25 Desember 2010

Dekonstruksi Sejarah

Sejarah bisa ditafsirkan beragam baik oleh pemenang atau pihak yang kalah. Yang membedakan mungkin hanya masalah akses yang diberikan untuk mengetahui bahwa selalu ada versi sampingan setelah versi resmi.

Seperti epos Rama dan Rahwana, epos Minakjingga dari Blambangan atau kisah Siti Jenar. Dalam versi lain Rahwana dan Minakjingga tidak selalu berupa raksasa berwatak bengis. Pun selalu ada pandangan berbeda dalam menyikapi ajaran Siti Jenar.

Begitu pula dalam sejarah Pajang dan Jipang. Kita telah kenyang dengan dongeng kehebatan Jaka Tingkir. Babad Tanah Jawi tak kurang puja pujinya terhadap Hadiwijaya muda ini.

Bagaimana dengan Penangsang? Buku buku resmi sejarah mencatat adipati Jipang ini sebagai manusia brangasan dengan kumis tebal melintang dan mata merah menyala, seperti yang dimainkan di pementasan ketoprak. Yang semata mata menuntut tahta Demak sepeninggal Sunan Prawoto.

Penangsang adalah anak sulung Pangeran Sekar Kikin atau yang kemudian dikenal sebagai Sedo Lepen. Raden Kikin merupakan anak tertua dari Raden Patah. Sepeninggal Raden Patah, seharusnya tahta Demak jatuh kepada Raden Kikin namun rapat Dewan Wali memutuskan Raden Yunus Surya atau Sabrang Lor menjadi Sultan Demak. Sabrang Lor wafat dalam usia muda, tahta jatuh ke tangan Raden Trenggono lalu ke tangan Sunan Prawoto anak Trenggono.

Untuk memuluskan ayahnya memegang tahta, Prawoto muda yang bernama Bagus Mukmin membunuh Raden Kikin, saat itu Penangsang baru saja dilahirkan.

Versi resmi jelas mengatakan Raden Kikin dibunuh oleh Pangeran Prawoto. Pangeran Prawoto bisa melenggang dengan aman ke tahta Demak tanpa tuntutan atas perbuatannya.

Sang Ratu Kalinyamat diam, kerabat istana diam dan para wali pun tidak berbuat apa apa atas pembunuhan ini. Utang Pati nyaur Pati, begitulah Penangsang menuntut balas.

Membaca dekonstruksi Penangsang memang harus menyingkirkan gambaran yang telah terbentuk sebelumnya. Tidak lagi memihak Pajang sebagai pemenang tapi membuka diri terhadap kemungkinan adanya versi paminggir dari sejarah resmi.

Namun ada 1 hal yang sama baik dalam versi umum maupun versi paminggir, yaitu pertentangan para wali dalam hal penyebaran Islam dan dalam pemilihan calon penguasa Demak.

Jika Penangsang berhasil menduduki tahta Demak, maka mungkin tidak akan ada Mataram. Babad Tanah Jawi tak kan pernah ada. Jaka Tingkir akan digambarkan dengan topeng berwajah merah dan garang dalam pertunjukan ketoprak.

Sayang nasib menggariskan lain, Penangsang mati oleh kerisnya sendiri saat pertempuran melawan Sutawijaya di tepi Bengawan Sore. Ia mati dengan gagah di atas punggung Gagak Rimang, kuda kesayangannya.

Riwayat Penangsang pun kelam sebagai pemberontak, walaupun ia juga pemegang hak atas tahta Demak.

Penggambaran Penangsang setelah itu makin menegaskan sejarah memang milik pemenang.

Tidak ada komentar: