02 Januari 2018

Bersyukur Lewat Onde

Banyak waktu untuk bersyukur. 
 
Oey Bowo menyalakan lilin di atas meja altar dan membuat gerakan pai pai, membungkuk.  Ia mengenakan pakaian tradisional khas Tionghoa berwarna biru gelap.  Ia memanjatkan doa yang ditujukan pada Dewa Langit (Kong Ti Kong), Dewa Bumi (Hot Tek Ceng Sin) dan Dewa Dapur (kong Bun Kong)



Manusia pada dasarnya selalu membutuhkan spirituaritalitas.  Jejak spiritual tersebar di berbagai kegiatan masyarakat termasuk dalam berbagai jenis perayaan.

Masyarakat Tionghoa sebagai suku perantauan mengenal perayaan Onde atau di luar negeri dikenal sebagai Dong zhi festival sebagai pernyataan syukur dalam keluarga yang diadakan setiap bulan Desember; di mana keluarga membuat onde dari tepung ketan lalu direbus dan disajikan dengan kuah manis yang hangat terbuat dari air gula.  Di Tiongkok sana kuah onde yang hangat cocok sekali dihirup pada musim dingin yang menggigit


Waradiyah, seorang pegiat pendokumentasian bangunan tua Tionghoa sekaligus ketua dari komunitas Kecapi Batara, suatu komunitas yang menaruh perhatian pada bangunan Tionghoa menceritakan awal mula perayaan onde yang dimulai pada masa dinasti Han yang memerintah mulai abad 3 SM dan terus berlanjut sampai dinasti Tang dan Song.

Pada masa dinasti Song inilah dimulai sembahyang yang ditujukan kepada arwah leluhur dan lima unsur bumi yaitu Kim (logam), Hwee (api), Tho (tanah), Sui (air) dan Bok (kayu)

Perayaan onde menjadi salah satu event penting pada masa dinasti Qing di abad 17 di mana keluarga berkumpul membuat dan menikmati onde sebagai bentuk syukur dan berharap yang terbaik di tahun mendatang. 


Yang unik jumlah onde yang terdapat di tiap mangkok disesuaikan dengan jumlah umur anggota keluarga. Jadi makin bertambah umur, makin banyak onde yang harus dihabiskan di dalam mangkok.
Bentuk onde yang bulat melambangkan keutuhan, persatuan dan harmonisasi keluarga.  Onde yang lengket melambangkan eratnya ikatan pesaudaraan sedangkan air gula melambangkan manisnya hubungan antar anggota keluarga.

Komunitas Kecapi Batara mengangkat tradisi keluarga Tionghoa yang biasa dilakukan di rumah menjadi suatu acara yang dapat diikuti oleh berbagai kalangan termasuk non-Tionghoa.  Sebuah kedai teh di kawasan Glodok menjadi tempat sekaligus tuan rumah acara tersebut.


Beberapa gadis dengan jilbab warna-warni terlihat sabar menunggu acara dimulai.  Bukan cuma sembahyang Onde yang dikenalkan, tapi juga tradisi minum teh yang dibawakan dengan gemulai salah satu pengisi acara.

kuah Onde yang disajikan bukan cuma air gula hangat tapi sudah dicampur dengan jahe, mengingatkan pada minuman khas Jawa Tengah,  wedang ronde.  Dan memang, akulturasi budaya Tionghoa dengan Jawa menghasilkan minuman wedang ronde yang ondenya diisi oleh kacang hijau sementara kuah ondenya menjadi lebih hangat dan harum berkat tambahan jahe.

Warna warni budaya inilah yang diharapkan selalu dijaga.  Seperti juga doa yang dipanjatkan oleh Oey Bowo, tak cuma soal rejeki dan kesejahteraan keluarga namun juga untuk keselamatan dan ketenteraman negara.


Hio

Tidak ada komentar: