11 Desember 2012

Pergulatan Tionghoa Muslim


Jika masih teringat pasca kerusuhan tahun 1998, banyak toko, warung atau ruko yang ditempeli tulisan "100% milik pribumi dan Islam".  Hal-hal yang mendasari pikiran si pemilik usaha untuk menuliskan hal tersebut tak lepas dari kondisi psikologis masyarakat terutama dari etnis Tionghoa yang menjadi sasaran amuk masa.

Menjadi Tionghoa di Indonesia sebelum tahun 1998 harus diakui penuh dengan diskriminasi politik.  Negara beserta aparatnya justru menjadi agen utama yang secara sadar merumuskan sejumlah peraturan yang mengebiri hak warga negara dari etnis tersebut.  Larangan menjadi pegawai negeri dan berpartisipasi aktif dalam politik diterapkan selama puluhan tahun.

Asimilasi yang dipaksakan menjadi keharusan.  Mereka bahkan diharuskan memilih satu dari lima agama yang diakui oleh pemerintah dengan mengabaikan budaya asal.  Tidak peduli mereka telah tinggal di Indonesia ratusan tahun sehingga tidak mengenal lagi negeri Cina, tetap diwajibkan memiliki SKBRI.

Pemberontakan PKI 1965 menjadi dasar pembalasan dendam terhadap segala sesuatu yang berbau Cina.


Jika ditarik benang merah, pengabaian terhadap hak-hak etnis Tionghoa merupakan kelanjutan dari peristiwa Geger Cina di tahun 1740, dimana VOC berusaha membatasi jumlah etnis Cina yang kian membengkak di Batavia.

Sebenarnya kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara merupakan salah satu unsur esensial dalam pembentukan budaya yang sampai kini diakui

Islam yang menjadi agama mayoritas warga negara Indonesia, justru banyak disebarkan oleh ulama dan pedagang Cina.  Budaya batik juga diperkenalkan oleh bangsa Cina.

Tercatat kerajaan islam Demak didirikan oleh keturunan Tionghoa, Raden Patah.  Tidak dapat diabaikan kedatangan Laksaman Cheng Ho yang juga untuk menyebarkan Islam di tanah Jawa.

Bahkan sejarawan sekaliber de Graaf menyimpulkan bahwa perkembangan masyarakat Pribumi Jawa akan sulit digambarkan tanpa menyebut pengaruh orang-orang Tionghoa ini.  Bahkan untuk tingkat paling sederhana, kehadiran para pendatang Tionghoa bisa jadi memicu lahirnya budaya pesisir yang khas.

Namun sejarah keselarasan antara Tionghoa dan Islam justru terkubur oleh stigma negatif yang ditiupkan oleh Belanda dengan mengadakan pembatasan tempat tinggal berdasarkan etnis serta pelarangan warga Tionghoa bergaul dengan pribumi, akibat Geger Cina yang merambat menjadi pemberontakan di kerajaan Mataram Jawa Tengah.

Kebijakan pengisolasian tempat tinggal ini diambil untuk mencegah kemungkinan terjadi lagi penggabungan etnis Tionghoa dengan pribumi untuk melawan pemerintah Belanda.  Dan selanjutnya muncullah pemutarbalikan sejarah yang impactnya terasa sampai sekarang.

Stereotype etnis Tionghoa sebagai economic animal, eksklusif, pelit dan tidak mau membaur terpatri demikian kuat dalam benak masyarakat pribumi.  Sadar atau tidak, kondisi ini tetap dipertahankan oleh pemerintah orde baru guna mengendalikan rakyatnya.

Membaca buku mengenai pergulatan muslim Tionghoa, terpapar cukup jelas beragam latar belakang etnis Tionghoa memilih Islam sebagai agama mereka.  Suatu keputusan yang melahirkan konsekuensi baik dari sesama etnis atau dari lingkungan sekitar mereka yang mayoritas pribumi.

Islam sendiri yang diidentifikasikan sebagai agama pribumi.  Pribumi sendiri di mata orang Tionghoa dipandang sebagai pribadi yang malas, penuh rasa iri.  Islam sebagai agama mayoritas pribumi di Indonesia dengan sendirinya dianggap sebagai agama yang penuh dengan kekerasan.  Namun Islam juga yang dianggap sebagai salah satu jalan untuk melepaskan diri dari tekanan politik pada masa itu.

Pembalikan fakta dengan menggunakan tema rasial ini sangat luar biasa dampaknya.  Hasilnya adalah diskriminasi rasial yang panjang. 

Dalam buku "Identitas Tionghoa Muslim Indonesia" digambarkan bagaimana etnis Tionghoa berjuang memperoleh dalam memperoleh pengakuan sebagai warga negara antara lain dengan berganti 
kepercayaan menjadi Muslim.

Banyaknya orang Tionghoa yang meninggalkan agama asli dan beralih ke agama Islam dengan sebab alami akibat lingkungan pergaulan yang mayoritas muslim, bisa juga karena melalui tahapan pencarian iman atau karena memang didikan keluarga yang terdiri dari Tionghoa dan pribumi yang lebih cenderung mendekat ke pergaulan pribumi.

Tercatat tokoh-tokoh pendorong asimilasi seperti Junus Yahya dan Hembing Wijayakusuma.  Di antara mereka berdua terdapat perbedaan pandangan tentang bagaimana seharusnya asimilasi terlaksana.

Beberapa tokoh dari etnis Tionghoa muslim yang diwawancarai mempunyai pandangan berbeda-beda dalam memandang status ke-Cina-an mereka.  Beberapa dari mereka berusaha menghapus identitas yang mengarah pada asal etnis mereka karena menginginkan perlakuan yang lebih baik dari lingkungan sekitar yang mayoritas pribumi.

Sementara ada yang tidak merasakan gangguan apapun terhadap status etnis mereka.  Bahkan mereka diterima sangat baik oleh tetangga mereka yang pribumi.

Dari buku tersebut juga dapat dirasakan betapa masyarakat masih beranggapan bahwa orang Cina yang menjadi muslim itu adalah orang Cina yang telah sadar serta adanya dualisme dalam mengekspresikan identitas mereka sebagai muslim dan sebagai orang Tionghoa tergantung dengan siapa mereka berinteraksi.

Sementara para Tionghoa muslim ini seringkali juga harus menghadapi resiko terusir dari keluarga besar akibat pandangan negatif tentang Islam.  Sehingga mereka mengalami keadaan double minority; minoritas di dalam minoritas.

Pasca reformasi 1998, Etnis Tionghoa memperoleh kebebasan kembali untuk mengekspresikan kondisi kultural mereka.  Mungkin yang secara alami telah lebih dekat ke masyarakat pribumi tidak begitu merasakan kebebasan kultural tersebut.

Tapi secara umum kebijakan Gus Dur untuk mengubah peraturan kewarganegaraan bagi etnis Tionghoa sangatlah disyukuri.  Kebijakan tersebut mencerminkan bahwa pemerintah berniat mengubah paradigma lama yang berusaha mengaburkan ragam identitas kultural dalam homogenitas budaya menjadi suatu pengakuan akan keberagaman kultural yang menjadi menyusun kebudayaan Indonesia.

Adapun memang keleluasaan etnis Tionghoa dalam mengekspresikan kulturalnya bisa berakibat pada sebagian dari mereka yang selama ini tiarap justru menumbuhkan eksklusivitas dalam beberapa segi. namun hal itu tetap tidak mengurangi dampak positif dari pencabutan peraturan kewarganegaraan tersebut.

Negara akhirnya mengakui hak-hak warganya yang berasal dari etnis berbeda namun apakah stigma yang telah tertanam ratusan tahun itu bisa dihilangkan itulah yang menjadi pekerjaan rumah bagi setiap warga negara Indonesia.





1 komentar:

Anonim mengatakan...

inti nya kembali toleransi umat beragama tanpa memandang ras suku dan ragam kulit