanpa jejak lemak berlebih, pas pokoknya. Nasinya dibungkus daun pisang, jadi pas dibuka tercium bau harum,,hmhhhffff.

Capek memotret, ditambah harus berlari-larian main layangan membuat saya makan banyak,,,Alhamdulilah.  Sekarang bersiap kembali ke rumah. 




Tidak ada komentar: