07 Maret 2016

Kedinginan di Papandayan

Naik gunung?.....

Ah, saya bukan penyuka kegiatan naik-naik ke puncak gunung.  Gunung yang baru pernah saya daki barulah Krakatau yang tingginya paling cuma 800 meter dari permukaan laut, atau gunung Bromo yang ada tangganya plus ojek gendong.


Itu sebabnya saya menggeleng saat diajak mendaki Rinjani beberapa tahun yang lalu.  Selain gak punya duit juga ragu akan kekuatan kaki dan satu lagi saya nyaris membenci hawa dingin.  AC di kamar saya cuma jadi hiasan dinding tidak pernah dinyalakan, karena banyak jendela untuk lalu lintas udara.  Bila suami menyalakan AC saya memilih tidur di luar kamar, tidak enak tidur dielus hawa dingin semriwing, merinding


Tapi saat orang-orang di kantor ingin piknik bareng dan mengusulkan ke pulau-pulau di gugusan teluk Jakarta, saya malah mengusulkan ke Papandayan.  Gunung Papandayan bukan hotel tentu saja. Ada apa gerangan?

Ah memang tidak jauh dari perkara foto.  Foto hutan mati yang beredar di dunia maya telak-telak berhasil membuat saya ngotot ingin ke Papandayan, melupakan segala macam rintangan yang semula membuat emoh berurusan dengan tanjakan.  Lagi pula kalau yang saya baca di blog-blog orang, jalur pendakian Papandayan itu tidak berat-berat amat, bisa untuk keluarga.

Dan ternyata teori mestakung ini benar-benar berlaku.  Trip pulau yang telah disepakati oleh semua, kecuali saya yang tidak ikutan, ternyata mengalami kegagalan oleh sebab yang klasik, wacana besar eksekusi kurang alias kuota peserta yang mendadak menghilang satu persatu oleh karena alasan tertentu.  Meninggalkan senyum lebar di wajah saya, karena  tanpa disangka-sangka pemimpin besar Revolusi grup piknik mengajukan destinasi incaran, ke gunung Papandayan.

Kali ini aturan dibuat dengan tegas.  Yang sudah pasti berangkat sekitar 6 orang, yang lain terserah mau ikut atau tidak.  Jadi 6 orang ini apapun yang terjadi pasti akan pergi.  Rapat-rapat gelap segera diadakan secara terpisah maupun disatukan dengan rapat rutin mingguan yang isinya 20% kerjaan 30% bercanda dan 50% nyampah dan ngomongin orang.  Ternyata euphoria Papandayan ini menyebar dengan cepat sampai terkumpul 15 orang yang berniat unjuk gigi, ngadu stamina di jalur pendakian.

Komposisi dari 15 orang ini hanya 3 orang yang bujangan, kalau tidak salah dan sisanya adalah manusia-manusia yang sudah turun mesin :) alias sudah punya satu sampai 3 anak, hampir manula pula.  Dan semuanya belum pernah naik gunung kecuali satu orang yang pernah mendaki gunung Everest.  Eh, ralat ada yang pernah naik gunung tapi pas kuliah.  Jika sekarang umurnya 50 tahun berarti itu 30 tahun yang lalu, mungkin lebih tepat disebut pensiunan pecinta alam kali ya? oya plus ada anggota pecinta alam, yang ini beneran masih kuliah.

Singkat kata biaya per orang sudah ditetapkan, jajak pendapat maupun masukan dari mantan pacar anak gunung pun sudah dipertimbangkan. Inisiatif latihan menghadapi medan juga sudah dilakukan seperti lari-lari disambung makan malam di GOR Sumantri tiap Jumat yang sebenarnya lebih berfungsi meningkatkan lingkar perut dibanding meningkatkan stamina.  Yah, namun itulah ikhtiar kami.  Intinya kalau melihat keseriusan kami serasa akan summit attack ke gunung Kilimanjaro, Afrika.  Sepatu khusus mendaki sudah dibeli, celana outdoor baru juga sudah terlipat manis di lemari menunggu dipakai.  Bela-belain belanja walaupun belum gajian.

Akhirnya tanggal 27 Februari tiba juga karena memang sudah gajian :).  Jam 5 pagi janjian ketemu di kantor.  Alarm sudah disetel.  Alhasil saya tiba paling dulu dan koordinator trip yang namanya Dion, salah satu bujang lapuk andalan team Content sukses mem-PHP tiga alarm yang disetel bergantian saking nyenyaknya tidur.  Beliau baru datang di saat-saat terakhir menjelang keberangkatan, setelah dilempar bata  ditelepon oleh mas Aam.


Mobil Elf sewaan berkapasitas hampir 20 orang sudah penuh dengan penumpang dan barang-barangnya.  Kalau saya sih begitu mobil keluar parkiran langsung merem, sikap standar.  Sementara yang lain sibuk cekakakan tanpa henti.  Mobil berhenti beberapa kali agar kami bisa buang air kecil dan terakhir berhenti di desa Cisurupan, desa terdekat dengan gunung Papandayan untuk makan siang sekaligus membeli bekal untuk di atas.  Super sekali kan, naik gunung sambil bawa bungkusan nasi padang yang isinya beragam sesuai kegemaran?  Ya begitulah kami, menomorsatukan logistik di atas segalanya.  Sebagai orang-orang yang telah kenyang makan asam garam kehidupan, makan popmie atau sebangsanya di atas gunung bisa mencemari status kemapanan kami.

30 menit kemudian kami tiba di parkiran yang disebut Camp David, kenapa disebut dengan nama yang berbau zionis begitu.  Entah, kali ini saya tidak berminat mencari tahu berhubung udara dingin segera menyergap.  Langit mendung, pasti akan hujan ini.  Benar saja hujan rintik dan kemudian menderas.  kami berteduh di gubuk sekitar parkiran menunggu porter yang akan mengangkut bawaan kami ke atas sekaligus menyiapkan tenda.

Rata-rata kami hanya membawa satu tas ransel, namun salah satu peserta sekaligus big bos tidak tanggung-tanggung membawa 3 ransel.  Untuk logistik beliau tidak mau kalah menyiapkan berbagai macam makanan sehat seperti ubi ungu, pisang  dan singkong untuk direbus di perkemahanan.  Bahkan piring, gelas dan sendok plastik, begitu pula pilihan minuman seperti kopi dan teh sudah disiapkan juga oleh mbak Ike, salah satu istri petinggi divisi Content yang juga ikut dalam pendakian.  Bukan main kan, sungguh kami bukan pendaki kere seperti anak-anak kuliahan yang berbekal biskuit dan pop mie doang.


Ada dua orang porter yang disediakan untuk mengangkut kelebihan bagasi sampai di Pondok Salada, bumi perkemahan para pendaki.  Berapa jarak dari Camp David ke Salada? ya kira-kira 3 jam jalan kaki lah buat pendaki normal atau anak-anak muda. Nah, kalo kita? mudah-mudahan tidak pingsan di tanjakan..:)

Ok mulai pendakian.  Awalnya melangkah melewati undak-undakan batu.  Masih gampang,  masih terdengar gelak tawa yang susul menyusul.  Saya memilih diam menyimpan tenaga.  Dan benar saja 15 menit kemudian rasanya sudah malas ngomong.  Jalur juga terus menanjak menuju sisi kawah.  Bau belerang yang seperti telor direbus kelamaan tercium makin kuat.  Asap putih beranjak naik dari dasar kawah. Yang menyulitkan hujan turun lagi sehingga harus memakai jas hujan.

Pemandangan jalur tepian kawah itu menakjubkan, namun kondisi hujan dan ribet dengan napas yang tersengal-sengal membuat saya tidak mengeluarkan DSLR dan memilih kamera HP untuk mengabadikannya.  Jari-jari sudah mengeriput kedinginan. Di depan saya ada ada 3 orang rekan, Indra, Soli dan Dini sementara yang lain masih di bawah.  Sempat kami berhenti di salah satu titik sebelum pos pertama menunggu yang lain menyusul tapi tidak juga terlihat, akhirnya kami berempat memutuskan jalan lagi.


Begitulah step by step kaki bergerak menjejak batuan dan tanah yang becek dan mendaki.  Masker yang dimaksudkan untuk melindungi dari gas belerang malah membuat sesak napas dan akhirnya dicopot. Jalan, berhenti tarik napas panjang, jalan lagi begitu terus.

"Pondok Salada sebentar lagi, letaknya di belakang gunung ini" begitu kata penunggu warung setelah berjam-jam berjalan.  Sudah hampir sejam berjalan dari warung tersebut ternyata Pondok Salada tak juga terlihat.  Kami harus menuruni semacam jalur air yang sempit, namun tak disangka-sangka satu motor trail keluar dari selokan tersebut dengan 2 orang penunggangnya, bukan main.  Selokan yang menurun curam dan sempit itu bisa dilalui oleh motor trail.  Akhirnya kami setengah merayap menuruni selokan licin itu dengan berpegangan pada dahan-dahan pohon di samping, mirip main tentara-tentaraan.  Sampai di sungai, naik lagi ke atas.  Air hujan turun cepat melalui jalur pendakian yang berupa tanah, mirip longsor semakin membuat was was.

Kami terus maju melewati hutan, beberapa kali menepi karena berpapasan dengan motor trail sekalian istirahat sejenak sekedar menghela napas.

Akhirnya sampai di dataran di balik gunung itu.  Ternyata memutari gunung itu jauh ya.  Sudah sampai di Pondok Salada? Masih belum ternyata.  Dataran itu ternyata tempat warung dan kamar mandi.  Kami berhenti sebentar di salah satu warung, memesan teh panas sambil mengumpulkan tenaga.  Dataran ini menjadi pemberhentian terakhir sebelum Pondok Salada.  Kira-kira 20 menit lagi jalan kaki kata si Ibu pemilik warung. Nanjak? Ya iyalah.

Kurang lebih 20 menit kami berhenti, hujan masih tetap turun.  Akhirnya kami siap berjalan lagi. Selangkah-selangkah naik ke dataran yang lebih tinggi. Di satu titik masih sempat-sempatnya foto bareng dengan latar belakang hutan mati di kejauhan. Indah

Tak berapa lama, JREEENNGG.... terlihat kemah-kemah beraneka warna, itulah Pondok Salada dikelilingi oleh tembok pegunungan dan pohon Edelweis di sana sini. Alhamdulillah, bisa sombong sekarang..yihahahhhah....
Tersaruk-saruk kami memasuki bumi perkemahan.  Problem selanjutnya dimana tenda kami?  Mau telepon teman tidak ada sinyal.  Akhirnya kami terduduk di warung, mencoba menghangatkan diri di perapian yang dibuat di depan balai-balai.


Ternyata mbak Soli bertemu dengan salah satu porter kami, untung saja dan kami pun sampai di tenda.  Ternyata sudah ada beberapa orang yang sampai terlebih dahulu lewat jalur lain yang lebih pendek tapi lebih ekstrim.  Gak jadi bangga deh...huhuhu :)

Saya masuk tenda sambil mengigil dan segera mengecek bawaan.  Kamera dalam tas ternyata lumayan aman.  Walaupun bagian luarnya basah tapi karena busa pelapisnya cukup tebal maka air tidak sempat tembus ke dalam.  Tapi pakaian dalam ransel saya basah walaupun sudah diberikan cover luar.  Untung yang basah terletak di bawah.  Kaus yang ada di bagian atas cukup kering walaupun sedikit lembab karena udara dingin yang basah.


Di Pondok Salada ini banyak terdapat warung, akses air bersih juga cukup walaupun harus berjalan ke arah toilet untuk mengambilnya.  Ngapain tadi cape-cape bawa bungkusan nasi padang kemari. Begitu juga pilihan minuman hangat, dari kopi sampai susu jahe bisa dibuatkan oleh warung. Harganya sedikit nanjak sih, tapi buat kami-kami yang sudah mapan, harga tidak masalah...*congkak

Tiba-tiba ada keriuhan di bagian tengah, ternyata ada babi hutan nyasar.  Pasti kelaparan, babinya berkulit putih cantik  terlihat berputar-putar disoraki para penghuni Salada.  Kelar urusan babi sementara rekan yang lain pun sudah berdatangan, saya segera masuk tenda.  Satu tenda bertiga.  Mbak Ike segera mengeluarkan kantong ajaibnya berisi bermacam-macam obat.  Sementara saya gagal mengingat dimana saya selipkan botol minyak kayu putih dan malas juga meraba-raba dalam ransel.


Ternyata flu yang belum sembuh berdampak buruk pada kondisi badan yang kehujanan seharian ditambah udara dingin yang lebih dingin dari AC rumah.  Yes, masuk angin, punggung sebelah kiri nyeri ditambah batuk.  Mengesalkan sekali.  Minyak kayu putih, minyak oles dari Singapore, dan minyak2 lain sudah tuntas diusapkan baik di punggung, di puser, perut sampe dada.  Badan  bau minyak angin kayak nenek-nenek,  Rambut awut-awutan susah disisir, wah kacau ini penampilan.

Sementara di tenda lain, ada yang mengenakan gamis. Duh, gusti.  Sungguh besar kekuasaanMu. Sungguh beragam ciptaanMu yang aneh-aneh.

Sementara hujan juga tidak berhenti, gagal deh niat buat api unggun.  Terpaksa ngerem dalam tenda. Mau tidur juga susah karena punggung yang sakit.  Di tenda lain terdengar suara duutttt...berkali-kali.


Akhirnya setelah diseling ke toilet tengah malam dan minum susu jahe di salah satu warung, lalu minum ramuan rempah plus kejadian kunjungan babi ke tenda kami dan nyaris menggondol tas, berhasil juga  melalui malam dengan selamat.  Memang hujan bikin acara berantakan dan angin di badan saya tak kunjung keluar.

Pagi seperti biasa sarapan bersama, kali ini hujan sudah berhenti dan terkadang ada sinar matahari. Pemandangan dari Pondok Salada ini elok sekali, melihat dinding pegunungan yang diselimuti kabut di puncaknya.
Terperosok

Sambil makan ubi, dan singkong rebus rencana segera disusun.  Berhubung kami harus segera pulang ke Jakarta maka sambil pulang kami akan melewati hutan mati.  Sementara ke Tegal Alun akan diputuskan nanti.  Hutan mati dari Pondok Salada sebenarnya tidak terlalu jauh, sekitar 20-30 menit mendaki.  Tapi memang pemandangannya eksotis sekali.  Sepanjang jalur pendakian tidak ada pemandangan yang jelek, semua keren.

Di ujung Hutan mati terdapat kawah dan memang kawasan hutan mati sangat fotogenik untuk fotografi.  Saat kami tiba di sana sudah ada pasangan yang sedang foto pre wed.
Kalau mau ke Tegal Alun yang merupakan kawasan konservasi Edelweis, kami harus naik lagi ke atas.  Berhubung waktu yang kian mepet akhirnya diputuskan untuk langsung turun dari hutan mati, jadi tidak sampai Tegal Alun.



Ternyata rute turun itu langsung melintasi dinding kawah.  Turun terus dan jarang ada dataran. Sementara hujan lagi-lagi turun.  Rute yang kami lalui kali ini hampir semuanya berada di tempat terbuka, bukan lagi hutan seperti rute naik.  Sementara di bawah terlihat sungai yang berair deras kecoklatan.  Dengan hati-hati kami melangkah, meleng sedikit bakal terjun bebas masuk jurang.


Ternyata memang lebih cepat, kami sudah sampai di jalur awal pendakian...terus turun akhirnya sampai di undak-undakan batu dekat Camp David.  Semua sudah melangkah gontai saking capeknya.  Di parkiran, Elf kami sudah menunggu.  Sementara yang lelaki mencari warung atau kamar mandi untuk ganti pakaian yang perempuan langsung masuk Elf dan ganti baju di dalamnya.

Sambil menunggu porter membawa carrier lainnya, kami pun tertidur dalam mobil.  Akhirnya porter pun datang,  Setelah selesai dengan urusan bayar membayar, akhirnya kami meninggalkan Camp David.

Selamat tinggal Papandayan, sampai bertemu lagi

Note:
Yang mau lihat videonya monggo klik Go Orangers siapa tau ada yang nyangkut :)


Tidak ada komentar: