05 Desember 2016

Melihat Banda Naira melalui buku


Banda Naira adalah sebuah gugusan kepulauan di Maluku yang terletak di tengah laut Banda dengan pemandangan gunung api di tengahnya.  Terdapat 10 pulau dalam gugusan kepulauan tersebut antara lain pulau Banda besar (yang terbesar) dan pulau Run yang sering dikaitkan dengan perjanjian Breda tahun 1667

http://koleksitempodoeloe.blogspot.co.id/2013/03/peta-kuno-abad-17-th1700an-kepulauan.html

Namun pulau yang hampir tidak terlihat di peta ini pada abad ke 16 menjadi incaran utama para pedagang Eropa berkat komoditi yang hanya ada di Banda yaitu Pala (Myristica Fragrans)

Pala adalah rempah yang paling mewah di Eropa pada abad tersebut.  Salah satu jenis tumbuhan yang mempunyai khasiat pengobatan paling hebat.  Para tabib di London pada jaman itu mengklaim bahwa aroma terapi yang terbuat dari Pala adalah satu-satunya penawar untuk wabah penyakit sampar.

Para pedagang di London membeli rempah di Venesia yang memperolehnya dari Konstatinopel.  Samar-samar mereka memdengar tentang negeri penghasil pala yang terletak jauh di Timur.

Tentu saja keberadaan negeri penghasil pala ini disertai dengan kisah-kisah mengerikan tentang monster laut dan manusia-manusia kanibal.

Namun cerita-cerita mengerikan tentang negeri Timur penghasil rempah ini tidak menyurutkan niat para pelaut dari Portugis, Sepanyol dan Indggris untuk berlomba menemukan tanah impian tersebut.

Kapal Portugis pertama kali menyinggahi Banda di bawah pimpinan Fransisco Serao dan Antonio de Abreu pada tahun 1512 atas perintah Alfonso de’ Albuquerque yang telah menaklukkan Malaka di tahun 1511.

Dalam catatannya Serao menulis bahwa ia terperanjat karena orang Moro (orang Arab dalam sebutan Spanyol dan Portugis) telah lebih dulu tiba di Banda kurang lebih 100 tahun.

Kapal yang dipimpin oleh Fransisco Serao berhasil memperoleh rempah-rempah sesuai yang diinginkan dan segera diangkut ke Lisbon.  Pendapatan dari muatan tersebut menghasilkan keuntungan hingga 1000%.

Portugis sempat merahasiakan jalur pelayaran  menuju kepulauan rempah selama beberapa puluh tahun, namun salah seorang bekas pegawai yang berkebangsaan Belanda, Jan Huyghen van Linschoten  berhasil  menyalin peta navigasi lengkap dengan detailnya lalu diterbitkan menjadi sebuah jurnal yang dikenal dengan nama Itinerario di tahun 1596

Berkat peta dari Linschoten lah dua kapal Belanda berhasil mencapai Banda Naira pada tahun 1599 dipimpin oleh Jacob van Heemskerk. Kedua kapal ini merupakan bagian dari ekspedisi yang dikomandoi oleh Jacob Van Neck.  Para pendatang baru ini berhasil mengambil hati masyarakat  sehingga membuat Portugis berusaha mempengaruhi bupati Tuban untuk mengirimkan tentara guna membantu mengusir Belanda..  Tahun  1602 niat itu dilaksanakan namun mengalami kegagalan karena kehadiran dua kapal ekspedisi Belanda.

Itinerario
http://www.linschoten-vereeniging.nl/jan_huygen.htm

Sementara ekspedisi Inggris juga tiba di kepulauan Banda di tahun 1602 dan mengklaim kepemilikan pulau Run.  Sebelumnya pada tahun 1601 Ratu Elizabeth merestui pembentukan East India Company (EIC), semacam perusahaan dagang mirip VOC.  EIC kemudian melakukan pelayaran perdana ke kepulauan Maluku.

Kapten James Lancaster ditugaskan untuk memimpin 7 kapal yang merupakan  satu kelompok ekspedisi Inggris.  Lancaster juga mencarter kapal-kapal kecil untuk mengangkat rombongan .   Sebagian dari pedagang yang ikut dalam rombongan ekspedisi itu tinggal di Ternate dan Banda Naira lalu membuat pangkalan laut di pulau Run.  

Muatan rempah yang mereka kapalkan ke London mendatangkan keuntungan yang fantastis.  Dengan menjual sekantung kecil rempah sudah bisa membuat seseorang berkecukupan seumur hidupnya.

Khawatir dengan perdagangan pala illegal, saat armada Inggris pertama yang bermuatan pala, cengkeh dan lada tiba di London, para saudagar melarang para pekerja pelabuhan mengenakan pakaian bersaku untuk menghindari pencurian rempah-rempah tersebut.

Di akhir tahun 1665, Samuel Pepys seorang anggota konggres dan administrator pelayaran menulis dalam jurnalnya bahwa ia bertemu secara rahasia dengan beberapa pelaut untuk menukar emas miliknya dengan sejumput lada dan cengkeh.

Belanda melihat kedatangan Inggris sebagai gangguan dan berusaha menekan penduduk Banda Naira untuk memberikan hak eksklusif pembelian pala dan bunga pala serta merintangi hubungan perdagangan antara pedagang Inggris dan penduduk Banda.

Perselisihan antara Belanda dan penduduk Banda berujung pada tewasnya Laksamana Verhoeven bersama anak buahnya.    Kematian Verhoeven membuat Belanda mengirim serangan balasan untuk menghukum penduduk Banda Naira.  Beberapa orang kaya menandatangani perjanjian monopoli dan pemeriksaan kepada setiap perahu dan kapal yang datang serta wewenang Belanda untuk memberikan izin pelayaran antar pulau dan izin untuk berdiam di Naira.

Namun pada kenyataannya hampir tidak ada penduduk Banda yang mematuhi hasil perjanjian tersebut.  Perdagangan dengan Inggris tetap berjalan.  Para pedagang lokal tidak gentar menghadapi kapal patrol Belanda di laut.

Di sisi lain Belanda yang telah memperkuat benteng Nasau harus mengeluarkan biaya yang lebih besar lagi untuk membangun benteng Belgica.  Situasi ini tentu saja membuat geram de Heeren XVII.  Dewan tersebut mengutus Pieter Both, Gubernur Jenderal pertama VOC untuk memberikan pelajaran pada rakyat setempat.


Namun sebelum tuntas ia harus berlayar menuju Ternate untuk persoalan lain yang lebih mendesak dan meninggalkan masalah yang sama pada penggantinya sebelum muncul Jan Pieteszoon Coen.

Kedatangan Coen ke Banda sebagai Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1621 membawa perubahan dalam menyikapi pembakangan penduduk Banda.   Dalam waktu singkat Coen dan pasukannya dapat menguasai Banda besar.  Para orang kaya menemui Coen untuk berdamai dan setuju untuk membayar 1/10 dari hasil panen sebagai ganti perlindungan dari VOC.

Sebuah benteng dibangun lagi di Lontor untuk pertahanan dan dinamakan Hollandia.  Penduduk Banda banyak memilih untuk mengungsi ke puncak-puncak bukit.

Hal yang paling menggores ingatan penduduk Banda adalah ketika di tahun 1621 pada suatu malam, ketika sebuah lampu gantung dalam masjid di Selamon terjatuh sehingga terjadi kebakaran yang menimbulkan kepanikan dalam kampung.  Pihak VOC menduga itu adalah tanda dari serangan dan menangkapi orang-orang yang diduga terlibat dan kemudian dikirim ke Baavia.  Banyak di antara para penduduk yang melarikand diri ke pulau Seram dan Kei.

Hukuman mati dijatuhkan pada 40 orang kaya dan Banda kehilangan 60% penduduknya sehingga meninggalkan kebun-kebun pala yang segera dibagi-bagikan oleh VOC kepada para perwiranya.  Banda Naira dibagi menjadi 37 kavling yang dinamakan Perk atau kebun.  Maka lahirlah istilah Perkenier atau pemilik kebun.

Hasil panen pala  dari perk itu harus dijual kepada VOC seharga 5 sen/kg. sedang Harga di Eropa adalah 10 gulden/kg.

Masih ada pulau penting yang luput dari cengkeraman VOC saat itu yaitu pulau Run yang masih dalam kekuasaan Inggris sampai dengan adanya Perjanjian Breda di tahun 1667.

Pasca peristiwa penyerangan dan pembunuhan terhadap penduduk Banda membawa banyak perubahan dalam struktur komposisi masyarakat.  Banda Naira mengalami banyak perubahan.  Orang-orang Melayu, Mozambiq, Arab, Cina, India, Spanyol dan Belanda memberikan warna lain dalam tatanan sosial dan kemasyarakatan.

Para pejabat VOC pada abad 17 menikmati kehidupan mewah berkat hasil dari rempah-rempah, khusus di Banda Naira, pala  yang jadi andalan.  Francois Valentijn dalam Oud en Nieuw Oost Indîén mencatat penghasilan para pejabat tersebut yang sangat tinggi berikut jaminan kesejahteraan lainnya.  Seorang Gubernur VOC ketika pension akan kembali ke negaranya sebagai seorang yang kaya raya. 

Dari hasil panen pala di Banda saja Belanda dapat membangun kota-kota seperti Amsterdam dan Hoorn.
Walaupun telah menguasai wilayah Banda Naira secara keseluruhan, bukan berarti masalah yang dihadapi VOC sudah selesai.   Bencana alam susul menyusul mengganggu produksi pala, belum lagi penyelundupan yang dilakukan oleh para perkenier.  Kas VOC semakin menipis akibat piutang yang tak kunjung dibayar oleh para perkenier.

Silih berganti bangsa Eropa menduduki Banda Naira, kali ini Inggris kembali bercokol di penghujung abad 18, tepatnya tahun 1796.  Kedatangan kembali Inggris yang tidak mengetahui kondisi perkebunan dan hasil produksi pala di Banda membuat para perkenier semakin bebas melakukan perdagangan gelap.

Tahun 1810 Inggris memperoleh 3 gudang penuh pala dan fuli yang menghasilkan hampir satu juta poundsterling sehingga Inggris mampu membiayai seluruh operasi militernya untuk menduduki kota-kota utama seperti Batavia, Ternate, Ambon dan Banda.   Inggris meninggalkan Banda tahun 1816-1817.

Namun Inggris bukannya tidak mempunyai rencana untuk mematahkan dominasi Banda sebagai penghasil pala.  Serangkaian percobaan penanaman pala di luar Banda seperti Srilanka, Bengkulu dan Penang mulai dilakukan.  Dalam waktu 10 tahun bibit pala yang ditanam telah tumbuh menjadi jenis unggul.  Pala asal Bengkulu mencapai pasaran Eropa tahun 1825, berturut-turut pala asal Penang tahun 1830 dan pala asal Singapura pada tahun 1840.  Sehingga pada tahun 1860 kedudukan Banda sebagai penghasil satu-satunya pala sudah tergeser.  Selanjutnya Banda benar-benar  terdesak oleh Sulawesi, Jawa dan Sumatera dengan komoditi lain, seiring dengan jatuhnya nilai rempah-rempah di pasaran Eropa

Setelah VOC bubar, pemerintah Belanda membentuk Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM), sebuah perusahaan semi swasta untuk menggantikan VOC.  NHM melalui cabangnya Credit en Handels Venootschap (CHV) memberikan pinjaman kepada para perkenier untuk meningkatkan produksinya.    Namun banyaknya perkenier yang tidak mampu melunasi hutang membuat CHV mengambil alih hak guna atas tanah mereka.  Sampai tahun 1890-an CHV telah mengendalikan sekitar 65% kebun Pala di Banda.

CHV tidak sendiri  dalam menguasai  kebun-kebun pala tersebut.  Ada keluarga Kok yang juga menguasai perk-perk di Banda.  Di akhir abad 19 banyak perkenier yang melepaskan kebun mereka dan pindah ke luar daerah.

Harga pala dan fuli jatuh di pasaran internasional karena koloni-koloni Perancis dan Inggris mulai memproduksi tanaman tersebut sehingga supply melimpah.  Namun pala asal Banda tetap dianggap yang terbaik mutunya. 

Sayangnya,  kini komoditas pala yang terbaik itu tidak sanggup mengangkat nasib rakyatnya.  


NOTE
Dalam buku Sejarah Maluku ~ Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon, Des Alwi memaparkan sejarah Banda yang sekaligus juga napak tilas tentang kisah kakeknya Said Tjong Baadilla yang merupakan kepala adat berjuluk "Kapitein der Arabieren" dan salah satu pedagang kerang mutiara sampai akhirnya menjadi pemilik armada kapal.



Sementara buku Dunia Maluku (World of Maluku) - Leonard Andaya memaparkan secara sistematis sejarah Ternate dan Tidore lengkap dengan hierarki sosial masyarakatnya.




















 

Tidak ada komentar: