13 Oktober 2016

Batavia dan Pergaulan Sosialnya

Adalah menarik melihat perkembangan Jakarta jika ditarik jauh ke belakang, saat masih bernama Batavia. Saat batas-batas negara belum seperti sekarang dan para migran dari berbagai belahan dunia lebih leluasa berdatangan mengadu nasib serta mengambil peranan dalam terciptanya beragam komunitas yang ada di Batavia, terutama komunitas sosial yang berusaha diciptakan oleh VOC

Jean Gelman Taylor dalam tulisannya mengenai kehidupan sosial di Batavia di mana para pendatang yang berasal dari Eropa khususnya Belanda menciptakan kelas-kelas pergaulan lengkap dengan aturan resminya.

Picture: Adolf Heuken, SJ
Yang unik, interaksi sosial di Batavia tidak bisa lepas dari kehadiran para perempuan yang meskipun dianggap nomor dua namun sulit disangkal menimbulkan jalinan kekerabatan yang menguntungkan antara keluarga saudagar dengan para pejabat yang akhirnya berpengaruh pada karir suami dan keturunan mereka.

Dalam pergaulan di Batavia terdapat kaum Mestizo yang orang-orangnya merupakan hasil kawin campur antara Asia dan Eropa.  Ada pula orang Indies, yang mengacu pada orang-orang eropa yang mengikuti budaya Mestizo.  Yang dimaksud dengan orang Eropa adalah mereka yang lahir di daratan Eropa.

Sementara istilah komunitas Eropa digunakan dalam pengertian hukum yang mencakup orang-orang yang lahir di Eropa maupun Asia dan orang campuran keturunan Eropa.

Sebutan Kreol digunakan untuk anak yang lahir di Asia dari orangtua asal Eropa dan menempati kasta tinggi di Batavia.

Batavia sebelum kedatangan Cornelis de Houtman dengan armadanya merupakan daerah pelabuhan di bawah kekuasaan kerajaan Banten dan masih bernama Jacatra dengan penduduk mayoritas dari suku Sunda.  Kedatangan de Houtman pada tahun 1596 disusul oleh kedatangan kapal dagang Belanda lainnya sehingga orang-orang Belanda yang tergabung dalam VOC tersebut diijinkan oleh Pangeran Wijayakrama sebagai penguasa Jacatra pada saat itu untuk membangun pemukiman.

Para personil VOC diikat kontrak kerja selama lima tahun; ada yang sebagai pedagang atau pegawai administrasi misalnya sebagai juru tulis, jabatan yang paling rendah atau menjadi tentara VOC.  Merekalah yang paling banyak berbaur dengan masyarakat lokal terutama dengan perempuan-perempuan setempat yang menjadi gundik atau istri mereka.


Penyebaran kebudayaan campuran (Mestizo dan Indies) tidak bisa dilepaskan dari peranan perempuan.  Kecilnya pertumbuhan penduduk Belanda di Batavia disebabkan karena kematian yang diakibatkan oleh penyakit tropis dan banyaknya personil VOC yang kembali ke Eropa setelah kontrak kerja mereka berakhir.

Jan Pieterszoon Coen, gubernur VOC keempat meminta kepada Raad van Indie agar dikirimkan perempuan-perempuan dari keluarga baik-baik untuk dapat tinggal di Batavia.   Dari permintaan tersebut dapat diduga sedikitnya perempuan Eropa yang tinggal di Batavia pada masa itu.  Sementara Coen berambisi membangun koloni baru di Batavia
Rupanya alasan-alasan yang dikemukakan Coen cukup masuk akal sehingga di tahun 1620 ada tiga keluarga bersama beberapa orang gadis akan berlayar ke Batavia dengan kapal Mauritius.

Gadis-gadis itu dianggap sebagai pegawai VOC dengan menandatangani kontrak untuk menetap selama lima tahun.  Ada juga istri-istri tentara berpangkat juga akhirnya berangkat menyertai suaminya.  Mereka pun menerima gaji.  Contoh istri dari Gilles van Mol, seorang pembuat tembok digaji delapan gulden per bulan.  Jika istri-istri tersebut punya keahlian yang bermanfaat maka gajinya akan lebih tinggi.

Pieter van de Broecke - dutch merchant (photo:
The Social World of Batavia)

Gadis-gadis yang datang ke Batavia merupakan yatim piatu atau anak dari keluarga miskin. Tidak mungkin gadis Eropa dari keluarga kaya akan diijinkan tinggal di Batavia oleh keluarganya. Kebanyakan para perempuan Eropa tersebut tidak betah menetap di Batavia dan berusaha menikahi pedagang kaya sesampainya mereka di sana.  Setelah kaya dan kontrak berakhir mereka pun kembali ke Belanda.

Pemerintah Batavia mendorong terjadinya pernikahan antara pegawai VOC rendahan dengan perempuan setempat yang mayoritas dari golongan budak.  Pegawai yang hendak menikahi budak diharuskan membeli kebebasan sang budak untuk selanjut dibaptis secara Kristen. Bahkan pemerintah juga membeli para perempuan tersebut dari pasar untuk dinikahkan dengan para pegawai.

Para lelaki Belanda yang menikahi secara sah perempuan-perempuan Asia tersebut dilarang membawa anak dan istri untuk pergi ke Belanda.  Cara ini dilakukan untuk menjaga kestabilan keberlangsungan komunitas buatan Belanda di Batavia.  Daya tahan anak-anak berdarah campuran ini juga lebih sesuai dengan daerah tropis.

Para perempuan setempat ini setelah menikah dengan lelaki Eropa membesarkan anak-anaknya dengan kebudayaan yang diketahuinya yaitu budaya Asia, namun ia berhak menggunakan nama Belanda dan kewarganegaraan suaminya.  Laki-laki Eropa yang menikahi perempuan setempat menurut peraturan VOC telah kehilangan hak untuk pulang ke negaranya dan menyekolahkan anak-anaknya ke Eropa.

Seorang janda imigran yang menikah kembali harus berada di timur minimal selama lima tahun.  Perempuan Belanda pun tidak boleh pulang ke negaranya tanpa ijin.  Migrasi perempuan Eropa ke Hindia dihentikan pada tahun 1632.  Tahun 1669 migrasi tersebut diperbolehkan kembali namun para perempuan migran Eropa itu harus setuju dengan kontrak yang mengharuskan mereka menetap di Batavia selama 15 tahun.

Para pegawai VOC pun tidak diperbolehkan kembali ke Eropa sebelum tinggal di Batavia selama 5 tahun dihitung dari tanggal pernikahannya.  Tahun 1639, dikeluarkan peraturan bahwa tidak boleh ada lelaki yang menikah dengan perempuan Asia diizinkan pergi ke Eropa selama anak dan istrinya masih hidup.

Photo: The Social World of Batavia
Dalam masyarakat kolonial Belanda yang telah menemukan formatnya sejak 1640-an dimana kontrol sosial telah dibangun dan monopoli juga diterapkan penuh sejak awal kehidupan koloni maka jalan bagi orang-orang Eropa miskin untuk meraih kekayaan adalah dengan bekerja sebagai pegawai sipil dalam kedinasan VOC sehingga mencapai jenjang karir yang tinggi, karena gaji yang dibayarkan VOC pada pegawainya dari golongan menengah ke bawah sangat rendah.

Selain struktur ekonomi, struktur politik pun perlahan terbentuk yang terlihat dari sistem pengangkatan gubernur jenderal.  Apabila para gubernur jenderal angkatan pertama ditetapkan langsung oleh para direktur VOC di Belanda, serta personilnya didatangkan langsung dari Belanda maka setelah JP Coen wafat terjadi perubahan dalam tatacara pemilihan gubernur jenderal penggantinya.  Dewan Hindia yang melakukan pemilihan dan menunjuk anggotanya yang paling senior untuk menjabat sebagai gubernur jenderal dan memberitahukannya kepada direktur VOC di Amsterdam.  Tidak ada lagi sistem drop personil dari Belanda.  Orang yang ditunjuk adalah yang juga memiliki pengalaman bertahun-tahun di Asia.  Jauhnya jarak Batavia dan Amsterdam juga membuat para direktur VOC di sana tidak dapat mengambil keputusan apa pun secara cepat.

Konsep perkawinan antara pegawai VOC dengan perempuan lokal setempat atau dengan perempuan Eurasia kelahiran Asia dipadukan dengan kenaikan jenjang karir menurut aturan senioritas dan pengalaman para petinggi VOC di Asia memicu terbentuknya kaum elite baru di Batavia.

Para petinggi VOC di Batavia diijinkan mengirimkan anak lelakinya ke Belanda untuk menuntut pendidikan yang lebih baik sesuai dengan status ke-eropaannya dan setelah lulus mereka jarang berkarir di VOC.  Sementara anak-anak yang lahir dari rahim perempuan lokal tidak diijinkan untuk berkarir di VOC maka jaringan para elite dibentuk dari perkawinan para pegawai VOC dengan perempuan-perempuan Kreol atau pun Mestizo keturunan para petinggi VOC sehingga terjalin hubungan kekeluargaan antar ipar atau mertua-menantu.

Istri gubernur jenderal JP Coen, Eva Ment membawa adiknya Lysbet Ment ke Batavia dan segera menjadi istri dari anggota Dewan Hindia.  Dalam masa jabatannya yang kedua sebagai gubernur jenderal Coen memiliki koneksi di Dewan Hindia yaitu tiga orang dekat dan satu adik ipar, suami Lysbet Ment.

Elisabeth Abbema istri gubernur jenderal Joan Maetsuyker adalah janda dari gubernur Ambon sekaligus ipar dari Andries Boogaert, gubernur Banda.

Photo: The Social World of Batavia
Awalnya kesederhanaan melingkupi hidup para pegawai VOC di masa awal pembentukan koloni, belum ada fasilitas untuk bersosialisasi seperti teater atau rumah makan yang representatif.  Pada pertengahan abad 17 kehidupan menjadi lebih mapan dan makmur sehingga warga kota bisa berlibur.

Istri dari gubernur jenderal Antonio van Diemen yang menjabat dari tahun 1636-1645, Maria van Aeslt mengawali gaya hidup mewah ala kalangan atas.  Terdapat catatan-catatan dari para pengelana di Batavia bagaimana pesta yang diselenggarakan oleh gubernur jenderal beserta istri.

Dalam masa berikutnya pada struktur ekonomi dan politik VOC, kenaikan jabatan dikendalikan oleh sistem patron hubungan keluarga.  Kebijakan-kebijakan VOC tentang imigrasi dan pernikahan campuran, hubungan antar keluarga yang penting adalah antar laki-laki dengan keluarga istrinya.  Menurut hukum Belanda seorang perempuan dapat menjadi pewaris utama harta laki-laki maka dari itu janda-janda banyak dicari untuk dinikahi

Gereja menjadi tempat para perempuan elite itu memamerkan kemewahan yang mereka punyai, namun kebiasaan itu bukanlah bawaan kaum borjuis di Belanda tapi lebih kepada pengaruh budaya Asia dan Portugis.

Nicolas de Graaff melukiskan dengan cukup pedas kelakuan para nyonya tersebut dengan penggalan rangkaian kalimat sebagai berikut:

"adalah kemewahan dan kesombongan yang luar biasa yang dipertontonkan oleh perempuan-perempuan di Batavia-Belanda, Mestizo dan juga campuran-, terutama ketika mereka pergi dan pulang dari gereja...untuk acara seperti itu, segala sesuatunya disiapkan secara lebih mewah dibanding saat-saat lain......
Seorang perempuan Belanda yang paling rendah derajatnya pun memiliki budak yang mengiringinya dengan membawa payung sebagai pelindung dari sinar matahari..."

Deskripsi yang dipaparkan Graaff adalah gambaran percampuran budaya Iberia dan Asia Selatan dan menghasilkan kebudayaan Mestizo.

Pelayan perempuan yang mengiringi nyonya itu selain membawa payung juga membawa kotak sirih dan baskom untuk menampung air liur.  Mengunyah sirih adalah kebiasaan yang wajar di dunia timur dan munculnya di kalangan orang-orang Belanda menandakan adanya percampuran budaya.  Begitu pula dengan budaya mandi dua kali dalam sehari yang asing di Eropa yang beriklim sub tropis.

Perempuan anggota komunitas Eropa yang menjadi kelompok sosial tertinggi di Batavia terdiri dari orang Belanda asli, Kreol, Indies dan Asia yang menikah dengan orang Eropa. Mereka mengikuti status kewarganegaraan suaminya. Para perempuan ini menyerahkan perawatan anak-anaknya kepada para pelayan di rumah sehingga kebiasaan-kebiasaan para pelayan itulah yang berpengaruh pada anak-anak itu.  Bukan bahasa Belanda yang diajarkan namun bahasa Malabar, Sinhala, Bengali dan Portugis, bahasa pergaulan para pelayan itu yang akhirnya dikuasai oleh para bocah tersebut.

Seakan belum cukup padat dengan lintas ras dan budaya, di Batavia terdapat pula kelompok Mardijker dari bahasa sanskrit Maharddhika yang artinya orang yang (di)bebas(kan).  Awalnya mereka adalah golongan budak asing, berasal dari tepi pantai wilayah India yang dimerdekakan dan merupakan anggota gereja Portugis.

Bangunan peninggalan Cornelis Chastelein di Depok

Karena merekalah bahasa Portugis menjadi lingua franca di pemukiman koloni Belanda hingga akhir abad ke 18 dengan masuknya kaum Mardijker menjadi pedagang, penjaga toko atau menanam tebu di perkebunan tengah kota sehingga banyak bergaul dengan penduduk sekitar sehingga semakin lama batas antara kaum Mardijker dengan penduduk Batavia semakin kabur.  Para perempuan kaum Mardijker membesarkan anak-anaknya secara alami mengikuti kebiasaan penduduk Asia.

Di akhir abad 17 Francois Valentijn mendeskripsikan bahasa yang banyak dipakai di Batavia sebagai bahasa pergaulan adalah Portugis, Melayu rendah dan Belanda.

Pada peralihan dari abad 17 ke abad 18, Joan van Horn yang bermigrasi ke Hindia sejak umur 9 tahun mendaki karirnya di VOC dengan cepat berkat ayahnya yang seorang anggota dewan.  Ia menikahi seorang anak pedagang kaya di Batavia, Anna Struijs.  Setelah Anna meninggal ia menikahi Suzanna van Outhoorn, anak gubernur jenderal Willem van Outhoorn.  Dalam waktu 10 tahun ia menggantikan mertuanya sebagai gubernur jenderal dan menambah anggota pendukungnya dalam dewan.  Ia ditentang oleh anggota dewan yang lain, Abraham van Riebeek.

Van Horn dengan cerdik mampu mengatasi tentangan itu dengan menikahi anak van Riebeek, Johanna Maria setelah menjadi duda.  Terbukti sistem aliansi keluarga melalui pernikahan menjadi jalan cepat untuk mencapai kedudukan tertinggi

Pada pertengahan abad ke-18 masa gubernur jenderal Baron van Imhoff, komunitas Indies telah terbentuk.  Budayanya bukan lagi budaya Belanda, mereka pun terpisah dari masyarakat Belanda yang mayoritas kalvinis dan patriarkal.  Orang-orang Indies ini menggunakan beragam bahasa dan kelompok ini merupakan bagian dari kaum elit di Batavia.  Dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya pada abad ini akses menuju posisi terhormat ditentukan oleh koneksi yang dibangun dengan perkawinan dengan keluarga Indies.  Di mana para ayah dari keluarga Indies menikahkan putri-putri mereka dengan para imigran dan mewariskan jabatan kepada para menantunya tersebut sementara anak lelaki mereka kirim ke Belanda untuk mencapai status sebagai bagian dari komunitas Eropa yang sesungguhnya.

Photo: The Social World of Batavia
Berlawanan dengan sifat orang Belanda yang hemat, kalangan Indies dan Mestizo kaya ini memamerkan hidup mewah, hanya berbahasa Melayu dan Portugis.  Hal ini tidak disukai Van Imhof, ia menginginkan budaya Belanda yang diterapkan dalam kawasan koloni VOC maka dari itu sekolah-sekolah yang hanya menerima orang Kreol atau Eurasia hasil perkawinan yang sah dan berbahasa Belanda.  Namun kebijakan van Imhoff tidak diikuti oleh penggantinya Jacob Mossel dan van der Parra yang memiliki kedekatan dengan budaya Mestizo

Pengaruh kaum Indies bertahan sampai bubarnya VOC di tahun 1799, pemerintah Belanda mengambil alih secara penuh kebijakan di daerah koloninya.  Kedatangan Daendels yang mewakili kaisar Perancis memutus sistem aliansi antar keluarga dalam pemerintahan.  Demikian pula dengan kedatangan Raffless yang tidak lagi memberi tempat pada keluarga-keluarga Indies untuk ikut serta dalam mengatur koloni.

Perubahan politik pemerintahan ini membuat para Indies ini berpaling pada perkebunan sebagai sumber pemasukan mereka.  Pergeseran ini juga mengubah pola pemukiman, kota-kota pedalaman di Jawa menjadi tempat tinggal mereka.

Yang terjadi adalah aliansi para pemilik perkebunan melalui pernikahan.  Bersamaan dengan dicabutnya larangan imigrasi dari Eropa dan diluluskannya undang-undang pertanian dan dibukanya peluang bagi penanam modal swasta maka kedatangan kaum Eropa untuk berwiraswasta melalui perkebunan semakin meningkat.  Jumlah orang swasta meningkat, karir politik di pemerintahan bukan lagi jalan satu-satunya untuk mencapai kemakmuran.

Pada abad ke 20, seiring dengan pergerakan jaman dan teknologi masyarakat kolonial pun terpecah, penduduk lokal mulai mengambil alih kekuasaan, prestise ras turut hilang hanya tinggal catatan dan peninggalan yang terserak di seantero Jawa dan Sumatera.

Tinjauan dari abad 17 tentang Jakarta tentang bagaimana rumitnya aturan pemerintah kolonial guna mencegah percampuran budaya toh tidak memberikan hasil sesuai yang diharapkan.  Batavia sebagai tempat interaksi berbagai bangsa pada masa lalu terus melangkah ke depan menjadi Jakarta seperti yang kita kenal sekarang.

Ia tidak mandek seperti Banten yang berubah dari kota kosmopolitan abad 16 menjadi kota homogen akibat berpindahnya pusat perdagangan dan bukan lagi menjadi tujuan orang-orang dari berbagai wilayah.

Jakarta tetap menjadi pusat finansial, bisnis, perdagangan, pendidikan, politik sekaligus pemerintahan.  Fungsi ganda dari Jakarta menjadikan kota ini menampung beragam suku dan agama serta kepentingan bukan saja dari warga ber-KTP DKI tapi dari seluruh wilayah Indonesia.  Memaksa Jakarta menjadi homogen hanya akan mengulang kegagalan VOC dan pemerintah kolonial di masa lalu



1 komentar:

maulanarch mengatakan...

ulasan menarik,..terutama kalimat terakhir. Karena kita diciptakan berSuku Bangsa untuk saling mengenal. Jangan sampai terjajah kembali dgn VOC model baru. Salam dari Ternate -yang masih tetap multikultur-, (ibukota perdana VOC sebelum membangun Jakarta)