24 Agustus 2011

Tulisan Indra tentang Ical

Membaca link dari twitter Indra J. Pilliang mengenai tulisannya tentang Aburizal Bakrie.

Memang tidak ada salahnya mempunyai opini sendiri tentang sosok Aburizal yang digambarkan dalam tulisan itu sebagai seseorang yang tepat sebagai calon Presiden.



Namun aneh bagi intelektual sekelas Indra Pilliang untuk begitu naif melihat Aburizal seperti tetangga sebelah rumah yang kebetulan nyapres.  Ini bukanlah tulisan untuk majalah Gaya Hidup dimana subyek tulisan dilepaskan dari atribut seorang pebisnis sekaligus etikanya.

Jika Indra menuliskan bahwa dalam kasus Lapindo, Ical bukanlah pelaku bisnis dan penanggung jawab dari Lapindo Brantas, rasanya cukup menggelikan mengingat Ical adalah sentral dari seluruh perusahaan Bakrie.

Saya membandingkan dengan kasus Bank Summa, beberapa belas tahun yang lalu, dimana bank itu kolaps di tangan Edward Soeryadjaja akibat pemberian kredit berlebih terhadap perusahaan dari grup yang sama.  Menghadapi itu, William Soeryadjaja, sang ayah turun tangan dan menjadikan dirinya sebagai personal guarantee

21 Agustus 2011

Menyusuri Kota Kota Pantura (2)

Dari Malang, sepakat untuk menuju Bromo...Ternyata jalan jalan di kota Malang lumayan padat di siang hari, saya berkali kali harus berpindah jalur karena banyak sekali persimpangan dengan lampu merah.

Menuju Bromo dengan kondisi mobil yang bukan 4WD disarankan melewati Pasuruan menuju Probolinggo, karena jalannya mendatar.

Jalan di luar kota memang relatif mulus dan lebar di kiri kanan masih banyak lahan kosong yang meranggas karena kemarau atau lokasi pabrik.

Saya berusaha mengingat liputan jalan pos Anyer-Panarukan tentang keadaaan kota kota yang dilewati jalan itu, persis sama.  Di sisi lain pabrik pabrik besar bermunculan tapi hampir tidak perubahan significant terhadap taraf kehidupan warga yang tinggal di sekitar pabrik.  Hampir sama dengan apa pernah dikatakan Pramoedya dalam bukunya Jalan Pos Jalan Daendels.  Tanah tergadai, sementara janji janji peningkatan kesejahteraan tidak pernah terpenuhi

Entah kenapa,,,tiba tiba saya mengantuk, apakah pengaruh tidur yang tidak teratur, ditambah bahu yang masih nyeri.  Tidak mau mengambil resiko saya minta digantikan menyetir.

Begitu pindah kursi, saya segera menyetel posisi kursi dan tidur lumayan pulas, terbangun saat jalan mulai menanjak, ternyata sudah mencapai probolinggo dan mulai mendaki arah Bromo.  Penginapan Bromo Permai II ternyata sudah lewat.  Megerikan melihat jalan sempit menanjak curam ditambah tidak ada pengaman di sisi jalan, sehingga dengan leluasa dapat melihat jurang yang menganga.  Tapi pemandangannya sungguh menakjubkan

Lava View penginapan yang sudah dibooking terletak di Cemoro Lawang, pintu gerbang terdekat dari gunung Bromo.  Apa daya, 5 km dari Cemoro Lawang, nyali sudah ciut melihat jalan yang makin sempit dan curam.  Terpaksa berhenti.

Kepongahan orang kota dengan kartu ATM dan kartu debit terpaksa harus dibuang jauh jauh karena hotel yang ada di tempat itu tidak dapat menerima transaksi gesek.  Penginapan itu cukup layak kamarnya, tipe standard dihargai Rp 350.000/malam, bisa lebih murah saat low season.  Hari ini adalah hari terakhir Kesadha, sehingga harga kamar lebih tinggi karena banyak wisatawan yang datang.  ATM terdekat berada 20 km di bawah!!!!. ditambah tidak ada yang membawa sepatu untuk menghadapi pasir Bromo bisa dibayangkan kaki bersendal tipis harus menginjak pasir lumayan pekat, walau masih berada di punggung gunung..

Setelah berpikir, nampaknya Bromo bukan jodoh kali ini.  Diputuskan untuk menuju Surabaya, sesuatu yang tidak masuk dalam rencana. Mengambil arah Surabaya, ternyata melewati suatu tempat bernama Madakaripura.  Ah tempat ini sebenarnya pernah menghiasi mimpi mimpi saya, Air terjun bernama Madakaripura, di sana kabarnya Gajah Mada bertapa untuk membuka shima (tanah) yang dihadiahkan kepadanya oleh Hayam Wuruk tak jauh dari air terjun tersebut, daerah Tongas. 

Melewati Bangil yang terkenal dengan bordirannya, akhirnya sampai ke suatu jalan dimana rumah rumah di sepanjang jalan tampak lapuk dan tidak ditinggali, rupanya ini jalan raya Porong.  Sebelumnya sempat akan memasuki jalan tol arah Surabaya dari Gempol, namun orang orang yang bergerombol di sudut jalan tampak mengacung acungkan tangan, tidak tahu maksudnya apa, hanya bisa mengira ngira setelah itu.

Kembali pandangan diarahkan ke sisi kanan, ternyata itu tanggulnya,,bukan main tanggul setinggi itu bagaimana kalau jebol,. Ada spanduk terpentang, "REVOLUSI DARI PORONG".  Hanya bisa menghela nafas melihat keadaan kota.  Membayangkan berapa banyak usaha yang bangkrut.  Orang yang menjadi gila akibat bencana ini.

18 Agustus 2011

Menyusuri Kota Kota Pantura (1)

Terpikat dengan ekspedisi Anyer Panarukan, yang membuat saya ingin menyusuri kota kota di pantai utara Jawa. Namun tentu saja berlainan dengan ekspedisi yang dokumentasinya tercatat rapi begitu pula dengan kota kota yang akan dikunjungi telah terencana baik, tour yang saya lakukan terasa berantakan, ada tempat yang tidak jadi dikunjungi karena keterbatasan waktu dan daya dukung mobil yang hanya sebesar 1500 cc.  Banyak foto yang kabur karena diambil dari mobil yang berkecepatan tinggi, ditambah saya juga memegang kemudi, tidak mungkin berkonsentrasi mengambil gambar.

Bosan dengan kota kota yang seragam ala Jabodetabek, menguatkan niat saya untuk segera mengimplementasikan impian ini.  Jika Anyer - Panarukan berjarak sekitar 1.100 km, maka jarak tempuh yang saya lakukan adalah sekitar 800 km lebih.

Bandung dan Jogja, tidak perlu diceritakan lagi, kota kota ini merupakan kota utama dengan tingkat pembangunan infrastruktur yang padat.  Padat dengan mall walaupun di Jogja masih cukup kental dengan tradisi.  Itu mungkin yang membuat saya merasa betah di Jogja.

Dari Jogja, tujuan diarahkan ke malang, melewati Solo, Ngawi, Nganjuk, Kertosono, jalan yang lebar dan sepi melewati hutan Jati di Ngawi, singgah ke rumah makan yang cukup besar di jalan raya Ngawi karena Asyar puasa setengah hari.  Kota Ngawi sepi karena bulan puasa mungkin, namun tetap ada denyut teratur dari pusat kota. Sering berpapasan dengan truk truk besar, namun karena kondisi jalan yang sepi lebih mudah untuk mendahului.

Melewati jalan arteri kecil menuju Batu, berpapasan dengan sepeda motor pengangkut hasil bumi, Ibu Ibu yang memanggul jerami, tidak ada minimarket berjaringan, lebih banyak toko kecil dan warung, malah bagus begitu.

Saya memusatkan perhatian penuh pada kemudi saat jalan menanjak dan berkelok tajam di batu. Batu lebih indah dari Puncak.  namun hari sudah mulai gelap, celaka,,saya paling takut jika menyetir malam hari apalagi di rute yang penuh dengan kelokan tajam.  Dalam hati berdoa semoga masih ada sinar matahari saat jalur ini kelar dilalui.  Ternyata bisa, gelap benar benar turun saat mencapai Malang. sayang sekali tidak dapat melihat kota ini dengan jelas saat malam.  Hotel saya berada di jalan cerme, yang merupakan Mentengnya Malang.  Sebuah hotel bergaya kolonial dibangun tahun 1930, bekas kantor RRI kalau tidak salah.  Kita berbuka di Depot (Dapur?) Kanton, yang menyajikan masakan cina dengan porsi fantastis besarnya, walaupun rasanya standar.  Saya yang tidak bernafsu saat buka puasa masih mencari cari sesuatu...ternyata tepat di seberang hotel ada cafe yang nyaman, Club sandwichnya sedap, menyesal tidak dari tadi ke sini.

Di Malang inilah saya teringat kembali dengan legenda Oey Tiong Ham, seorang taipan gula Asia Tenggara yang berasal dari Semarang. Jika Rockefeller adalah Raja minyak awal abad 20, Oey Tiong Ham adalah Raja Gulanya.  Kekayaannya saat meninggal mencapai 200 juta gulden!!

06 Agustus 2011

BELUM ADA JUDUL (2)

Pemilik suara berat itu masih berdiri, mata elangnya mengelilingi hutan kecil tempat para prajurit berlatih.  Pandangannya tertuju kepada perempuan muda yang sedang bergegas ke arahnya.

Praba mengangkat sembah, namun matanya hanya melirik tanah sekilas sebelum kembali menatap lurus wajah Pangeran Prang Wedana.  Yang ditatap mengangguk kecil, Sang Pangeran yang awalnya merasa risi karena ada orang yang berani mengangkat wajahnya saat berbicara kini sudah mulai terbiasa dengan tindak tanduk Praba yang tidak lazim itu.

"Bagaimana latihan prajuritmu tadi,
Seperti yang Kanjeng Pangeran lihat, semua lancar.  Bila Gusti Allah mengijinkan semua akan berjalan lancar sesuai rencana

Pangeran itu hanya menggangguk, perhatiannya beralih kepada orang yang baru datang.

"Notoyudo, bagaimana,,,apakah anak buahmu sudah lancar menggunakan bedil?

Tumenggung Notoyudo lebih dulu mengangkat sembah sebelum menjawab dengan mata terarah kepada kaki sang Pangeran.

"Tidak ada masalah Gusti Pangeran, mereka sudah mulai terbiasa".

"Aku harap engkau juga sudah menandai titik titik wilayah yang akan kita serang.  Aku ingin serangan ini berlangsung mendadak, jangan sampai musuh mendapat kesempatan untuk mengirim bala bantuan.  Putuskan jalur bantuan mereka".

"Prajurit sandi kita sudah memberikan keterangan yang sangat lengkap tentang kekuatan kompeni di Kartasura, hamba rasa sepulangya dari tempat ini kita bisa mengolah semua berita yang dibawa Ki Seco".

Raut muka Pangeran Prang Wedana terlihat serius mendengarkan uraian Notoyudo.  Berkali kali ia mengerutkan kening, pandangannya kadang terarah kepada para prajuiritnya, seakan membandingkan dengan kekuatan lawan.

Tumenggung Notoyudo melirik ke arah Praba, yang dilirik tampak tenang tenang saja memandang sikap Pangeran.  Notoyudo tak habis habisnya heran, Praba anak Nyi Salbinah yang tidak ketahuan siapa bapaknya terlihat tidak pernah gentar menghadapi bangsawan manapun. Termasuk Pangeran Prang Wedana yang ditakuti bahkan oleh Kompeni sekaligus.

Hening menggerataki,  suara angin muncul sekilas sekilas.  3 orang yang sedang berhadapan itu sibuk dengan pikiran masing masing.

Pangeran Prang Wedana berdehem,
"Baiklah, kita kembali sekarang.  Kumpulkan anak buah kalian"

03 Agustus 2011

BELUM ADA JUDUL

Praba menutup matanya rapat rapat, masih terkenang saat usianya masih belia.  Suatu sore ia sedang membantu ibunya merebus air di suatu perkampungan tak jauh dari hutan sitakepyak sebelah selatan Rembang.  Praba kecil merasakan mendung menggelayut dalam hati Ibundanya.  Nyai Salbinah memang lebih banyak berdiam diri sejak pagi.  Senyum yang biasa menyejukkan tak tampak lagi.

Praba pun berdiam diri, menempatkan untuk melaksanakan perintah Nyai Salbinah.  Keheningan itu pecah oleh suara derap kuda, semula lamat lamat dan semakin jelas.  Nyai Salbinah menoleh, kali ini senyum kecil menyinari parasnya.  Sekilas Praba melihat ibundanya dengan cepat merapikan gelung rambutnya, membetulkan letak kebaya dan jariknya.

Kuda kuda dan para penunggangnya mulai terlihat, paling depan terlihat jelas Gusti Pangeran Prang Wedana lalu Gusti Prawirodirdjo, salah satu senapati pengapit diikuti oleh pasukan.  Tak lama kemudian Gusti Pangeran melambatkan kudanya dan akhirnya berhenti.  Praba, Nyai Salbinah dan seluruh penghuni perkampungan itu bergegas menghampiri.  Wajah Pangeran Prang Wedana bersinar, ia meloncat turun, di tangannya terdapat bungkusan putih.

Tanpa berkata kata ia bergegas melewati pengikutnya...

"Wiyah".., terdengar suara berat Gusti Pangeran, yang dipanggil tampak menengadah,,,tanpa suara perempuan yang dipanggil Wiyah itu mengangkat sembah yang segera disambut genggaman.

"Ini untukmu, hadiah perkawinan kita".

Penasaran Praba berlari menghampiri, ia lupa akan keseganannya terhadap Pangeran Prang Wedana terkalahkan oleh rasa penasaran akan isi bungkusan kain putih itu.

Gadis cilik itu terbelalak, ia mundur dengan rasa mual menyesaki rongga perutnya.  Sebongkah kepala berambut kuning keemasan berlumuran darah tergeletak di atas kain putih.  Terhuyung huyung ia beringsut mundur menjauhi tempat itu.  Sampai di belakang kerumunan ia menghirup udara sebanyak banyaknya.  Setelah lega ia hendak beranjak tatkala matanya menangkap sosok Nyai Salbinah, ibunya mematung, mata ibunya menatap lurus, bukan ke arah kepala berlumur darah itu namun kepada Gusti Pangeran.

Nyai Salbinah tersentak, saat seseorang menyentuh tanggannya. Praba ternyata sudah berdiri di dekatnya, tanpa berkata kata Nyai Salbinah segera membimbing anaknya kembali ke pondok mereka.

Praba menggelengkan kepalanya, bayangan masa lalu seakan mengabur.  Gadis itu kembali memusatkan perhatiannya kepada sasaran di depannya.  Ia memejamkan matanya sejenak, sementara tangannya merentangkan busur, mendadak matanya terbuka bersamaan dengan itu anak panah berdesing halus tepat menembus kepala orang orangan sawah yang terbuat dari jerami.

Praba mengamati hasil bidikannya, wajahnya seakan membeku saat menoleh ke sekelilingnya, sekelompok perempuan juga sedang berlatih memanah.  Ia beranjak mengamati satu persatu, seorang gadis yang lengannya terlalu turun segera ditepuknya.  "Bidikanmu tidak akan pernah tepat jika lenganmu tetap seperti itu, harusnya seperti ini".

Matahari semakin meninggi, peluh bercucuran dari para prajurit yang sedang berlatih itu.  "Sudah cukup", terdengar suara berat membelah hiruk pikuk suasana.  Wibawa yang terpancar dari suara itu membuat semua menghentikan kegiatannya.  Praba menoleh dan berjalan cepat menuju pemilik suara.