14 November 2016

Pesan dari Liyangan

Warga melintas di sekitar situs

Sugeng Riyanto dari balai arkeologi Yogyakarta mengguratkan jarinya ke lantai batu, ia mencoba menggambarkan tata letak candi. "Umumnya candi itu kosentris, tapi di Liyangan ini berbeda.  Bila dibandingkan dengan komplek Batujaya di Karawang, Liyangan ini bukan hanya sebagai tempat peribadatan tapi juga pemukiman".


Pagar

Sabtu siang itu saya berada di Liyangan, sebuah situs yang berada di dusun Liyangan, desa Purbasari kecamatan Ngadirejo, Temanggung Jawa Tengah.  Situs ini diperkirakan telah dihuni sejak abad ke 3, sebelum masuknya Hindu dan berdirinya kerajaan.

Meninggalkan Jakarta yang riuh oleh demo, saya menikmati gerbong KA eksekutif Bima yang nyaman dan sampai di stasiun Tugu dini hari.  Lupakan mandi, saya hanya cuci muka, sikat gigi dan berganti baju di toilet stasiun lalu beristirahat sambil menikmati teh nasgitel di stasiun sambil menanti pagi dan mobil yang akan menjemput sekitar jam 06.30.   Akan ikut beberapa teman lagi

Perjalanan dari Yogyakarta ke Temanggung sangat lancar sekitar 2-3 jam.  Situs Liyangan yang merupakan bekas pemukiman dan peribadatan masa Mataram kuno ini terletak dij ketinggian sekitar 1.200 dpl, di lereng gunung Sindoro-Sumbing jadi cukup sejuk hawanya.  Di kiri kanan lajur jalan terhampar kebun dan sawah dengan latar dua gunung yang menjulang.

Jalan desa yang menanjak, sempit dan berbatu adalah penghubung terakhir menuju Liyangan, membawa kami ke lahan terbuka yang cukup luas, dikelilingi bukit dengan kebun jagung di atasnya. Di beberapa sudut terlihat pita plastik mengelilingi obyek yang terlihat mirip susunan atau tumpukan bata.  Dua buah bangunan dari kayu tampak seperti penunggu situs tersebut.  Satu adalah pondok para penjaga beristirahat, satu lagi adalah warung.



Sugeng Riyanto menunjukkan susunan batu

Dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut membuat teriknya matahari tidak begitu terasa.  Bila kita mengarahkan pandangan ke depan, tampak gunung Sindoro menjulang berdampingan dengan gunung Sumbing.

Saya dan beberapa teman sedang berdiri di teras keempat, paling bawah dari empat teras yang ditemukan, mengamati sebuah tumpukan yang tertimbun pasir.  Sebuah pemandian, demikian pak Sugeng, peneliti yang telah mengakrabi tempat ini sejak awal ditemukan pada tahun 2008 menerangkan.  Pemandian itu kini ditimbun kembali untuk menghindari genangan air kala hujan yang dapat merusak batu.   Dalam film dokumenter tentang Liyangan, terlihat hiasan kepala binatang yang terdapat di sisi pemandian.  Kolam ini menghadap tenggara.  Sungai yang terletak di bawah situs menjadi sumber airnya.

Setinggi inilah yang mengubur Liyangan

Dari tempat saya terlihat jelas ketinggian timbunan vulkanik yang kini menjadi perkebunan yang dulunya menimbun Liyangan, ketinggiannya bervariasi antara 7-14 meter.  Liyangan ditemukan secara tidak sengaja karena penduduk setempat sedang menggali pasir.  

Kini luas yang berhasil digali adalah 3.5 ha.  Para ahli menduga situs pemukiman Liyangan jauh lebih luas dari yang sekarang dan telah menjadi pemukiman penduduk. 

Banyak bahan organik yang ditemukan di teras ke empat ini berupa material sisa kayu, ijuk, bambu untuk bangunan terkubur material vulkanik gunung Sindoro yang lintasannya hanya berjarak 8 km dari Liyangan.  Tentu saja sisa material yang tertinggal itu sudah berbentuk arang belum lagi pecahan keramik dari jaman dinasti Tang serta arang padi.  Diperkirakan memang pada jaman Mataram kuno sudah berhubungan dagang dengan Tiongkok.

Antara wadah dakon atau diagram magis

Sebagai pembatas antar teras ada yang disebut boulder atau talud berupa susunan batu yang nampak sederhana namun rapat.  Penyusunan batu  semacam ini dikenal sebagai ciri khas peradaban pra Hindu, yaitu bentuk pemujaan pada arwah leluhur.  Saat melangkah terlihat lumut tebal menutupi bekas lantai.

Teras tiga, terdapat sisa candi yang juga menghadap arah tenggara.  Ada tumpukan yang ditutupi plastik yang ternyata adalah sisa arang bambu bekas bangunan, juga terdapat sisa tali.  Kami memperhatikan serpihan-serpihan hitam yang melekat di tumpukan tersebut. Para peneliti juga menemukan sisa serbuk sari yang setelah dicek adalah serbuk sari dari jambu dan bunga-bungaan.

Sisa arang bekas bambu rumah

Terlihat batu-batu longsoran hasil letusan Sindoro menyeruak di antara talud menjadi catatan tersendiri tentang mitigasi bencana.  Jarak lintasan dari Liyangan ke gunung Sindoro memang hanya 8 km.  Para ahli memperkirakan pemukiman ini ditinggalkan pada abad 10.

Ada prasasti Rukam  yang terletak di Parakan tentang penggantian status shima suatu daerah yang hilang akibat letusan gunung berapi.  Prasasti yang diperkirakan pada masa Balitung itu menetapkan Limwung, desa yang terletak di bawah, tak jauh dari Liyangan sebagai shima atau tanah perdikan menggantikan desa yang hilang.  Desa yang hilang inilah yang diperkirakan oleh para ahli sebagai Liyangan. 

Lantai yang berpola mirip tetris ini sesungguhnya adlh suatu teknik pemasangan lantai tingkat tinggi

Teras dua terdapat batur dan diperkirakan sebagai tempat menunggu bagi yang ingin berdoa.  Antara teras dua dan teras satu pada boulder terdapat batu dengan lubang-lubang permainan dakon, demikian arsitek menyebutnya.  Sementara arkeolog berpendapat itu adalah semacam diagram magis mengingat tempat ibadat ini merupakan peralihan dari punden berundak yang memuja arwah leluhur menjadi agama Hindu.

Teras teratas menjadi tempat peribadatan.  Lantai-lantai batunya rapat disusun dengan sistem pasak sehingga tidak mudah bergeser akibat pergerakan tanah.  Sekilas mirip permainan tetris.
Semua bangunan dibuat secara sedehana, tidak ada ukiran pada batu, polos saja.  
Terdapat umpak besar di atasnya.  

Pecahan keramik yang umumnya dari jaman dinasti Tang

Di candi satu terdapat yoni yang disusun dari batu-batu, bukan dari batu yang ditatah, menandakan transisi ke agama Hindu.

Turun dari teras pertama kita kembali ke teras awal dan keluar menuju jalan batu yang merupakan batas antara tempat peribadatan dan lahan pertanian.  Jalan batu ini masih tetap sama seperti 1000 tahun yang lalu

Pagar yang membatasi jalan dengan candi dibuat dengan dudukan batu yang mantap, tidak ada pondasi tapi kuat bertahan sampai sekarang.  


Jalan yang menjadi Icon Liyangan

Penggalian pasir memang telah menghilangkan bekas-bekas pemukiman yang terawetkan oleh debu panas yang menimbun sehingga menimbulkan keadaan hampa oksigen namun berkat ketekunan para peneliti, banyak yang masih dapat diselamatkan.  

Liyangan masih belum bisa dibuka sebagai tempat wisata karena belum siap dari segi pengamanan.  Dengan hanya dua orang petugas tentu tidak akan sanggup menghadapi puluhan pengunjung yang kebanyakan belum paham tatacara mengunjungi situs.

Namun yang menggembirakan bahwa penduduk desa yang berdekatan dengan Liyangan sudah cukup paham akan pentingnya situs ini serta manfaatnya bagi kesejahteraan mereka.  Sudah mulai dijalankan gerakan sadar wisata melalui semacam pokdarwis (kelompok sadar wisata) seperti kelompok tani, pemanfaatan produk andalan dan pelatihan untuk menjadi pemandu atas bimbingan para personil balai arkeologi Yogyakarta.

Masih panjang perjalanan Liyangan, banyak PR yang harus diselesaikan.  Butuh penanganan serius dari semua pihak untuk menyelamatkan bekas pemukiman paling tua ini.


Kembali ke Yogyakarta
Perjalanan balik ke Yogyakarta tidak selancar paginya.  Macet menuju dan di Magelang.  Di tengah jalan saya ditelepon oleh hostel yang saya sewa mereka menanyakan apakah jadi saya datang.  Tentu saja jadi, walaupun saya tiba di Hoz Bed and Breakfast hampir jam 21:00.

Hoz adalah semacam dormitory room bagi para backpacker yang terletak di jalan Gedongkiwo, tak terlalu jauh dari pusat kota.  Saya ingin tahu rasanya menginap di dormitory room.  


Kamar yang saya tempati berisi 2 ranjang susun, jadi bisa diisi 4 orang.  Saya menempati ranjang atas karena datang telat sehingga semua sudah ditempati.  Saat saya membuka pintu kamar, sudah ada 2 orang di ranjang bawah. 


Locker tempat menaruh barang-barang terletak di bagian bawah ranjang.  Kamar agak sesak sehingga jika ingin membuka locker sudah pasti akan memenuhi lorong kamar.  Sambil meletakkan barang-barang saya mengobrol dengan salah satu rekan di kamar yang ternyata adalah mahasiswi dari Universitas Jember.



Secara keseluruhan tempatnya bersih dan cukup nyaman, ruangan didominasi warna hijau dan putih.  Menjadi pengalaman menarik saat saya naik meniti tangga ranjang untuk tidur di bagian atas.  Baru kali ini saya tidur di ranjang susun.  Tidak ada ac, hanya ada kipas angin.


Mbak yang menjadi resepsionis telah memesankan taxi untuk mengantar saya ke airport pagi-pagi.   Sarapan juga telah tersedia keesokan harinya tinggal ambil di dapur.  Jangan lupa mencuci alat-alat makan yang telah dipakai.

Mbaknya juga menempelkan post id di depan pintu kamar berisi informasi tentang sarapan.


Untuk rate Rp 75.000 per orang, rasanya Hoz Bed and Breakfast cukup baik dan layak.  Saya sudah pasti akan mencoba lagi dormitory room yang lain yang ada di Yogya untuk menambah referensi.

  



















Catatan:
Di papan informasi situs tertulis kata "LIANGAN" tidak pakai "y" namun memang masyarakat lebih akrab dengan kata Liyangan.  Menurut pak Sugeng, kemungkinan kata Liyangan berasal dari nama seseorang dari dinasti Sailendra yang merupakan penguasa daerah ini yang bernama Rakai Layang.

Tidak ada komentar: