26 Maret 2016

OLVEH Yang Bersolek

Gedung cantik dengan cat putih berkilau dengan arsitektur model art deco terlihat berdiri megah di seberang stasiun Jakarta Kota, penampilan tersebut kontras dengan gedung-gedung lusuh di kiri kanannya.  Sayang kecantikan gedung ini terganggu dengan penampilan kabel listrik yang centang perentang tepat di depannya.  

Mungkin kalau mendengar jalan Pinangsia, kebanyakan dari kita yang tinggal di wilayah selatan Jakarta akan mengerutkan kening, namun bila dibilang kawasan stasiun kota maka semua orang akan mengangguk maklum.  Jalan Pinangsia memang dari dikenal dulunya sebagai distrik keuangan alias finansial.   Lidah orang pribumi yang susah melafalkan finansial mengubahnya menjadi Pinangsia.  Di jalan itulah sejarah gedung kuno ini berawal.


Saya baru tahu gedung itu dinamakan OLVEH (Onderlinge Verzekeringsmaatschappij Eigen Hulp) gara-gara mendapat flyer seminar tentang revitalisasi gedung ini.  Seminar yang digagas oleh biro arsitek Sarasvati bekerja sama dengan Jakarta Old Town Revitalization Corporation (JOTRC) dan National Geographic Indonesia.


Gedung Olveh ini ternyata adalah bekas gedung asuransi zaman Hindia Belanda yang selesai dibangun tahun 1922 oleh biro arsitek milik Schoemaker bersaudara yang merupakan guru besar di THB-Technische Hoogeschool te Bandoeng (nama awal ITB), merupakan dosen Soekarno, Presiden pertama kita.  Kalau tidak salah baca kabarnya Soekarno pernah ditawari bergabung di biro arsitektur tersebut. Sekarang gedung kuno bersejarah ini merupakan aset dari PT Asuransi Jiwasraya.



JOTRC sendiri merupakan konsorsium swasta untuk revitalisasi dan pengembangan kota tua Jakarta.  Yang dimaksud wilayah kota tua tentu saja bukan cuma Taman Fatahillah dan sekitarnya tapi juga mencakup kepulauan di teluk Jakarta, seperti Onrust dan Kelor misalnya.

Dari wawancara dengan pihak JOTRC dengan Kompas TV ternyata wilayah kota tua Jakarta mempunyai luas kurang lebih 355 ha.  Komposisi kepemilikan bangunan kuno bersejarah di Jakarta pun hanya 2% yang merupakan milik pemerintah, 48% milik BUMN dan 50% merupakan milik umum dan swasta.  Tentu saja ini menyulitkan pemerintah jika ingin membuat kebijakan sehubungan dengan penggunaan bangunan.  Maka dibentuklah konsorsium swasta untuk mengurus hal tersebut.  Pemerintah dari yang terlihat di website resmi JOTRC menjadi Board of Advisor.

Teras lebih rendah dari jalan

Kembali
ke Olveh, gedung ini sekarang disewa menjadi kantor biro arsitek Sarasvati.  Saat saya ke sana tepat saat umat kristiani merayakan Jumat Agung, gedung ini seperti juga kantor lainnya saat tanggal merah terlihat sepi tanpa aktivitas.  Namun kaca jendela yang tanpa tirai memungkinkan saya untuk mengintip ke dalam.  Terlihat maket-maket sementara di sisi kanan nampak beberapa majalah tersususun di atas rak.


Hanya ada satpam yang melongok melihat saya memotret di luar dan segera masuk kembali.  Gedung ini minus tempat parkir.  Ada sedikit tanah di samping, mungkin cukup untuk 2 mobil maksimal.  Yang menarik perhatian adalah teras depan yang berada kurang lebih 1 meter di bawah jalan raya.  Ternyata dari majalah National Geographic Indonesia saya baru tahu kalau itu akibat peninggian jalan raya.  Barulah sadar jika teras itu menjadi semacam perekam seberapa jauh penurunan tanah di wilayah Jakarta Kota dari tahun 1922.


Dari samping terlihat lengkungan atap bangunan Cina di belakang gedung Olveh, sayang tertutup tembok tinggi.  Pintu samping terbuka, tidak tampak lagi satpam yang tadi berjaga, mungkin sedang ke atas.  Buru-buru saya melongok ke dalam dan memotret secepat kilat.  Kalau dari depan terlihat mungil, ternyata di dalam segera terlihat ruangan lega dengan langit-langit tinggi khas koloniall.  Agak berantakan di dalam, mungkin dari sisa-sisa pameran beberapa hari yang lalu.

Teras gedung yang jauh lebih rendah dari jalan raya memancing pertanyaan apakah jika musim hujan air tidak membanjiri ruangan?  Sementara permukaan tanah juga akan terus menurun terhadap permukaan laut.

Di seberang trotoar bis Kopaja terlihat berhenti tepat di depan gedung menunggu lampu lalu lintas berganti hijau dan segera setelah lampu berganti warna bis segera berlalu meninggalkan gedung Olveh yang telah bersolek siap menyambut jaman baru.



Kumuhnya Kota Tua
 

Kawasan kota tua Jakarta diajukan untuk menjadi UNESCO World Heritage 2017, tak heran bila revitalisasi aset seperti gedung tua gencar dilakukan.  Sepertinya taman Fatahillah yang berada di core area bersama dengan kawasan Kalibesar dan Pelabuhan Sunda Kelapa patut diberi perhatian khusus.  Para pedagang kaki lima yang memenuhi selasar jalan butuh penataan khusus agar tidak amburadul.  Sampah bekas tissue, makanan, botol air mineral menyeruak sehingga terlihat kumuh.  Pengemis dan pengamen plus entertainer berupa hantu-hantuan, tokoh kartun sampai ondel-ondel campur baur memenuhi lokasi.



Ketakpedulian pedagang dan pengunjung terhadap kebersihan di area yang seharusnya dipreservasi ditakutkan akan membuat kerusakan bangunan menjadi semakin cepat.  Dibandingkan 15 tahun yang lalu dimana kawasan kota tua lebih mirip kota mati dengan preman dan gelandangan di mana-mana,  tentulah sekarang lebih baik keadaannya.  Kota tua dan sekitarnya menjadi kawasan wisata murah dan populer dan layak jual.  

Namun di situlah letak tantangan tentang bagaimana pemerintah kota menata dan mengemas daerah ini tanpa melanggar ketentuan peraturan tentang cagar budaya.  Saya sendiri kurang tahu apakah semua gedung tua di kawasan ini telah menjadi cagar budaya.  Namun gedung Olveh yang dibahas dalam tulisan ini belum menjadi bangunan cagar budaya

Mudah-mudahan pihak Pemda maupun JOTRC sudah punya rencana terkait penataan kawasan taman Fatahillah dan sekitarnya

Tidak ada komentar: