20 September 2016

Austronesia dan Etnogenesis Indonesia

Masih ingat lagu Nenek moyangku seorang pelaut?

Kalau memang seorang pelaut dari mana mereka berasal dan ke mana mereka pertama kali menuju?

Pertanyaan-pertanyaan itu jawabannya bisa beragam.  Namun para ahli sepakat bahwa nenek moyang bagi mayoritas bangsa Indonesia adalah para penutur Austronesia yang tiba di wilayah nusantara, bermigrasi dari Philipina sekitar 4000 SM.  Mereka tiba di wilayah Sulawesi dan Kalimantan melalui laut, sudah pasti.

Google

Jadi siapakah para penutur Austronesia ini sesungguhnya?


Ada beragam teori tentang ini.  Waktu di sekolah dasar kita diterangkan bahwa nenek moyang orang Indonesia datang dari Yunan Selatan.  Teori ini bertahan terus, setidaknya sampai saya bertemu dengan para peneliti Austronesia beberapa waktu lalu karena membantu teman yang diserahi kerjaan mengurus pameran dari Simposium Internasional tentang Austronesia di Bali yang akan dihadiri oleh para arkeolog spesialis bidang ini dari seluruh dunia.

Para peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional inilah yang dengan sabar membimbing kami, memberikan kumpulan makalah yang sudah diolah sedemikian rupa agar mudah dimengerti oleh orang awam seperti kami yang selama ini mengetahui soal Austronesia dari pelajaran SD itu pun cuma sekilas

Perlahan-lahan kami mulai membaca teori Peter Bellwood, Stephen J Oppenheimer, Von Heine-Geldern yang disajikan secara ringkas tentang persebaran para penutur Austronesia tersebut.  Kami yang terbiasa membaca sejarah masa klasik dan dapat berimajinasi tentang masa itu, kini terpaksa harus mundur ke belakang, ribuan tahun sebelum masehi.  Bolak-balik kami bertemu para peneliti itu dan mencoba menyusun teks pameran dan bolak-balik pula mereka merevisi tulisan kami yang akan ditampilkan dalam 6-7 panel.

Namun akhirnya kerja keras, membaca berbagai teori maupun hasil penelitian itu pun terbayar, kami mulai mengerti teori persebaran penduduk Austronesia sekaligus sedikit memahami titimangsa periode diasporanya.

Austronesia selain sebagai ras adalah juga rumpun bahasa yang unik.  Diaspora rumpun bahasa ini mencakup dari separuh dunia; dari Madagaskar di sebelah barat sampai ke Kepulauan Paskah di timur, serta dari Taiwan-Mikronesia di utara samai ke Selandia Baru di selatan.

Bisa dilihat bahwa area persebarannya merupakan yang terbesar di dunia, sebelum muncul kolonisasi oleh barat.  Dari sudut keragaman bahasa, rumpun bahasa Austronesia meliputi 1.000 hingga 1.200 bahasa berdasarkan kriteria yang digunakan oleh lebih dari 300 juta orang.  Para penutur Austronesia seperti di Indonesia berjumlah lebih dari 200 juta orang, di Malaysia dan Philipina yang berjumlah jutaan sampai yang terkecil seperti daerah Pasifik yang berjumlah ratusan ribu.

Mengulang pertanyaan di atas dari mana awal mulanya para penutur Austronesia ini?\

Panel Infografik-Simposium Internasional Austronesia

Peter Bellwood menyodorkan teori persebaran dengan pembagian periode perpindahan sebagai berikut:

7.000 - 6.000 BP
Komunitas Neolitik-Fujian/Guandong, Cina Selatan
Berdasarkan penelitian para ahli arkeologi, proses migrasi ini diduga berawal dari Fujian/Guandong, Cina Selatan kira-kira 7.000 - 6.000 tahun yang lalu. Pada masa itu terjadi pertambahan penduduk yang sangat pesat karena pertanian dan pola hidup menetap.  Kebutuhan akan lahan membuat para petani yang terdesak ini bermigrasi ke wilayah Taiwan.  Bersamaan dengan pergerakan ini mereka membawa serta budaya pertanian biji-bijian dan umbi-umbian, domestikasi babi dan anjing dan pengetahuan tentang irigasi.

6.5000 - 5.000 BP
Taiwan
Setelah para petani migran ini menetap di Taiwan selama beberapa abad, muncullah bentuk awal bahasa yang dikenal sebagai bahasa Austronesia.  Secara arkeologi berkembangnya bahasa Austronesia awal (Proto-Austronesia) ini ditandai dengan munculnya budaya Da-p'en-k'eng di Taiwan bagian utara yang sudah mengenal budidaya padi dan pembuatan tembikar.  Lalu masyarakat petani di Taiwan ini mulai berkembang dan memadati pulau-pulau kecil di sekitarnya.  Kehidupan yang terpisah-pisah di beberapa pulau itu memunculkan setidaknya 9 bahasa berbeda yang teridentifikasi sebagai bahasa Formosa.

5.000 BP
Philipina
Karena semakin padatnya populasi di Taiwan, ada sebagian kelompok yang memisahkan diri dan bermigarasi ke Philipina bagian utara serta memunculkan bahasa baru yaitu Proto-Malayo-Polinesia (PMP).  Selain pertanian mereka sudah membuat tembikar polos serta memiliki teknologi pelayaran yang lebih maju.

4,000 BP
Sulawesi dan Kalimantan
Masyarakat penutur bahasa PMP yang tinggal di Philipina utara mulai bermigarasi ke selatan, ke pulau Kalimantan dan Sulawesi.  Migrasi ini melahirkan cabang bahasa baru yaitu West Malayo Polynesia atau PMP barat.

3,300 BP
Pasifik
Dari Philipina melewati Kalimantan dan Sulawesi, sebagai penutur PMP bergerak menuju arah timur melewati Maluku dimana sebagian bergerak ke selatan dan mencapai kepulauan Sunda Kecil dan memunculkan cabang bahasa baru yaitu Central-Malayo-Polynesia (CMP). Pergerakan ini melalui Halmahera ke arah timur dan memunculkan percabangan bahasa baru yaitu East-Malayo-Polynesia (EMP).  Karena iklim yang tidak cocok untuk pertanian padi maka dimulai pemanfaatan tanaman keladi dan umbi-umbian lain yang ditanam dengan tunas dan pemanfaatan buah-buahan serta palawija.
Ketika mencapai kawasan kepulaun dengan perairan luas, migrasi para penutur Austronesia ini semakin masif.  Dari Halmahera, perpindahan ini berlanjut hingga mencapai kepulauan Melanesia dan Polinesia.  Muncullah cabang bahasa Oceanic.

2,500 -2,000 BP
Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Vietnam bagian Selatan dan Madagaskar
Para penutur West-Malayo_Polinesia (WMP) yang mendiami Kalimantan dan Sulawesi juga melanjutkan migrasi mereka ke pulau Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Vietnam bagian selatan sampai ke Madagaskar.

Selain teori "Out of Taiwan" ada teori lain yang dikemukakan oleh W.G. Solheim II.  Solheim meyakini bawa nenek moyang penutur Austronesia berasal dari kepulauan Indonesia bagian timur atau Philipina selatan.  Menurutnya mereka merupakan bangsa bahari yang mengandalkan hasil laut dan pertukaran barang dalam perdagangan.  Karena itu Solheim menyebut nenek moyang para penutur Austronesia ini sebagai "Nusantao" yang artinya orang-orang kepulauan.

Panel Infografik-Simposium Internasional Austronesia 

Di akhir jaman Pleistosen permukaan air laut naik tajam dan mengubah paparan Sunda menjadi pulau-pulau terpisah.  Terpisahnya pulau-pulau membuat nenek moyang para penutur ini mengembangkan keahlian pelayaran sekitar 5.000 SM.  Ketika itu bangsa Nusantao telah menguasai keahlian pelayaran jarak jauh dengan perahu bercadik.

Dugaan adanya migrasi penutur bahasa Austronesia ke Nusantara dan Oseania sebenarnya sudah dilontarkan cukup lama oleh beberapa pengembara.  Kapten James Cook yang menjelajahi kawasan Pasifik dari tahun 1776 sampai 1780 mencatat adanya kemiripan bahasa , budaya dan paras orang Polinesia di New Zealand, Tahiti dan Pulau Paskah dengan penduduk semenanjung Malaya.

Ahli arkeologi KC Chang untuk pertama kali mencetuskan bahwa tempat asal penutur bahasa Austronesia adalah Taiwan.  Teorinya itu berdasarkan kesamaan tinggalah arkeologis yang terdapat di Cina Selatan dan Taiwan, khususnya budaya Ta-pén-kéng di Taiwan dengan situs-situs di kepulauan wilayah Asia Tenggara.  Unsur-unsur budaya yang hampir sama seperti beliun batu, pemukul kulit kayu, gerabah yang dibuat dengan teknik tatap pelandas, gerabah dengan hias tekan, pertanian padi, rumah panggung, mencari ikan dan kerang serta teknologi pelayaran.

Panel Infografik-Simposium Internasional Austronesia

Jejak budaya ciri khas Austronesia tersebar luas di berbagai tempat di Asia Tenggara maupun Oseania kecuali di sebagian besar pedalaman Papua karena sebelum budaya Austronesia menyebar telah ada komunitas petani yang mapan dan resistan terhadap budaya baru.

Hendrik Kern seorang ahli linguistik berkebangsaan Belanda menyimpulkan bahwa bahasa-bahasa di kepulauan Nusantara dan Pasifik semula berasal dari satu induk bahasa.  Ia menamakan bahasa awal ini sebagai Malayo-Polinesia.

Penutur Austronesia awal ini tampaknya merupakan pelaut ulung karena sudah mengenal sejumlah kata-kata yang berkaitan dengan sampan, layar dan rakit.  Mereka juga sudah mengenal sistem strata sosial.

Munculnya ras Mongolid
Kepulauan Nusantara sebelum kedatangan para penutur Austronesia didominasi oleh ras Austromelanesid pada pertengahan pertama kala Holosen terutama di wilayah bagian barat seperti yang ditemukan di Sumatera, Jawa dan Kalimantan selatan.  Ras ini diperkirakan sudah hidup 13.000 SM lalu pada 4.000 SM secara perlahan digantikan oleh populasi baru yaitu Austronesia.
Eksistensi para penutur Austronesia ini sangat berkaitan erat dengan ras Mongolid dalam perspektif biologis.  Yang menarik arus genetik Mongolid tidak berhasil menembus wilayah Papua dan pulau-pulau di Indonesia bagian timur yang didominasi oleh ras Austra-Melanesid.

Pola hunian ras Austramelanesid yang bertempat tinggal dalam gua juga diikuti oleh ras Mongolid yang datang belakangan jadi tidak langsung mendiami hunian berbentuk pondok atau rumah.  Kapan manusia Mongolid itu meninggalkan gua dan mulai membuat rumah?  Terdapat pertanggalan yang berbeda-beda.  Di Song Keplek misalnya, diperkirakan perpindahan dari dalam gue terjadi sekitar 2000 tahun yang lalu.

Di kepulauan Melanesia barat, jejak persebaran penutur Austronesia menjadi amat jelas dengan munculnya budaya Lapita di kepulauan Bismarck sekitar 3.300 tahun yang lalu.  Budaya ini dicirikan antara lain dengan gerabah berpoles merah, bermotif suluran, pengulangan bentuk dengan pita-pita horisontal dan wajah manusia.  Ciri lainnya adalah perpaduan kehidupan nelayan dan pertanian seperti pemeliharaan ayam, anjing dan babi serta pemukiman rumah panggung di tepi pantai.  Ditemukan pula perhiasan dari kerang, batu dan tulang serta melakukan pertukaran barang jauh antara lain batu obsidian dan artefak dari kerang.  Dari ciri peninggalan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendukung budaya Lapita adalah juga pelaut yang menjelajah lautan lepas.

Seperti yang telah disebutkan di awal, para penutur Austronesia ini mengembangka budaya pertanian sebagaimana yang ditemukan dari temuan biji-biji padi yang telah dibudidayakan di gua Sireh dan Niah sekitar 4.300 tahun yang lalu.

Namun masih ada keraguan benarkah masyarakat Austronesia itu yang memperkenalkan pertanian ke Asia Tenggara? karena bukti-bukti awal adanya kegiatan bercocok tanam tidak ditemukan di tempat lain selain di gua Sireh dan Niah.  Mengingat juga daerah sebaran Austronesia di kawasan timur Indonesia tidak cocok untuk bertanam padi.  Yang ditemukan adalah pola tanam umbi-umbian yang telah berkembang jauh sebelum pertanian.  Jadi apakah justru para penutur Austronesia yang memperoleh keahlian bertanam umbi dari komunitas awal di Papua.

Photo: Puslit Arkenas

Untuk ini Bellwood menyodorkan gambaran bahwa pertanian memang hilang dari budaya Austronesia saat mereka bermigrasi ke wilayah timur Indonesia karena padi dan biji-bijian tidak cocok ditanam di kawasan tersebut dan mengeksplorasi sumber pangan yang tersedia.

Tidak semua penutur Austronesia hidup dari pertanian, ada pula yang karena tinggal di perairan mengembangkan kemampuan sebagai nelayan dan bertempat tinggal dalam perahu seperti orang Bajau di sekitar perairan Sulu dan Kalimantan timur.

Dari persebarannya kehadiran para penutur Austronesia di wilayah Asia Tenggara dan Oseania mirip proses globalisasi  yang dapat diukur antara lain dengan meningkatnya saling keterhubungan, saling ketergantungan dan adanya pertukaran gagasan, barang serta pergerakan manusia yang menyebabkan kecenderungan budaya yang lebih kuat menghilangkan budaya yang lebih lemah walaupun sering juga terjadi proses ini juga menyebabkan keragaman budaya, karena adanya pemaknaan baru terhadap praktek budaya awal.

Tarik Batu  (photo: Puslit Arkenas)


Demikian juga halnya dengan kehadiran para penutur Austronesia di Asia Tenggara.  Kehadiran mereka  tidak menyebabkan keseragaman budaya walaupun memang menjadi budaya yang dominan di kawasan itu.  Adanya perpaduan budaya terlihat di situs Leang Tuwo Maneé di kepulauan Talaud.  Alat-alat serpih yamng sebelumnya digunakan oleh para pemburu dan peramu setempat tetap digunakan oleh para penutur Austronesia itu.  Setelah kedatangan penghuni baru itu menunjukkan adanya variasi dalam peralatan berburu dan juga bertani.

Kehadiran para penutur Austronesia dengan pengaruh budayanya telah meletakkan dasar interaksi antar komunitas di kepulauan Nusantara yang kemudian menjadi bangsa Indonesia kini.  Proses interaksi para penutur Austronesia menjadi titik awal ethnogenesis bangsa Indonesia.


SUMBER:
Makalah Kedatangan Penutur dan Budaya Austronesia - Puslit Arkenas


Tidak ada komentar: